33 - Rahasia
Orang pertama yang Davi lihat saat dia membuka mata adalah sosok pria berusia paruh baya yang sudah hampir beberapa tahun belakangan tak dia lihat. Pria itu tampak bertopang dagu di tepi ranjang Davi. Rambutnya yang terakhir kali Davi lihat berwarna hitam pekat, kini dipenuhi rambut keperakkan yang menandakan jika dia tak lagi berusia muda.
Ayahnya sendiri. Alan Syahm.
Davi diam dan berusaha untuk tak membangunkan sang Ayah. Matanya menelisik perubahan fisik Ayahnya. Yang semula bertubuh berisi dan kekar, kini terlihat sangat kurus. Kulitnya juga pucat.
Pintu tiba-tiba terbuka dan seorang dokter wanita paruh baya memasuki ruangan seraya tersenyum hangat, "Selamat pagi, Davino."
Davi balas tersenyum. "Pagi, dokter Rara."
Nyatanya, mereka membangunkan Alan secara tak langsung. Pria paruh baya itu mengangkat kepala dan mengerjapkan mata sebelum berhenti saat iris gelapnya bertemu dengan iris gelap sama yang entah sudah berapa lama tak bertabrakan dengannya.
Senyuman tipis muncul di bibir Alan. "Kamu sudah bangun, Dav?"
Davi diam sejenak dan mengangguk kemudian, beralih ke dokter Rara yang mulai melangkah menghampiri Davi. Dokter Rara mengenakan stetoskopnya dan menggunakan alat itu untuk memeriksa Davi. Pemeriksaan sederhana dan sangat singkat. Dokter senior itu mengangguk setelah pemeriksaan selesai.
"Kamu punya daya tahan tubuh yang bagus, kan? Kemarin saya perkirakan kamu bisa bertahan satu minggu lebih di rumah sakit, tapi sepertinya saya salah. Mungkin dua atau tiga hari lagi kamu sudah bisa ke luar dari rumah sakit."
Davi tersenyum dan mengangguk kecil. "Sip. Makasih, dokter Rara."
"Sama-sama, Davino." Dokter Rara sedikit membungkuk sebelum lanjut berkata, "Saya periksa pasien lain dulu, oke? Nanti kalau sempat, saya ke sini dan periksa kamu ulang untuk lebih meyakinkan."
Davi menggeleng kecil. "Gak usah. Saya percaya dokter Rara, kok. Sekali lagi, makasih, ya, Dok."
"Saya permisi," dokter itu melangkah ke luar dari ruangan Davi, meninggalkan Davi berdua saja dengan Alan yang sedari tadi diam saja, menundukkan kepala.
Davi menatap sang Ayah sebelum menghela napas. "Jadi, tujuan Papa ke sini mau ngapain? Kalo Papa masih teguh dengan keinginan Papa yang sama sekali bukan keinginan aku, aku angkat tangan dan maaf, aku gak anak pernah nurut."
Alan mengangkat wajah. "Kita baru ketemu lagi, kan, Dav? Kamu bahkan gak pernah jenguk Papa di penjara saat kamu tahu dengan, Papa gak ngelakuin sesuatu yang salah."
"Hanya berada di tempat yang salah, begitu? Papa udah seringkali jelasin itu ke aku dan aku udah capek dengarnya."
Alan menatap putra bungsunya lembut. Ah, harusnya dia marah karena Davi bertingkah tak sopan kepadanya, tapi melihat Davi dan mendengar Davi merespon tiap kata yang dia ucapkan saja sudah merupakan kebahagiaan sendiri untuk Alan. Pasalnya, sungguh, Davi benar-benar mengasingkan diri dari keluarganya saat dia memutuskan untuk ke luar dari rumah.
"Papa gak akan pernah capek buat mengingatkan kamu akan hal itu." Alan berkata penuh ketegasan dan Davi hanya bisa diam.
Davi beralih menatap lurus ke langit-langit ruangannya dan berkata pelan, tapi terdengar jelas di telinga Alan, "Hati manusia siapa yang bisa mengontrol, Pa?" Davi menatap Alan kembali dan melanjutkan, "Aku juga udah cukup besar untuk tahu mana yang baik dan mana yang bukan untuk aku."
"Kamu kelemahan terbesar Papa. Kamu tahu itu dengan jelas." Alan berujar sendu, menghela napas dan kembali menundukkan kepala.
