35 - Obrolan dengan Lutfi
Sinar mentari pagi membangunkan Nara dari tidur lelapnya. Cewek itu membuka mata sekilas, mengumpulkan nyawa sebelum beranjak dari posisi berbaringnya. Nara merenggangkan otot-otot tubuhnya sebelum benar-benar membuka mata. Beberapa detik berlalu begitu saja sampai Nara mengangkat satu alis mendapati seorang pemuda tampan yang tampak tengah tertidur pulas dengan posisi duduk di sofa tak jauh dari ranjang tempat Nara berada.
Gimana gue gak bersyukur punya lo, Dav?
Satu dua menit berlalu dan Nara tak melakukan apapun kecuali menatapi wajah damai Davi hingga cowok itu menggeliat kecil sebelum membuka mata. Davi mengumpulkan nyawa terlebih dahulu lalu, tersenyum ketika matanya menangkap sosok Nara yang sudah terbangun.
"Selamat pagi, Gendut."
Bibir Nara mengerucut mendengar sapaan pagi Davi yang sekarang terkekeh geli. Nara mendengus. "Gue gak gendut! Cuma kelewat bahagia aja!"
"Masa?"
Nara memutar bola mata. "Masih pagi, Davino. Jangan mulai. Gue masih ngantuk banget, untung aja hari ini libur." Nara merentangkan tangan sambil menguap, menyambut pagi dengan mengantuk lagi.
Davi beranjak dari sofa dan tiba-tiba saja bergabung dengan Nara di atas ranjang, menyembunyikan sebagian tubuhnya di selimut yang menutupi tubuh Nara. Davi mengeratkan pegangannya pada selimut tersebut dan menyandarkan kepala pada bahu Nara.
"Gue juga masih ngantuk banget. Gak nyaman tidur di sofa." Davi mendusel manja di tengkuk leher Nara.
Nara tak memprotes sama sekali atas tingkah manja Davi. "Siapa yang suruh tidur di sofa? Kenapa gak di ranjang aja?"
"Takut khilaf."
Jawaban singkat nan receh Davi membuat Nara tertawa keras dan Davi tak bisa menyembunyikan senyum kebahagiaan di bibirnya. Cowok itu memejamkan mata dan mendusel manja lagi saat satu tangan Nara mengelus puncak kepala.
Dengan nada yang dibuat-buat, Nara berkata, "Duh, kasihan anak Mama. Pasti pegel badannya, ya, tidur di sofa?"
Davi mengerucutkan bibir. "Tanggung jawab lo. Pijitin gue sampai pegelnya hilang."
"Injek-injek aja boleh?"
"Jahat!"
Setidaknya, pagi hari ini terasa sangat tidak nyata untuk seorang Davino Alaric Syahm karena Nara ada di sisinya. Davi merasa sangat bahagia pagi ini.
"Dav, Wisnu mana?"
Pertanyaan cemas Nara itu membuat Davi tersenyum tipis, tanpa membuka mata dan memindahkan kepalanya dari bahu Nara. "Wisnu gak tahu ke mana. Kayaknya dia udah gak mau tinggal sama gue lagi. Sejak kerja, dia belum balik lagi ke sini. Tapi barang-barangnya masih ada."
Nara tiba-tiba bergerak, membuat Davi mengangkat kepalanya saat Nara hendak turun dari ranjang. Davi menahan lengan cewek itu. "Lo mau ke mana? Mau pergi? Takut ada Wisnu?" Nara tak menjawab, tapi Davi tahu apa jawaban Nara.
Davi menarik napas, menarik kembali Nara supaya bertahan di ranjang. Davi memeluk tubuh Nara, erat sambil berkata penuh penekanan, "Gue bakal mastiin lo baik-baik aja. Gue jamin lo aman di sini. Gue jamin Wisnu gak akan ganggu lo lagi, termasuk yang lain-lain. Lo aman sama gue."
"Lo yakin lo bisa mastiin kalo gue aman?" Nara memasrahkan diri dalam pelukan hangat Davi yang memang selalu punya efek dahsyat untun menenangkan dirinya.
Davi mengangguk. "Yakin. Pasti."
Nara tersenyum dan balas memeluk Davi erat.
☢☢☢
Ingin rasanya Luna menangis karena nyatanya, pekerjaan menjadi guru Sekolah Dasar tak semudah yang dia kira. Baru tiga hari bekerja sebagai guru, Luna sudah mendapat kesialan tiada tara dari para murid menyebalkan. Lebih tepatnya murid kelas lima yang benar-benar membuat kepala Luna pening.
