44 - Kinara
Sejak kejadian malam itu, Luna tak lagi bertemu dengan Davi dan itu sudah terhitung seminggu lamanya. Dalam seminggu itu juga, seakan kasus tuduhan narkoba itu adalah celah untuk tuduhan-tuduhan lain yang ditujukan kepada Davi yang membuat citranya memburuk selama beberapa hari belakangan.
Luna sudah berulang kali berusaha menghubungi Davi, tapi Davi tak memberi respon berarti. Dia tak membalas atau bahkan membaca satupun pesan yang Luna kirimkan kepadanya. Panggilan dari Luna pun tak diangkat, padahal Luna yakin Davi tahu Luna menghubunginya.
Televisi kali ini sedang menampilkan acara gosip yang lagi-lagi membahas tentang Davino Alaric Syahm yang sejak kemarin digosipkan menghamili seorang model yang bahkan tak terkenal. Konyol sekali, pikir Luna. Semenyebalkannya Davi, Luna yakin seratus persen Davi tak akan berbuat hal sebodoh dan sebejat itu.
Walaupun mencuri ciuman seorang cewek sebenarnya juga masuk ke dalam perbuatan bejat dan saking bejatnya, Luna semuanya seakan terasa seperti mimpi yang terus menghantui Luna hingga detik ini.
Luna baru ingin menyuap kentang goreng buatannya saat suara sang Ibu berteriak memanggil Luna, meminta Luna untuk segera ke luar karena ada yang mencari Luna. Luna mendengus, memakan cepat kentang goreng, sedikit merapihkan pakaian sebelum melangkah ke luar.
Satu alis Luna terangkat mendapati Wisnu yang berdiri di depan pintu sambil membawa plastik berisikan banyak makanan ringan, terlebih lagi segala sesuatu yang berbau kentang yang jelas-jelas adalah kesukaan Luna.
Wisnu tersenyum ramah kepadanya. "Aku bawa makanan ringan, nih, buat di rumah." Wisnu menyodorkan kantung plastik itu dan Luna menerimanya.
"Makasih, ya."
"Ada yang mau aku omongin. Serius."
Luna tahu, mustahil rasanya jika Wisnu datang ke rumahnya tanpa alasan dan sepertinya, alasan Wisnu kali ini benar-benar harus Luna dengar dan camkan dengan baik.
☢☢☢
Davi mengeratkan jaket yang dia kenakan sebelum membuka pintu mobil sambil menarik ke luar kunci mobil. Cowok itu melangkah ke luar dari mobil, berdiri tepat di samping pintu yang tertutup sambil menghela napas. Jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga dini hari dan angin malam sedang berhembus kencang, bahkan masih terasa dingin ketika Davi mengenakan jaket yang cukup tebal. Dia baru selesai syuting dan langsung menuju ke rumah sakit setelah tahu Nara mendapat shift malam.
Kaki Davi mulai melangkah memasuki area Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan tangan yang bersembunyi di saku jaket. Lorong rumah sakit tampak tak begitu ramai, hanya ada beberapa perawat yang berlalu-lalang dan mungkin beberapa keluarga pasien yang juga tengah mencari angin atau penyegaran di dinginnya malam.
Langkah Davi terhenti ketika mendapati seseorang yang ingin ditemuinya tengah berdiri bersandar pada dinding di depan sebuah ruangan, menundukkan kepala dengan tangan tersembunyi di saku sneli putihnya.
Davi melangkah mendekat dan Nara menoleh saat mendengar derap langkah kaki Davi. Cewek itu berbalik dan menghadap Davi yang kini tersenyum sesampainya di hadapan Nara.
"Lo ngapain ke sini, sih, malem-malem? Udah tahu cuacanya lagi gak bersahabat. Mana lo pucet gitu."
Davi membiarkan tangan Nara mengecek suhu tubuh pada dahi Davi. Nara melotot.
"Panas! Lo sakit lagi?!" Nara berujar sambil menjauhkan tangannya dari sahi Davi.
Davi menggeleng. "Enggak, kok. Gue gak sakit. Cuma kangen aja sama lo."
"Gue serius, Davino. Mending lo balik dan istirahat. Selimutan. Jangan lupa minum teh anget."
"Lo masuk malam? Sendirian doang?"
Nara mengangkat satu alis. "Ya, udah. Jangan ngobrol di sini. Dingin. Yang ada lo tambah sakit."
Nara berbalik, melangkah menuntun jalan menuju ke ruang kerjanya dengan Davi yang mengikuti dari belakang. Untungnya, rumah sakit tak begitu ramai sehingga, Davi tak harus bersusah payah menyembunyikan identitasnya. Jika saja Davi datang ke rumah sakit di pagi sampai sore hari tanpa penyamaran khusus, rumah sakit yang harusnya tenang ini pasti akan sangat berisik dan mengganggu pasien.