Davi memejamkan mata indahnya saat Alan mengangkat wajah untuk menatap putra bungsu kebanggaannya itu. "Papa akan ngelakuin hal apapun, tapi Papa mohon, untuk kali ini saja, turuti keinginan Papa. Papa mau yang terbaik untuk kamu dan Papa mau kamu bahagia."
Mata Davi terbuka. "Dia yang terbaik untuk aku dan aku gak butuh siapapun selain Nara."
"Davino,"
"Papa boleh ke luar sebelum aku panggil satpam untuk meminta Papa ke luar." Davi berujar penuh ancaman dan Alan tak berkutik.
Diancam oleh anak sendiri itu sangat menyakitkan batin Alan, tapi di lain sisi, dia tak mampu berbuat banyak. Bagaimana cara mengubah perasaan seseorang? Sulit, bukan? Alan berusaha untuk memahami perasaan Davi, tapi tidak akan bertahan selamanya.
☢☢☢
Luna tak tahu mana yang harus dia percaya, tapi Wisnu benar-benar mendesak Luna untuk percaya pada ceritanya ketimbang mendengar sudut pandang yang berasal dari cerita orang lain, yang pastinya juga bersangkut paut.
Tapi Davi jelas bukan orang yang dapat dengan mudah mengumbar semua yang terjadi pada hidupnya. Dia seseorang yang berpegang teguh pada privasi dan sangat sulit menggapai privasi Davi. Sangat berbeda dengan Wisnu yang sangat terbuka tentang apapun kepada Luna, termasuk tentang keluarganya dulu.
Lalu Nara. Apa yang dapat Luna harapkan dari Nara yang jelas-jelas menghindarinya sejak tahu Luna memiliki hubungan dengan Wisnu.
Siang ini, Luna tak mengerti bagaimana kakinya membawa cewek itu melangkah ke ruangan tempat Davi berada. Kemarin, Luna memang tak sempat bertemu langsung dengan cowok itu karena dia masih berada dalam pengaruh obat tidur. Di depan ruang rawat Davi, ada Roy yang pasti setia menunggu dan menjaga Davi. Luna menghampiri Roy yang tersenyum saat melihatnya.
"Selamat siang, Mbak Luna. Sendirian ke sininya?"
Luna tersenyum dan duduk di samping Roy. "Enggak, kok, Pak. Emang saya nginap di rumah sakit udah dari beberapa hari lalu. Kakek lagi di rawat. Lusa baru boleh pulang jadi, daripada nunggu di sana, mending main ke sini dulu."
"Mas Davi udah bangun, Mbak. Lagi ngobrol sama Ibu Carolina dan Mas Lutfi."
Pikiran Luna melayang mengingat bagaimana buruknya hubungan Davi dan Lutfi. Luna selalu tak mengerti jalan pikiran Davi. Lutfi jelas-jelas sangat peduli pada adiknya itu dan Lutfi bilang, Davi sangat anti menemuinya. Bahkan, Luna masih ingat bagaimana Davi mengabaikan keberadaan Lutfi ketika mereka berpapasan setelah Wisnu sadar dari komanya.
Masih sebuah pertanyaan juga dalam benak Luna: Apa Davi dan Nara sudah bertemu? Bukannya Nara dipindahtugaskan ke sini?
Tak berselang lama setelah Luna duduk di samping Roy, pintu ruangan Davi terbuka. Menampilkan Lutfi dan sang Ibu yang melangkah ke luar dan langsung pergi begitu saja. Untungnya, mereka tak bertemu Luna dan Luna tak harus memutar otak mencari pokok pembicaraan.
"Mbak Luna gak mau ketemu Mas Davi?"
Lamunan Luna buyar mendengar suara Roy. Luna diam sejenak sebelum mengedikkan bahu. Senyuman kembali dia munculkan di bibirnya sambil bertanya pelan, "Davi udah ketemu Nara, ya, Pak?"
Roy diam dan balas tersenyum. "Kesannya kayak mereka udah lama gak ketemu, ya, Mbak? Padahal, mereka masih sering ketemu walaupun, gak seintens dulu."
Mata Luna melotot. "Hah? Maksudnya?"
"Mustahil Mas Davi gak tahu kalo Mbak Nara kerja di sini. Mas Davi minta dirawat di rumah sakit ini bukan tanpa alasan, Mbak Luna."
Luna baru mau bertanya lagi tentang Davi dan Luna saat ponselnya berdering dan ketika Luna meraih ponsel dari saku celananya, dia mendapati kontak dengan nama Jangkung tengah memanggilnya. Luna segera mengangkat panggilan.
"Halo, kenapa?"
"Lo niat jenguk gue gak, sih? Ngapain di depan?"