Hari pertama, Luna dikejutkan dengan seorang murid yang buang air besar di celana. Murid itu menangis karena tindakannya tersebut dan Luna tak mampu meredakan tangisan murid itu sampai kepala sekolah harus turun tangan menenangkannya. Untungnya, kepala sekolah cukup dapat mentolelir apa yang terjadi.
Di hari kedua, Luna harus dibuat kesal oleh murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang kemarin Luna berikan, tapi tak mau dihukum pula. Murid itu menangis karena Luna marahi dan Luna harus menyogok dengan membelikan es krim supaya dia berhenti menangis.
Hari ketiga, ada sekitar lima murid yang pergi entah ke mana di saat pelajaran Luna. Tas dan buku-buku mereka ada di atas meja dan Luna kehabisan akal mencari di mana anak-anak itu berada. Saat pelajaran selesai, barulah mereka muncul memasang wajah tanpa dosa, mengatakan mereka keasyikan bermain layangan.
Luna tak menyangka pekerjaannya seberat ini. Menghadapi anak kecil yang benar-benar sulit diatur dan sebagainya. Ditambah lagi, Luna satu-satunya guru baru di SDN 99 itu dan menjadi bahan godaan para guru pria hidung belang yang ada di sana.
Jam bekerja Luna sudah habis. Cewek itu merapihkan meja kerjanya dan hendak meraih tas untuk pergi saat seorang guru pria yang Luna lupa namanya tiba-tiba muncul sambil tersenyum. Usia guru pria itu mungkin berada di angka empat puluhan dan dia masih lajang.
"Bu Luna sudah mau pulang?" tanyanya, kentara sekali modusnya. Ditambah, hanya ada Luna dan dia di ruangan.
Luna mengangguk dan tersenyum ragu. "Iya, Pak. Saya permisi, ya."
Baru ingin pergi, suara guru pria itu kembali membuat Luna bertahan ditempatnya. "Mau bareng saya gak? Saya satu arah sama Bu Luna."
Buru-buru Luna menggeleng. "Eh, gak usah, Pak. Saya sudah dijemput sama tunangan saya." Luna diam sejenak, mencoba mencerna kalimat refleks yang dia ucapkan, tapi wajah guru itu jelas berubah ketika Luna menyebut kata tunangan.
"Bu Luna sudah punya tunangan?" tanyanya, terkejut.
Luna tersenyum dipaksakan sambil mengangguk. "Iya, Pak. Doain, ya. Sebentar lagi kita naik ke pelaminan." Luna ingin tertawa mendengar kebohongan yang dia ciptakan sendiri.
Guru itu mengangguk dengan wajah yang melemas. "Oke, deh. Hati-hati di jalan, Bu Luna." Dia melangkah lesu kembali ke mejanya ketika Luna melangkah ceria ke luar dari ruang guru.
Sampai di depan gerbang sekolah dan saat hendak memesan GoJek untuk menjemputnya, sebuah mobil berhenti di depan Luna. Kaca mobil itu terbuka dan Luna mendapati seorang Lutfi Ataric Syahm berada di bangku kemudi. Lutfi tersenyum kepada Luna.
"Naik, Lun. Saya mau bicara banyak sama kamu." Perintahnya dan Luna menurut.
☢☢☢
Alan Syahm menghela napas pasrah mendengar semua cerita Wisnu. Siang ini, anak angkatnya itu tiba-tiba datang ke rumahnya dan menceritakan tentang apa yang terjadi pada anak bungsunya yang mengalami perubahan sikap sejak beberapa bulan belakangan.
"Saya gak pernah nyangka jika mereka masih berhubungan baik, bahkan sampai sekarang dan saya gak yakin, hal yang mudah untuk memisahkan mereka." Wisnu menambahkan dan Alan mengangguk.
Alan menundukkan kepala singkat dan kembali menatap Wisnu. "Oke. Jadi Davi masih berhubungan dengan cewek itu sejak lama. Cewek itu bekerja di rumah sakit tempat Davi dirawat dan kami menambahkan jika Davi membawa cewek itu ke apartment?"
Wisnu mengangguk. "Saya berani bersumpah, kalau Papa gak percaya dengan laporan saya."
Senyuman tipis muncul di bibir Alan. "Wisnu Audri Prasetya, saya gak angkat kamu sebagai anak jika kamu bukan orang yang gak bisa saya percaya." Wisnu diam, kehilangan kata-kata.
Alan melipat tangan di depan dada, matanya masih terfokus pada Wisnu sebelum lanjut berkata, kali ini dengan topik yang berbeda.
"Lalu, gimana pekerjaan kamu? Ada keluhan?"
