43 - Pizza

Luna tak mengerti, kenapa akhir-akhir ini dia selalu ditinggal sendiri di rumah. Keluarganya seringkali pergi tanpa berpamitan kepada Luna dan ujung-ujungnya, meninggalkan seorang Laluna Emalia Putri sendirian. Bahkan mereka tak meninggalkan apapun untuk Luna makan dan Luna paling malas membeli makanan di luar.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika pintu rumah Luna terketuk. Ketukan pertama sampai ketiga, Luna berusaha mengabaikan dan meneliti, siapa yang bertamu di jam segini. Jika keluarganya pulang, mereka pasti sudah berteriak minta Luna membukakan pintu. Tapi kali ini, benar-benar hanya mengetuk pintu dan hanya tiga kali sebelum akhirnya tak ada suara ketukan pintu lagi.

Pasti orang iseng, pikir Luna.

Luna berusaha fokus pada drama Korea-nya lagi sampai ketukan pintu itu kembali terdengar dan untungnya, Luna bukan seorang pengecut yang takut dengan segala sesuatu berbau hantu. Justru hantu yang harusnya takut saat bertemu dengan Luna.

Ketukan masih terdengar dan geram, Luna beranjak dari ruang tengah untuk membukakan pintu sambil mendumel tak kunjung henti.

"Duh, kalo bertamu jangan jam-,"

Luna tak melanjutkan omelannya dan malah menganga melihat siapa yang berada di balik pintu rumahnya.

Davino Alaric Syahm dan satu kotak penuh pizza.

"Selamat malam." Sapa Davi sambil tersenyum manis.

Luna tersadar dari lamunannya dan menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Lo ngapain ke sini malam-malam? Bawa pizza lagi. Gue lagi diet, gak bisa makan pizza di malam hari." Luna berkacak pinggang.

Davi memutar bola matanya. "Lo diet apa, sih? Heran gue. Kenapa cewek hobi banget diet cuma karena nambah berat badan barang cuma satu sampai dua kilo? Padahal ketara juga enggak." Davi berdecak, "Dan lo lagi! Badan udah tinggal tulang doang masih mau diet?"

Mata Luna melotot. "Lo bilang badan gue apa tadi?!"

Davi mendengus lalu, menyodorkan kotak pizza-nya kepada Luna. Luna mau tak mau meraih kotak itu dan di saat bersamaan, Davi melangkah memasuki rumah Luna begitu saja, membuat Luna heran kenapa itu cowok main masuk ke rumah Luna seakan-akan itu adalah rumahnya. Luna buru-buru menyusul Davi dan cowok itu berhenti tepat di ruang tengah.

"Lo sendirian, kan? Keluarga lo pada pergi?"

Luna mengangguk, meletakkan pizza di atas meja tempatnya menonton drama Korea 'W' yang sedang ditontonnya di laptop.

"Kok lo tahu gue lagi sendirian? Lo stalker gue, ya?"

Davi mengangkat satu alisnya. "Ogah. Kek gak ada kerjaan aja stalking lo. Gak guna." Davi melempar bokongnya pada sofa dan Luna menatap cowok itu kagum akan ketidaksopanan Davi. Hei, biar bagaimanapun, Luna tuan rumah di sini!

Luna berdecak. "Eh, gue yang punya rumah! Kenapa lo yang bertingkah seakan-akan ini rumah nenek moyang lo?!"

Davi menoleh sekilas sebelum fokus pada drama Korea di layar laptop Luna. "Lo gak nyediain gue minum gitu? Biar bagaimanapun, gue tamu di sini."

Luna ingin marah dan mengeluarkan umpatan-umpatan, tapi dia menahannya. Cewek itu menghela napas lagi sebelum melangkah ke dapur, mengambil teko berisikan air putih dan sebuah gelas. Luna kembali ke ruang tengah dan meletakkan teko dan air putih itu di atas meja masih dengan wajah judesnya.

"Tuang sendiri. Adanya air putih."

Davi lagi-lagi meliriknya tajam, "Tuangin, lah. Gue tamu di sini. Udah gue bawain pizza juga."

"Mana ada tamu jam segini!"

"Ada. Gue." Davi menjawab Luna santai.

Luna benar-benar kesal dibuat oleh Davi yang kini sibuk menonton drama Korea yang Luna tonton. Tapi perlahan, kekesalan Luna hilang ketika melihat Davi yang sepertinya dengan cepat larut pada drama Korea yang tengah ditontonnya. Wajahnya terlihat serius, tapi lucu.

Sudah lebih dari seminggu lamanya sejak pertemuan terakhir Luna dengan Davi dan ini adalah pertemuan pertama setelah Davi menyelesaikan kasus tuduhan palsu yang ditujukan padanya.

Cowok itu terlihat pucat dan ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Dia pasti sangat lelah karena Luna mendapat informasi dari Wisnu jika Davi langsung bekerja setelah dinyatakan tidak bersalah.

"Buka aja pizza-nya. Gak usah ngeliatin gue terus. Iya, gue tahu lo kangen sama gue."

Seperti tertampar oleh ucapan Davi, Luna tersenyum dipaksakan sebelum memutuskan untuk membuka kotak pizza, mengambil satu potongan dan duduk di samping Davi yang masih serius menonton drama Korea yang harusnya ditonton Luna.

