31 - Cilok

Nara menghela napas lega setelah laporan mingguannya selesai. Cewek berusia nyaris mencapai 23 tahun itu melirik jam di dinding ruangannya sambil menyandarkan punggung pada kursi hangatnya. Sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas dan sudah lima belas menit berlalu sejak waktu di mana seharusnya Nara selesai bekerja.

Nara mematikan komputernya dan merapihkan barang-barangnya ke dalam tas. Nara memang mendapat shift sore selama satu minggu ke depan dan setelahnya akan kembali mendapat shift pagi. Nara belum mendapat shift malam karena statusnya yang masih menjadi asisten dokter. Lagipula, shift malam itu membosankan untuk Nara.

Selesai merapihkan barang-barang, Nara mematikan lampu ruangan seraya melangkah ke luar. Cewek itu mengunci ruangannya dan setelahnya, melangkah menuju ruang administrasi. Di sana, Luna absen pulang dengan fingerprint sebelum benar-benar lega dapat segera pulang.

Suasana rumah sakit di malam hari jelas bukan pemandangan yang menyenangkan untuk Nara. Walaupun terlihat seperti cewek kuat, Nara tetap saja cewek yang berteriak paling kencang saat menonton film horor, bahkan sebelum hantu muncul, Nara sudah berteriak mendengar backsound film tersebut.

Omong-omong tentang film horor, Nara baru saja ke luar dari ruang administrasi dan sudah disuguhi pemandangan yang harusnya sudah biasa dia saksikan. Baru satu langkah ke luar dari pintu, keranda jenazah lewat di hadapannya, didorong oleh beberapa brader. Nara tercengang dan setelah keranda jenazah itu lewat, Nara seperti merasa tak ada udara di sekitarnya. Panas.

Cewek itu buru-buru melanjutkan langkah, tapi langkahnya terhenti begitu melihat lorong rumah sakit dengan pencahayaan remang-remang dan terlihat sangat jauh. Ditambah lagi, tak ada orang di sana. Bulu kuduk Nara merinding.

Nara melangkah dengan buru-buru sampai seseorang tiba-tiba muncul dan sontak membuat Nara menutup wajah sambil berteriak keras.

"HANTU!"

"Hantu apaan? Ih, Nara! Ini aku, Luna!" Luna menarik telapak tangan Nara yang menutupi wajah Nara.

Butuh perjuangan hingga akhirnya, Nara mau membuka wajah dan menatap Luna dengan pias. "Kamu ngapain malam-malam di sini? Ngagetin pula!" Nara menghela napas lega dan melirik kiri kanan. Untunglah, teriakan Nara tadi tak begitu menggemparkan.

Nara menatap wajah Luna dan teringat kembali jika cewek itu mengenal Wisnu. Nara menahan napas. "Aku buru-buru. Maaf. Permisi."

Baru mau melangkah, Luna sudah menghalangi Nara sambil berkata penuh penekanan, "Aku gak bakal biarin kamu pergi, sebelum kamu jelasin ke aku apa salah aku sehingga kamu ngejauhin aku, ngehindarin aku dan bahkan gak mau natap aku."

"Kamu gak usah pura-pura gak tahu apa alasan aku melakukan semua itu, Luna." Nara menjawab cepat.

Satu alis Luna terangkat. "Karena aku kenal sama Wisnu? Terus kenapa? Wisnu bilang, dia berteman baik sama kamu dan...kamu pacarnya Davi, kan?"

Nara menggeleng. "Itu dulu. Udah gak lagi sekarang."

"Meskipun Davi masih berharap besar sama kamu dan masih anggap kamu sebagai pacar dia? Jahat, ya? Padahal, dia gak tahu apa-apa tentang bagaimana bisa kamu pergi begitu aja. Dia nunggu kamu. Saat kalian punya kesempatan besar untuk bertemu, kamu malah bilang kalian udah gak pacaran lagi. Jahat banget."

Ucapan Luna membuat Nara tertunduk sebelum akhirnya mengangguk. "Iya. Aku emang jahat. Baru tahu?"

Setelah itu, Nara melanjutkan lagi langkah kakinya, mengabaikan Luna yang terus memanggil namanya, tapi tak menyusulnya. Melihat Nara yang melangkah menjauh, Luna menghela napas. Tak tahu harus berkata apa dan Luna baru mendapat kesimpulan baru. Davi dan Nara. Pasangan paling misterius yang pernah Luna ketahui.

Nara menghela napas dan berdiri di bawah lampu jalan, menunggu Go-jek yang sudah dia hubungi datang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit sekarang. Nara tidak membawa motor hari ini dan Nara tak tahu kenapa. Mungkin salah satu alasannya adalah dia malas mengeluarkan motor dari garasi.

Untungnya, Nara bekerja di lingkungan rumah sakit yang masih ramai. Bahkan sudah hampir pukul sepuluh malam, Nara masih mendapati banyak tukang jajanan di sepanjang trotoar dan satu jajanan yang menarik perhatian Nara. Cilok.

Cewek itu melangkah menghampiri tukang cilok dan dengan ceria bertanya, "Ciloknya masih ada, Pak?"

Tukang cilok yang tadi duduk di tepi trotoar mendongak dan tersenyum sebelum bangkit berdiri. "Masih, Neng. Mau beli berapa?" Si tukang cilok langsung mengambil plastik untuk menyajikan ciloknya.

"Sepuluh ribu boleh, Pak. Gak usah pake saus. Gak usah pake kecap." Nara berujar sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan kepada si tukang cilok.

"Siap."