Luna memutar bola matanya. Ini orang punya indra keenam kali, ya sampai bisa tahu gue ada di depan ruangan dia.
Luna baru hendak angkat suara lagi ketika pintu ruangan Davi tiba-tiba berdecit. Luna dan Roy sama-sama melotot mendapati Davi yang muncul dari dalam, menyandarkan punggung pada kusen pintu. Satu tangannya memegang tabung infus dengan selang yang terhubung langsung dengan tangannya yang satu lagi, yang diinfus dan memegang ponsel.
Davi mematikan panggilan yang dia lakukan begitu saja dan memasukkan asal ponsel ke saku pakaian pasiennya. Matanya masih menatap Luna lekat, "Lo ngapain ke sini kalo cuma mau ngobrol sama Pak Roy tanpa jenguk gue?"
"Lo ngapain ke luar? Kok, oon, sih?!"
Luna bangkit berdiri dan mendorong punggung cowok itu untuk masuk kembali ke dalam ruangan. Davi mendengus, tapi menurut untuk masuk ke ruangan. Davi duduk di tepi ranjang dan Luna menyangkutkan kembali tabung infus sambil mengomel, "Lo, tuh, sakit nyusahin orang. Udah tahu harus istirahat malah sok-sokan kuat. Lo pikir, lo Superman yang punya kekuatan ekstra?"
Davi tersenyum mendengar omelan Luna. "Lo hobi banget ngomel. Nyokap gue aja gak pernah ngomel kayak lo."
"Emang gue nyokap lo?!"
"Gak sudi juga gue punya nyokap kayak lo."
"Lo pikir gue mau punya anak kayak lo? Amit-amit." Luna berdecak dan lagi-lagi, Davi hanya tersenyum melihat ekspresi menyesalkan Luna.
Davi menarik napas dan menghelanya perlahan. Cowok itu melirik sisi kosong di sampingnya lalu, menepuk sisi itu sambil berkata, "Duduk sini, deh. Atau lo mau duduk di lantai karena kursi yang biasa di samping ranjang lagi dipinjam? Gak mungkin lo duduk di sofa. Kejauhan kalo mau ngobrol."
Luna menurut untuk duduk di samping Davi. Cewek itu menarik napas, menyadari nuansa aneh ketika dia duduk di samping Davi seperti ini. Biasanya, Luna duduk berhadapan dengan Davi.
"Gue tahu pasti banyak pertanyaan muncul di benak lo, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah." Davi angkat bicara dan Luna mencoba mencerna dengan baik, "Tapi lo pernah dengar, kan? Turuti kata hati lo karena itu gak akan buat lo menyesal atas keputusan yang lo buat."
Davi mendongak dan memejamkan mata sebelum membuka mata menatap ke arah Luna. "Lo pernah jatuh cinta sama seseorang begitu dalam sehingga lo lupa sama sekeliling lo dan hanya terfokus pada orang itu?"
Luna tak menjawab dan pula, Davi lanjut berkata, "Gue selalu merasakan hal itu. Lo gak tahu seberapa besar rasa cinta gue ke Nara, bahkan gue sampai menentang banyak hal cuma untuk bisa bersama dia. Hingga sekarang, gue masih perjuangin dia."
Davi diam, memperhatikan Luna sebelum lanjut berkata, "Lo tahu gak kenapa gue sering ngerjain lo dan lain-lain?"
Polosnya, Luna menggeleng.
"Lo itu mirip banget gue di masa lalu. Sekitar jaman SMA, sikap lo itu sebelas dua belas sama gue. Pecicilan, jutek, dan benar-benar pecinta kebebasan. Bedanya, gue gak baperan, lo baperan."
Luna menonjok lengan Davi. "Siapa yang baper?!"
Davi terkekeh, tanpa menjawab pertanyaan Luna. Cowok itu kembali mendongak menatap langit-langit. "Keluarga gue sama keluarga Nara bermasalah dan gue yakin, Wisnu udah pernah cerita sekilas ke lo tentang apa yang terjadi." Davi menunduk, "Bokap dan nyokap gue larang gue buat dekat sama Nara, tapi gue ngeyel dan bertahan sampai sekarang."
Lagi, Davi menatap cewek itu dan dengan senyuman tipis berkata, "Cuma lo, Kak Atika dan Pak Roy yang tahu kalo gue masih berhubungan sama Nara." Davi mengambil jeda sejenak sebelum lanjut berkata, "Gue mohon, jaga rahasia. Jangan bilang siapapun tentang ini, termasuk Wisnu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top