"Lo ngapain coba malam-malam ke rumah gue? Bukannya istirahat. Muka lo udah mirip mayat soalnya." Luna berkata sebelum memakan pizza-nya.

Davi menoleh. "Gue mau istirahat, tapi gagal terus. Ya, udah gue ke sini."

Dengan mulut yang masih penuh, Luna menjawab, "Lah, apa hubungannya."

Davi terkekeh. Tangannya bergerak menjitak kepala Luna. "Abisin dulu makanan di mulut lo sebelum ngomong."

Luna menghabiskan pizza di dalam mulutnya dan mengerucutkan bibir. "Jangan jitak kepala gue juga kali!"

Davi terkekeh lagi sebelum menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Matanya menatap lurus ke depan. "Tapi seriusan. Gue harus seenggaknya lihat muka lo dulu baru bisa tidur nyenyak. Kalo gak lihat, mana bisa tidur nyenyak."

"Ngelawak?"

Davi tertawa dan Luna menatapnya bingung. Yang dilakukan Davi selanjutnya membuat Luna tambah bingung dan sebisa mungkin berusaha menutupi perubahan aneh pada dirinya. Davi menyandarkan kepalanya pada bahu Luna yang duduk di sampingnya. Cowok itu memejamkan mata.

"Gue mau minta maaf sama lo, atas berakhirnya hubungan lo dan Wisnu."

Luna menahan napas. "Bukannya lo udah pernah minta maaf? Lo dan gue juga udah pernah ngomongin ini, kan?"

Davi mengangguk, tanpa mengubah posisinya. "Wisnu bilang ke gue buat gak nyakitin lo. Wisnu bilang ke gue kalo dia udah gak bisa perjuangin lo lagi. Wisnu bilang ke gue kalo lo udah sulit buka hati buat dia lagi."

Jantung Luna berdebar tak karuan. Wisnu berbicara seterbuka itu kepada Davi? Oke, memang bukan rahasia lagi jika Luna menyukai Davi. Hampir semua orang tahu, kecuali Davi. Atau mungkin Davi tahu, tapi pura-pura tidak tahu.

"Lo ngingetin gue sama Nara, sejak awal kita ketemu."

Satu nama yang selalu membuat Luna merasa sebagai cewek terbodoh di dunia karena berpikir bisa bersaing dengan cewek sesempurna Nara.

"Pertemuan pertama gue sama Nara itu waktu dia mergokin gue manjat pagar sekolah buat bolos. Dia teriak dan manggil guru sampai akhirnya, gue masuk BK gara-gara dia." Davi mengingat masih dengan mata terpejam sebelum lanjut berkata, "Partemuan pertama gue sama lo, lo teriak di depan muka gue bahkan sampai narik kerah baju gue buat nanyain Wisnu. Gue masih ngakak kalo inget kejadian itu."

Luna mendengus saat mendengar kekehan geli Davi. Ah, jika mengingat kejadian itu, memang lucu. Dulu, Luna sangat kesal pada Davi, tapi nyatanya pertemuan pertemuan pertama itu berujung pada kebersamaan mereka saat ini. Jadi, memang harus selalu diingat.

"Sikap lo sama Nara itu sama. Sama-sama cuek dan terkesan tomboy. Berani ngelawan gue ketika cewek-cewek lain pada sibuk nurutin gue." Davi menghela napas, "Tapi itu yang buat lo sama Nara berbeda dari cewek-cewek itu. Lo sama Nara itu...spesial di hati gue."

Luna menoleh sedikit. "Apaan, sih? Lo lagi coba mau ngomong apa? Gak usah bertele-tele."

Davi lagi-lagi terkekeh. "Ah, lo ngerusak momen serius aja, sih. Udah diam, dengerin. Gue belum selesai."

"Ih!"

Davi menahan tawa mendengar kekesalan Luna sebelum melanjutkan, "Intinya, gue mau sangat berterima kasih sama lo karena telah hadir di hidup gue dan thanks udah peduli sama gue."

Luna diam dan Davi melanjutkan, "Gue mau lo bahagia dan gue gak bisa menjamin kebahagiaan lo jadi, please, cari bahagia lo sendiri."

"Kebahagiaan gue udah bahagia sama kebahagiaannya. Jadi, gue turut bahagia karena dia bahagia."

Davi diam mendengar ucapan bergetar Luna tersebut. Cowok itu mengangkat kepalanya dari bahu Luna dan mendapati Luna yang menundukkan kepala dengan tangan yang bergetar, sedikit mengepal.

"Luna,"

Perlahan, Luna menoleh dan mengangkat wajah mendengar Davi memanggil namanya. Davi mengerucutkan bibir, tangannya bergerak meraih dagu Luna. "Jangan sedih, ah. Jadi tambah jelek."

"Bodo."

Luna hendak memalingkan wajah, tapi Davi menahannya dan mempertahankan kontak mata mereka.

"If I had a chance, I would like to make you happy."

Semuanya seperti mimpi ketika Luna hanya dapat diam membeku saat bibirnya disentuh oleh sesuatu yang sangat lembut dan butuh beberapa detik sebelum Luna tersadar jika semua nyata. Luna memejamkan mata, mengikuti alur yang dimulai oleh Davi namun, semua tak bertahan lama.

Davi menjauhkan wajahnya dan tersenyum kepada Luna. Ibu jarinya mengelus bibir bawah Luna sebelum berkata, "Thank you for everything."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top