26 - Selingkuh?

Waktu berjalan sangat cepat. Tanpa terasa, hari ini Luna sudah mengenakan toga dan akan segera menerima hasil kelulusannya. Kuliah merupakan waktu yang cukup berat bagi Luna, tapi kuliah juga menjadi alasan Luna dapat bertahan selama hampir empat tahun menjalani hubungan dengan seorang Wisnu Audri Prasetya.

Walaupun tidak seperti yang dulu.

Apa yang harus Luna katakan? Bosan? Ya, mungkin itu salah satu alasan kenapa Luna sudah tak lagi memiliki perasaan mendalam pada Wisnu. Ditambah lagi, cowok itu jelas-jelas tak berubah sedikitpun, padahal Luna sudah memintanya untuk berubah. Cowok itu masih memprioritaskan games online-nya daripada Luna. Jika dulu Luna akan mengomel panjang lebar, sekarang Luna bahkan tak lagi mau tahu, Tak terasa, beberapa bulan berlalu dan Luna masih bertahan dengan Wisnu.

Hari ini, ketika teman-teman Luna sibuk mengabadikan momen mereka dengan pacar-pacar mereka: Temi akhirnya mendapat pacar seorang mahasiswi Farmasi bernama Yohanna, Siska mendapat pacar dari akun facebook-nya yang kembali aktif bernama Febri dan Ayu sedang dalam masa pendekatan dengan seorang atlit futsal bernama Raffi.

Beruntunglah, kedua orangtua Luna hadir dan benar-benar mendampingi Luna. Memang Luna adalah anak tunggal jadi, bagaimana mungkin kedua orangtua Luna melewatkan masa-masa penting dalam hidup anaknya?

"Pacar kamu gak dateng, Lun?"

Ayahnya Luna yang bernama Lukman berkata sambil melirik teman dekat putrinya yang tampak sudah memiliki gandengan. Luna menghela napas dan mengedikkan bahu. Padahal, dia yang sudah lama berpacaran, tapi sekarang dia yang terlihat masih lajang di antara teman-temannya.

"Sibuk si Wisnu, cari modal buat nikah. Iya, gak, Lun?"

Luna hanya tertawa dipaksakan mendengar ucapan sang Ibu yang langsung merangkulnya, selayaknya teman dekat. Ibu Luna bernama Eka dan memang dia termasuk salah satu ibu gaul. Bahkan lebih gaul daripada Luna.

"Iya, kali."

Eka menyenggol bahu Luna. "Kok, iya kali?

Luna tak menjawab dan beralih mengajak kedua orangtuanya untuk duduk di kursi-kursi yang berderet di sana, menunggu namanya dipanggil dengan senyuman tipis di bibirnya.

Kelulusan adalah hal yang paling Luna nantikan, tapi entah kenapa hari ini dia tak merasa senang. Dia merasa biasa saja dan seakan-akan kelulusan ini tak berarti apapun. Sejak pagi, Luna mencoba menghubungi Wisnu, tapi cowok itu hanya menjawab singkat dan berkata akan datang, sampai detik ini dia tak kunjung datang.

Bukan hanya Wisnu, Davi bahkan tak mengiriminya pesan sejak kemarin. Oke, Luna mengaku. Sebenarnya, dia tak apa jika Wisnu tak datang, tapi bisakah sebuah keajaiban terjadi di mana tiba-tiba Davi datang dengan senyuman lebarnya?

Itu pikiran aneh, mungkin.

Luna duduk dengan gelisah menunggu gilirannya dipanggil. Tepat saat namanya dipanggil, Luna dapat merasakan getaran pada ponselnya. Sambil bangkit berdiri dan melangkah menuju ke panggung, senyuman muncul di bibir Luna saat membaca nama yang tertera pada layar ponselnya.

Jangkung.

Sesekali menatap lurus supaya tidak salah pijak, Luna membaca cepat pesan dari Davi.

Happy graduated! Gak percaya lo bisa lulus kuliah juga. Gue kira lo bakal jadi mahasiswi abadi.

Luna terkekeh kecil membaca pesan dari Davi lalu, memasukkan ponsel ke kantung yang ada di rok batiknya. Luna meraih ijazah kelulusannya dari dosen sambil tersenyum lebar, menyalami satu per satu wajah berjasa yang menuntunnya hingga mencapai titik ini.

