41 - Tunangan

"Aktor Davino Alaric Syahm tertangkap tangan memiliki narkoba jenis shabu di dalam tas ransel yang dia bawa ke lokasi pemotretan di daerah Kebon Jeruk, Jakarta. Sudah dua jam berlalu sejak penggebrekan dan aktor Davino masih melaksanakan pemeriksaan lebih lanjut di kantor polisi terdekat."

Laluna Emalia Putri buru-buru mematikan televisi yang dia tonton sambil beranjak dari tempat duduknya ketika menonton acara berita malam ini. Luna memasuki kamar dan meraih ponsel, dia mencari kontak bernamakan Jangkung di sana dan menghubungi dengan cepat.

Narkoba? Yang benar saja! Davi mana mungkin pake barang terlarang kayak gitu.

Beberapa kali Luna mencoba menghubungi, tapi tak ada jawaban apapun dari Davi dan Luna masih akan menghubungi cowok itu jika ponselnya tak berdering. Kali ini, nama Wisnu yang tertera di sana. Masih dengan dada berdebar, seperti merasakan adrenalin yang kuat, Luna mengangkat panggilan dari Wisnu.

"Hal—,"

"Kamu udah nonton berita? Aku sama Lutfi mau ke kantor polisi nemuin Davi."

Luna memejamkan mata, menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi. "Nu, ini bohongan, kan? Davi gak benar-benar pake narkoba, kan?" Luna bertanya ragu-ragu, nadanya terdengar bergetar. Dia sangat mencemaskan Davi, tiba-tiba.

"Itulah alasan kenapa aku telepon kamu. Aku yakin, kamu pasti cemasin Davi, kan?"

Luna tak menjawab, dia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang masih bergetar tak tahu kenapa. Jantungnya masih berdebar tak karuan.

"Aku cuma mau bilang, percaya sama kata hati kamu. Kamu kenal Davi, kamu tahu seperti apa dia. Jadi, kalo kamu ada pertanyaan seputar dia yang buat kamu ragu, tanyain ke diri kamu sendiri. Mana yang bisa kamu percaya."

Luna menghela napas. "Nu,"

"Aku kabarin kamu lagi nanti. Baru sampai di kantor polisi, nih. Kamu jangan terlalu cemas, ya. Istirahat. Anggap aja kejadian ini gak pernah ada."

Luna mendesah. "Gimana bisa anggap keja—," belum sempat Luna melanjutkan protesnya, Wisnu sudah mengakhiri panggilan dan membuat Luna tambah frustasi.

☢☢☢

"Jadi, kenapa lo diam aja waktu diinterogasi polisi? Lo gila, ya?! Kalo salah bilang salah! Kalo enggak, ya bela diri, dong! Jangan matung aja!"

Wisnu harus menarik lengan Lutfi ketika pria itu membentak sang adik yang duduk di hadapannya, menundukkan kepala seakan tak berani menatap siapa yang ada di hadapannya saat ini.

"Papa cemasin lo! Kambuh lagi dia waktu nonton berita lo!" Lutfi kembali berkata keras, Wisnu mencoba menenangkan.

Setelah dikira Lutfi sudah cukup tenang, barulah Wisnu ikut angkat bicara. Matanya menatap iba Davi yang masih mengenakan pakaian yang pasti wardrobe pemotretannya. Wajah Davi terlihat lelah dan Wisnu tahu, Davi juga tak pernah menginginkan hal ini terjadi.

"Dav, jadi itu narkoba punya lo?"

Wisnu bertanya pelan dan beruntung, Davi merespon dengan gelengan kepala.

"Kenapa lo diam aja waktu diinterogasi?" tanya Wisnu.

Davi mengangkat wajah letihnya, menatap Wisnu dan Lutfi bergantian sambil tersenyum tipis. "Gue capek ngasih tahu kebenaran dari sisi gue. Tadi mereka ambil sampel urin gue dan bukannya nanti akan menjelaskan semuanya?"

Lutfi memukul meja keras. "Gak usah sok tenang! Lo difitnah dan lo gak melakukan pembelaan sama sekali!"

Davi beralih menatap Lutfi. "Yang kena fitnah gue, kenapa lo yang marah?"

Mungkin Lutfi akan menonjok wajah tampan adiknya jika saja Wisnu dengan sergap menahan dirinya. Lutfi memutuskan bangkit berdiri, dia menunjuk Davi dengan kekesalan yang teramat.

"Lo harusnya bersyukur masih ada yang peduli dan cemas sama lo!"

Setelah itu, Lutfi melangkah pergi meninggalkan Davi dan Wisnu yang menatap kepergian Lutfi dengan pias. Wisnu kembali menatap Davi yang kini menundukkan kepala.

"Dav, gue masih penasaran kenapa ada benda itu di tas lo?"

Wisnu berusaha berbicara sesantai mungkin. Davi pasti masih panik dan bingung, jika Wisnu berbicara dengan nada kasar seperti Lutfi, itu hanya akan membuat Davi memburuk..

Davi menggeleng. "Gue gak paham."

Wisnu menatap Davi tajam sebelum dengan tegas bertanya lagi, "Lo tahu lo lagi dijebak, kan?"

Senyuman tipis muncul di bibir Davi. Dia menganggukkan kepala.