Si tukang cilok membuka penutup pancinya dan mulai memasukkan satu per satu cilok ke plastik yang ada di tangannya. Entah Nara terlalu fokus pada cilok atau apa, tapi yang jelas saat seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya, Nara tak menyadari. Hingga orang itu mengeluarkan suara untuk membuat Nara tersadar, meskipun bukan ditujukan kepada Nara.

"Saya juga mau, Pak. Sausnya dibanyakin."

Nara buru-buru menoleh dan mendengus mendapati siapa yang kali ini berdiri di sampingnya. Cewek itu sontak memukul lengan cowok yang mengenakan hoodie hitam serta masker yang menutupi sebagian besar wajahnya, tapi Nara tahu cowok itu tengah terkekeh geli padanya.

"Jangan banyak-banyak sausnya buat dia, Pak. Kalo perlu gak usah pake saus."

"Apa rasanya cilok tanpa saus?" tanya cowok itu, mengangkat satu alis.

Nara menggeleng. "Enggak. Pokoknya, sausnya dikit aja. Bahaya buat kesehatan."

Si tukang cilok menyodorkan plastik berisikan cilok pesanan Nara kepada cewek itu yang menerimanya dengan senyuman lebar. "Makasih, Pak."

"Mas-nya jadi pesan?" si tukang bertanya kepada cowok yang berdiri di samping Nara.

Cowok itu mengangguk. "Boleh, Pak. Sausnya dikit aja. Pake kecap."

Si tukang cilok mulai menyiapkan pesanan untuk cowok itu yang secara perlahan menurunkan masker yang dia kenakan, dia tersenyum lebar melihat wajah kesal cewek di hadapannya. Tangannya bergerak, mencubit pipi Nara dengan gemas.

"Jangan cubit-cubit dong! Pipi gue jadi tambah melar!" Nara menepuk tangan cowok itu dari pipi tembamnya. Sementara cowok berhoodie hanya tertawa.

☢☢☢

Davino Alaric Syahm mengeratkan jaket kulit yang dia kenakan supaya dapat menutupi dengan sempurna tubuhnya. Salah satu risiko pekerjaannya sebagai aktor, dia sudah terikat kontrak dan harus menuruti perkataan produser, termasuk harus datang pukul tiga dini hari hanya untuk menyelesaikan syuting sebuah iklan sepatu. Padahal, hanya iklan yang bahkan berdurasi kurang dari satu menit.

"Aku udah bilang ke sutradaranya. Bisa diatur semuanya biar kelihatan syuting di waktu subuh. Tapi dia tetap ngeyel dan maksa buat syuting subuh." Kak Atika berkata seraya merapihkan rambut Davi ke sedia kala lalu, lanjut berkata, "Dia cuma takut kita gak kebagian lihat sunrise. Udah itu aja."

Davi mengangguk kecil tanpa berujar apapun. Kak Atika menghela napas menatap aktornya yang jelas-jelas kedinginan. Semalam, Davi selesai syuting pukul 12 dan tanpa pulang ke apartment, dia sudah langsung pergi ke lokasi syuting iklan sepatu ini di Bandung. Davi sempat tidur selama dua jam perjalanan, tapi mana cukup? Kemarin-kemarin juga waktu tidur Davi sangat terbatas. Jadwalnya sangat padat.

Kak Atika menghela napas dan menggerakkan tangan, menyentuh dahi Davi dengan punggung tangan. Matanya melotot merasakan seberapa panas suhu tubuh Davi.

"Badan kamu panas banget, Dav. Langsung ke mobil sana. Kita balik ke Jakarta." Kak Atika melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi sebelum menatap salah satu asisten sutradara sambil bertanya tegas, "Mas, syutingnya udah kelar belum? Aktor saya sakit! Kayaknya gak bisa ngulang-ngulang lagi adegan yang sama cuma buat menuhin keinginan sutradara Mas yang terlalu perfeksionis!"

Si asisten sutradara ciut mendengar omelan Kak Atika. Dia menundukkan kepala sambil berkata pelan, "Maaf, Mbak. Tapi Pak Sutradara mau hasil yang natural. Tema kita, kan, emang sunrise. Kalo dibuat-buat kurang bagus hasilnya."

Kak Atika baru mau angkat bicara, mengomel lagi saat Davi bangkit berdiri dan berkata tegas, "Udah selesai, kan, Mas? Saya balik ke mobil dulu, ya. Kalo ada yang kurang atau gimana, hubungi Kak Tika aja."

Kemudian, cowok itu melangkah gontai menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Beberapa kru mengikuti ke mana pergerakan Davi sebelum cowok itu menghilang masuk ke dalam mobil.

Sebenarnya, mereka juga kasihan melihat Davi. Aktor itu terlihat buruk ketika sampai di Bandung pukul setengah tiga pagi tadi. Bahkan penata rias harus berusaha lebih keras untuk menutupi lingkaran hitam di sekeliling mata Davi.

Roy mengernyitkan dahi melihat Davi yang memasuki mobil dan langsung berbaring di jok belakang. Roy melirik dari cermin dan mendapati Davi yang sudah memejamkan matanya, memeluk boneka Squidworld yang sudah beberapa hari belakangan setia menemani Davi di mobil.

"Mas Davi, mau balik ke hotel atau gimana?" Roy bertanya pelan.

"Tunggu sebentar, Pak. Sutradaranya lagi lihat hasil pengambilan gambar. Kalo gak sesuai, ulang lagi katanya."

Roy menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Roy menemani Davi di saat aktor itu harus menghadapi sutradara menyebalkan seperti itu. Tapi satu yang Roy kagumi dari Davi, Davi adalah seorang profesional. Apa yang ada di kontrak, dia akan menuruti.

Termasuk pasal yang melarang Davi berhubungan serius dengan cewek manapun selagi dia masih terikat dalam kontrak dengan agensinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top