Mereka sampai di ruang kerja Nara di lantai 8. Hanya ada Nara sendiri di sana dan ruangannya tidak begitu besar, tapi cukup bersih. Nara mempersilahkan Davi duduk di salah satu sofa, sementara Nara duduk di sofa yang berlawanan sambil menatap cowok itu heran.
"Serius, Dav. Lo ngapain malam-malam ke sini? Bukannya istirahat. Gue tahu, lo abis syuting, kan?"
Davi menyandarkan punggung pada sandaran sofa. "Gue mau ketemu lo. Habisnya, lo jarang ada waktu lagi buat gue sejak kasus narkoba itu. Padahal lo tahu itu bukan punya gue."
Nara menggeleng. "Bukan begitu, gue sibuk, Davi."
Davi menghela napas pasrah dan mengangguk. "Oke, gue akan berusaha berpikiran negatif kalo lo benar-benar sibuk." Mata cowok itu menatap sekeliling sebelum terhenti pada jejeran bucket bunga mawar yang berada di belakang meja kerja Nara.
"Gue gak pernah tahu kalo lo suka bunga mawar." Davi beralih lagi menatap Nara yang kini diam, sedikit terkejut karena pernyataan Davi tersebut.
Melihat ekspresi terkejut Nara, Davi tersenyum mencairkan suasana. "Kalo tahu lo suka mawar, gue bakal kirim tiap hari bunga mawar buat lo. Kalo perlu, gue buatin kebun bunga mawar buat lo."
Nara terkekeh canggung dan Davi masih menatap cewek itu lembut. "Penggemar lo banyak juga, ya, Nar. Gue jadi wanti-wanti sekarang. Mawar itu dari penggemar lo, kan?"
Nara memejamkan mata, harus menjawab apa dia? Mana mungkin Nara jujur dan berkata jika bunga itu dari Sobian, tunangannya sendiri yang sebenarnya juga berada di rumah sakit ini. Dokter yang membantu keluarga Nara bangkit dari keterpurukan, dokter yang selalu ada untuknya di kala sedih dan senang.
"Gue tahu, maaf aja pasti gak cukup dan memang, balas dendam yang paling mudah dilakukan itu mematahkan hati seseorang."
Nara mengangkat wajah mendengar ucapan Davi tersebut, mata mereka bertemu. Davi tersenyum tipis, "Gue atas nama keluarga Syahm, sangat meminta maaf atas apa yang terjadi sama keluarga lo dan gue tahu, permintaan maaf ini sangat gak cukup."
Davi menarik napas dan menghelanya perlahan. "Gue menghargai keputusan lo buat mencoba mainin perasaan gue, Nar dan selamat atas pertunangan lo dan dokter Sobian?"
Oke. Tubuh Nara bergetar sendiri mendengar ucapan Davi tersebut. Bagaimana...Davi bisa tahu?
"Gue udah nemuin nyokap lo sejak satu bulan lalu. Gue minta maaf sama dia atas nama keluarga dan awalnya susah, tapi dia maafin. Gue juga coba ngewujudin mimpi nyokap lo punya rumah makan. Temen gue lagi ngurus sewa tempatnya dan secepatnya, nyokap lo bisa buka rumah makan di sana."
Nara mengatupkan bibir, benar-benar tak tahu harus berkata apa. Seperti baru saja kepergok melakukan sesuatu yang sangat buruk.
"Dav, gue...,"
Senyuman tipis masih bertahan bibirnya. Cowok itu menggeleng. "Gak usah dijelasin. Tanpa dijelasin, gue udah tahu semuanya. Bahkan sejak awal lo hadir, gue tahu semuanya. Emang selayaknya, gue dihukum kayak gini, kan?"
Speechless. Apa yang bisa mengungkapkan bagaimana Nara saat ini selain kata itu?
"Tolong bilang dokter Sobian untuk berhenti minta tolong ke temannya yang jurnalis buat berhenti buat berita gak bener tentang gue karena gue masih berbaik hati gak memperpanjang kasus tuduhan kepemilikan narkoba. Tanpa dia lakuin hal itu, harusnya dia tahu kalo gue gak bakal maksa lo buat ngejauh dari dia."
Davi menundukkan kepala, jari-jari tangannya menyatu, matanya terpejam.
"Karena seberapa keras pun lo mencoba, lo gak bakal berhasil menjadi sosok Narayana Aneska Yuan, Kinara."
Degup jantung Nara seakan berhenti ketika nama itu terucap dari mulut Davi, bersamaan dengan tatapan tajamnya yang hampa.
----
SATU PART LAGI GUYS!!!
Jujur, endingnya bakal ngaco😂
So, siap-siap kita say goodbye ke Davi, Luna, Nara dan lain-lain😔👋
By the way, aku buat cerita baru dan aku pake nama tokoh Paris sama Nala (wkwk maapkeun karena Paris yg kemaren aku unpublish). Tapi cerita baru yg bakal aku post pastinya beda dari cerita Paris sebelumnya. Judulnya, December.
Kalo ada yg mau baca, aku post malam ini part 1-nya😬
Thanks yg udah mau baca😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top