☢☢☢

Karir Nara di dunia kedokteran cukup berjalan baik. Baru seminggu dia lulus dengan predikat terbaik, dia sudah mendapat panggilan untuk bekerja di sebuah rumah sakit nasional, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hari ini adalah hari kedua Nara menjalankan tugasnya sebagai asisten dokter, yang akan membantu dokter-dokter senior di ruang UGD, menangani pasien-pasien yang harus ditangani dengan segera.

Sejak hari pertamanya berada di rumah sakit ini, Nara yang sudah mendapat meja kecil untuk dirinya sendiri, mendapat kiriman bucket bunga mawar merah, bunga kesukaan Nara. Sekarang, hari kedua, Nara kembali mendapat kiriman mawar merah dengan pengirim yang merahasiakan identitasnya.

"Mbak Nara baru dua hari udah dapat dua bucket bunga. Hebat banget."

Nara yang tengah menatapi bucket bunga yang baru dia terima hari ini menoleh untuk mendapati salah satu cleaning service yang tengah membersihkan ruangan, menatapnya menggoda. Ah, Nara belum dekat dengan siapapun di rumah sakit kecuali dokter Rara yang adalah seniornya dan beberapa petugas kebersihan serta keamanan yang ada di rumah sakit.

"Iya, nih, Mbak. Aku juga gak tahu siapa yang kirim. Tapi gak apa-apa. Aku suka bunga mawar, kok." Nara nyengir lalu, kembali menghirup aroma segar bunga mawar tersebut, "Wanginya."

Si cleaning service dengan nametag Retno itu terkekeh pelan sebelum berkata, "Kemaren beberapa dokter muda nyariin Mbak Nara, tepat beberapa saat sebelum Mbak Nara balik. Katanya mau ngajak kenalan. Mbak Nara terkenal banget di sini, padahal belum lama."

Nara terkekeh. "Ah, Mbak Retno bisa aja. Bukan mau ngajak kenalan. Kayaknya mau ngajakin aku ribut, kali."

"Masa mereka mau ngajak Mbak Nara berantem? Mustahil banget. Orang dokter Sobian malah nanyain nomor hape Mbak Nara ke saya. Saya gak tahu, kan." Retno menghentikan kegiatan menyapunya dan fokus menatap Nara yang masih tersenyum melihat dua bucket bunga mawar di atas meja kerjanya.

"Dokter Sobian yang mana, deh, Mbak?"

"Itu yang ganteng. Kalo senyum, saya aja suka gak tahan, Mbak. Sayang, deh, kalo ditolak. Idaman banget, lah."

Satu alis Nara terangkat. "Ah, seganteng apapun dokter Sobian itu, saya gak yakin dia bisa ngelewatin batas yang udah aku buat. Aku udah punya orang yang aku idam-idamkan sejak lama, kok, Mbak." Nara tersenyum tipis.

Kini giliran Retno yang menatap Nara bingung. "Mbak Nara udah punya cowok, ya? Wah, maaf. Saya baru tahu."

Nara tak menjawab apapun, senyumannya perlahan memudar tergantikan wajah murungnya kembali.

☢☢☢

"Kamu pikir aku gak capek ngeladenin hobi sialan kamu itu? Sumpah, ya, Nu, aku capek! Aku pikir, kamu bakal berubah, tapi enggak sama sekali! Bahkan kamu ngelewatin hari penting aku gara-gara games sialan itu!"

Wisnu Audri Prasetya hanya dapat menundukkan kepala mendengar ucapan pedas cewek yang baru dia temui lagi, setelah seminggu belakangan Luna mengabaikan Wisnu karena Wisnu melewatkan hari kelulusannya. Dia bilang, dia ketiduran padahal sudah berdandan sangat rapih untuk datang.

"Kamu kenal aku udah dari kapan tahu, Lun. Kamu juga tahu sumber penghasilan aku cuma dari bermain games!"

Luna tersenyum sinis. "Ngapain kamu dapat gelar Sarjana Komunikasi kalo ilmu yang kamu pelajari semasa sekolah enggak kamu terapkan dengan baik? Kamu itu harusnya ngaca! Apa kamu suka bertahan kayak gitu terus? Gimana masa depan kamu nantinya?!"