Well, Wisnu bekerja di perusahaan kecil yang baru dibangun oleh Alan dan Lutfi. Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, keahlian Wisnu sendiri yang nyatanya, berkembang sangat pesat hingga saat ini.
☢☢☢
Sepertinya, hidup Luna berjalan sangat normal dan biasa saja sebelum dia bertemu dengan seorang Davino Alaric Syahm. Cowok itu muncul dengan berbagai macam masalah pelik miliknya sendiri yang entah kenapa harus Luna pikirkan hingga Luna sendiri pening. Termasuk masalah yang satu ini, tentang hubungan Davi dengan keluarganya sendiri yang merenggang karena seorang Narayana Aneska Yuan.
"Davi pergi dari rumah setelah tahu alasan Nara pindah adalah keputusan Papa untuk menarik semua fasilitas yang dia berikan kepada keluarga Nara. Ditambah lagi dengan kasus kekerasan yang Papa lakukan ke Mama, itu semakin memperkuat alasan Davi untuk memutus hubungan dengan Papa dan termasuk dengan saya."
Lutfi melanjutkan ceritanya, seraya menyeruput Americano hangat yang dia pesan. Luna berpikir sejenak dan menghela napas. "Berarti bukan salah Nara, dong, tapi salah keluarga Papa kalian yang buat Davi berubah memusuhi keluarganya sendiri."
Senyuman tipis muncul di bibir Lutfi. Lutfi mengangguk kecil. "Pada awalnya, iya. Saya gak akan menampik jika Papa berperan besar pada perubahan sikap Davi." Lutfi menunduk dan menghela napas, "Tapi setelah mendengar cerita versi Papa, saya berusaha mencaritahu tentang semua lebih rinci. Saya jauh lebih percaya pada orang yang membesarkan saya daripada orang lain yang bahkan gak begitu saya kenal."
"Maksudnya?" Luna mengangkat satu alis.
"Kalau boleh saya jujur, saya senang lihat kamu dan Davi. Saya pikir, kalian punya hubungan spesial, tapi ya, sudahlah." Lutfi mengedikkan bahu dan membuat Luna memicingkan mata kepadanya.
"Ih, apaan, sih, Kak Lutfi. Ngomong itu jangan setengah-setengah. Langsung ke intinya aja, gak usah kebanyakan basa-basi."
Lutfi mengernyitkan dahi mendengar ucapan Luna yang benar-benar mengingatkannya pada seseorang yang paling anti berbasa-basi, langsung berbicara pada inti dan terkadang berbicara tanpa disaring terlebih dahulu. Lutfi terkekeh kecil.
"Sekarang, saya paham kenapa kamu dan Davi bisa klop, meskipun hanya sebatas teman."
Kini Luna yang mengernyitkan dahi tak mengerti. "Apaan, sih?"
Lutfi tak menjawab, hanya tersenyum tipis penuh arti. Pemuda itu kembali menyeruput Americano-nya sambil lanjut bercerita, "Cinta itu bisa membutakan seseorang. Iya, gak, Lun?"
Sungguh, lama-lama Luna kesal harus berbicara dengan Lutfi yang menggunakan gaya bahasa yang tak langsung ke inti, sangat berbeda jauh dengan Davi yang langsung ke inti. Basa-basi Lutfi membuat Luna harus memutar otak mencoba mencari tahu maksudnya.
Melihat ekspresi menahan kesal Luna, Lutfi tertawa. "Oke, oke. Saya gak akan basa-basi lagi. Let's talk about Davi again." Lutfi menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tempatnya duduk, "Saya berusaha memberitahu Davi mana yang baik dan mana yang buruk, begitupun Wisnu. Tapi Davi sudah dibutakan oleh yang namanya cinta itu."
Lutfi melipat tangan di depan dada. "Saya bukan mau mengatakan Nara sebagai cewek yang gak baik untuk Davi, hanya saja..." Lutfi diam, menarik napas sebelum melanjutkan, "Nara bukan yang terbaik untuk Davi. Terlebih lagi, keluarga Davi gak akan pernah klop dengan keluarga Nara. Seperti air dan minyak yang mustahil untuk bersatu."
Luna mulai menangkap maksud ucapan Lutfi. Nyatanya, Davi memang memiliki banyak rahasia yang sangat sulit untuk diungkap. Bahkan, sedekat apapun Luna dan Davi sekarang, itu belum cukup untuk membuat Davi angkat bicara mengenai apapun, termasuk tentang keluarganya dan keluarga Nara.
Seperti Davi memberi batasan kepada siapapun untuk menelisik lebih dalam mengenai kehidupannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top