"Masih mau lanjutin?"

Davi tak menjawab.

Wisnu bangkit berdiri sambil menghela napas. "Oh, ya. Lutfi udah hubungi temannya yang pengacara. Ada kemungkinan, tiga hari sampai seminggu kasus selesai. Kak Atika udah tahu semua dan lagi coba bicara sama agensi buat kegiatan-kegiatan yang bakal dibatalkan atau ditunda."

"Thanks."

Wisnu mengangguk. "Ngejauh dari masalah, bisa gak sih lo?"

Davi hanya dapat diam.

☢☢☢

Narayana Aneska Yuan menonton berita di televisi dengan napas tak beraturan. Hampir semua televisi menampilkan wajah seorang Davino Alaric Syahm yang sedang berada dalam masa penyelidikan atas dugaan kasus kepemilikan narkotika.

"Dokter Nara!"

Panggilan itu membuat Nara menoleh dan mendapati seorang dokter yang cukup dia kenali tengah melangkah cepat menghampirinya. Sesampainya di hadapan Nara, dokter itu menampilkan senyuman lebar manisnya.

"Udah sarapan belum? Saya traktir bubur ayam, mau?"

Berbanding terbalik dengan dokter itu, Nara malah menatapnya tajam. "Kamu yang berbuat semua ini?"

Dokter itu mengangkat satu alisnya. "Maksudnya?"

Nara menggeleng dan tersenyum sinis. "Kamu gak usah pura-pura bego! Saya tahu, kamu terlibat! Yang punya masalah itu saya, kamu gak usah ikut campur!"

Dokter itu menatap Nara bingung sebelum menghela napas. Dia merengkuh pundak Nara. "Saya bantu kamu untuk mempercepat segalanya. Sekarang, kamu malah marah sama saya. Harusnya, kamu tahu akibat jika ketahuan saya yang sebenarnya bersalah meskipun, benda itu juga bukan punya saya."

Nara menggeleng. "Tapi gak begitu juga! Ini sama aja menambah masalah! Kamu kalo mau bantu, plis pikirkan matang-matang dan gak usah gegabah!"

Satu alis dokter itu terangkat lalu, tangannya menjadi dari pundak Nara. "Ini yang paling saya takuti, sejak kamu menyusun rencana bodoh ini."

Nara menahan napas dan menatap lekat iris kecokelatan dokter yang berdiri di hadapannya. Dokter itu memejamkan mata sekilas. "Saat kamu mau membalas dendam keluarga kamu dengan cara yang kejam, tapi hingga detik ini gak banyak yang kamu lakukan. Justru yang saya lihat, rencana kamu semakin lama semakin memudar."

Dokter itu tersenyum tipis. "Perasaan orang mudah berubah, kan? Termasuk perasaan kamu kepada cowok itu." Dokter itu menghela napas, "Saya tahu gak seharusnya saya berpikiran seperti ini, tapi semua terpampang jelas. Kamu sudah jatuh ke pesona yang dia miliki dan perlahan melupakan rencana balas dendam kamu."

Setelah mengucapkan kalimat itu, sang dokter melangkah meninggalkan Nara yang masih berdiri membeku, menundukkan kepala.

Salahkah jika Nara memang menaruh dendam berlebih kepada keluarga Syahm? Keluarga itu yang membuat keluarga Nara hancur, bahkan menjadi penyebab utama kematian sang ayah. Dia belajar untuk mempertahankan beasiswa sehingga meringankan beban sang Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga dan saat ini mungkin hanya ada beberapa orang yang tahu jika Ibu Nara berbaring di ranjang kamarnya, tanpa bisa melakukan sesuatu. Stroke.

Saat rasa benci Nara pada keluarga Syahm sedang berada di puncak, Davi datang dengan wajah malaikatnya, seakan-akan dia tak mengetahui apa yang dilakukan keluarganya kepada Nara. Davi datang bertingkah seakan-akan hubungan mereka masih normal dan dia masih memperlakukan Nara selayaknya seorang putri.

Nara bersumpah untuk membalaskan dendam keluarganya melalui Davi. Tapi sungguh, Nara belum berpikir apapun mengenai apa yang harus dia lakukan karena semakin keras dia mencoba menyusun rencana, semua momen yang dia lalui bersama Davi terputar begitu saja, membuat Nara harus menutup buku rencananya lagi.

Masalah Davi yang dituduh sebagai pemilik sekaligus pemakai narkotika, Nara sama sekali tak tahu apa yang terjadi sampai dokter itu menemui Nara dan seakan memberitahu secara gamblang jika dialah yang berperan besar pada penyergapan kemarin sore.

Bagaimana tidak? Semuanya terlihat jelas terencana.

Siapa yang menghubungi polisi untuk menyergap tempat yang sudah dijadikan tempat bekerja selama beberapa tahun terakhir dan menginfokan tentang keberadaan narkotika di sana? Jawabannya adalah orang yang sama dengan yang meletakkan narkotika itu di dalam tas Davi.

Orang itu dibayar secara langsung oleh dokter yang sebenarnya sudah berstatus sebagai tunangan Nara selama satu tahun belakangan.

Ya, tunangan Nara. Dokter Sobian, namanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top