Untungnya, tak ada orang di rumah Luna dan tetangga yang berhimpitan dengan rumah Luna keduanya tidak berada di tempat jadi, Luna bebas berteriak kepada cowok yang beberapa hari belakangan memohon maaf padanya.

Wisnu tak berkutik. Cowok itu menundukkan kepala. Luna memejamkan mata, berusaha untuk tidak terlalu berapi-api, tapi menahan emosi jelas sesuatu yang sangat sulit untuk Luna lakukan.

"Kamu gak malu apa? Hidup beketergantungan sama Davi? Dia yang kerja keras, kamu yang nikmatin hasilnya. Kayak parasit."

Ucapan Luna kali ini membuat Wisnu mengangkat wajah dan menatap geram Luna. "Kamu ngapain bawa-bawa Davi? Iya, dia emang jauh lebih baik dari aku! Melebihi apapun!"

Luna memicing. "Baru sadar?"

Wisnu mengatur pernapasannya, sepertinya dia juga sudah mulai terpancing emosi. "Kamu pikir aku gak tahu seberapa sering kamu dan Davi pergi bareng? Kamu pikir aku gak tahu seberapa sering kamu dan Davi berkirim pesan? Kamu pikir aku gak tahu tentang hal-hal yang udah kamu lalui sama Davi?" Wisnu tersenyum sinis, "Awalnya, aku berusaha berpikiran negatif. Tapi melihat bagaimana kamu membanggakan Davi di depan aku yang berstatus sebagai pacar kamu sendiri itu udah cukup ngejelasin semuanya."

Luna membelalakkan mata. "Kamu nuduh aku selingkuh?!"

"Kenapa? Emang bener, kan? Gak usah ngelak, Luna. Aku tahu semuanya dan aku sangat kecewa." Wisnu menatap Luna tajam, "Kamu ngekhianatin hubungan kita yang hampir empat tahun berlangsung, dengan seseorang yang kamu tahu jelas-jelas penting dalam hidup aku."

"Aku. Gak. Selingkuh." Luna menekankan setiap kata yang dia katakan dan Wisnu jelas-jelas menatapnya tak percaya.

Luna memejamkan mata dan menundukkan kepala. Sungguh, baru kali ini Luna bertengkar separah ini dengan Wisnu. Biasanya mereka bertengkar karena hal sepele, tapi sekarang, entahlah. Luna sangat kecewa pada Wisnu. Wisnu menuduhnya. Wisnu tidak mempercayai Luna.

Luna mengaku, dia memang dekat dengan Davi. Tapi Luna tak pernah berpikiran untuk selingkuh ataupun segalanya. Jika Luna berpikiran seperti itu, mana mungkin Luna mau bertahan selama ini dengan Wisnu? Tidakkah Wisnu berpikir?

Melihat perubahan ekspresi Luna, Wisnu memejamkan mata dan menggeleng. Wisnu berusaha mendekati Luna sambil berkata, "Maaf. Aku emosi. Maafin aku, Luna. Aku gak maksud buat-,"

Belum sempat Wisnu melanjutkan kalimatnya, Luna sudah memotong, "Gak usah minta maaf karena aku gak mood buat nerima permintaan maaf kamu. Sumpah, Nu, aku terkenal jujur dan baru kali ini aku dengar dari mulut seseorang yang aku sayang secara langsung, yang nuduh aku selingkuh. Dituduh itu gak enak banget, Nu."

"Aku minta maaf, oke? Luna aku-,"

Wisnu tak mampu melanjutkan kalimatnya saat mata mereka saling bertabrakan. Wisnu tercengang melihat bagaimana mata Luna bersinar, berair dan Wisnu sesak melihat pemandangan itu.

"Udah, Nu. Hubungan kita emang udah saatnya berakhir." Luna memutus kontak matanya dengan Wisnu, menyeka air mata yang sedikit jatuh dari pelupuk matanya.

Wisnu masih membeku, entah harus melakukan apa. Dadanya sesak.

"Nikmati hidup kamu. Aku gak akan ganggu kamu lagi. Selamat tinggal."

Wisnu pun masih tak mampu berkutik ketika Luna berbalik dan melangkah memasuki rumahnya, menutup pintu dengan rapat dan meninggalkan Wisnu yang masih tak dapat mendefinisikan apa yang dia rasakan saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top