22 - Siuman
Silahkan sebut Luna aneh atau apa, tapi setelah Lutfi menceritakan semuanya, Luna tak merasa memiliki alasan untuk menjauhi Davi. Semenjak makan malam beberapa hari lalu, Davi tak menghubunginya dan Luna tak punya keberanian untuk menghubungi cowok itu terlebih dahulu. Lagipula, apa hak Luna untuk menghubungi Davi dan mendapat kabar dari cowok itu? Tidak ada.
Luna merasa sangat bersalah. Kalimat terakhir yang Davi ucapkan malam ini sebelum mengantar Luna pulang, benar-benar terngiang dalam pikiran Luna.
Jadi, please, menyingkir dari hidup gue dan juga dari...pikiran gue.
Luna buru-buru menggeleng-gelengkan kepala sambil mencubiti pipinya sendiri, berusaha melenyapkan suara Davi dari pikirannya. Tidak, mungkin bukan seperti yang Luna artikan. Mungkin saja maksud Davi, dia meminta Luna untuk pergi dan tak perlu lagi mengganggu hidupnya. Mungkin maksud Davi, Luna benar-benar membuat kepalanya sakit karena tingkah menyebalkannya.
Tapi siapa yang menyebalkan? Luna bahkan selalu menjadi korban keisengan Davi.
Lalu, kenapa gue yang dia pinta buat nyingkir dari hidup dan pikirannya?
Lagi, Luna menggeleng-gelengkan kepala dan itu sudah menjadi tontonan rutin ketiga temannya sejak beberapa hari belakangan. Luna seperti kembali ke fase di mana Wisnu mengirimkan pesan memintanya break. Tapi bedanya, Luna lebih menyimpan masalahnya sendiri saat ini.
"Luna sayang, lo kenapa, sih? Kalo ada apa-apa, ya, cerita. Biar sedikit lebih tenang. Gak usah dipendam sendiri." Temi akhirnya, buka suara. Tak tahan melihat Luna yang terlihat stres dan banyak pikiran.
Luna menoleh menatap Temi dan menggeleng. "Gak apa-apa."
"Jangan bohong!" Ayu menggeram kesal.
Luna beralih menatap Ayu dan menggeleng lagi. "Gak apa-apa, beneran."
"Iya, jangan bohong, Lun. Sejak ketahuan lo nge-fans juga sama Davino, lo malah kayak ngejauh. Selesai kelas biasanya ngumpul, malah cabut. Sekarang ada masalah malah diam aja."
Luna memutar bola matanya dan menatap Siska. "Gue gak nge-fans sama Davino! Gue gak apa-apa, serius gak apa-apa." Luna menekankan tiap kata yang dia ucapkan.
Ketiga sahabat baik Luna itu menatapnya tajam, mendesak Luna untuk bercerita dan Luna buru-buru memejamkan mata sambil menggeleng, "Gue gue lagi ada masalah, tapi gue gak bisa cerita. Jangan paksa gue buat cerita. Gue gak bisa."
"Oke, gak apa-apa kalo lo gak mau cerita. Tapi serius, kalo lo butuh apa-apa, hubungin kita. Jangan ngehadapin masalah lo sendiri." Temi berpesan dan ditanggapi dengan anggukkan kepala oleh Ayu dan Siska.
Luna mengangguk dan tersenyum tipis. Setidaknya dia senang dan merasa beruntung, memiliki teman yang akan selalu ada untuk mendukungnya.
☢☢☢
Jika dihitung-hitung, sudah sepuluh hari berlalu sejak makan malam terakhir Luna dan Davi. Davi masih tak memberi kabar apapapun kepada Luna dan Luna hanya dapat mengetahui kabar terbaru cowok itu dari beberapa akun sosial medianya. Itu juga tak menjelaskan bagaimana kondisi cowok itu sekarang.
Luna mencemaskan Davi, tentu saja! Luna tak akan mengelak rasa cemasnya pada Davi, apalagi sejak melihat sebuah artikel di internet yang mengatakan jika Davi membatalkan kontrak dan membayar ganti rugi atas pembatalan kontrak tersebut. Tak ada alasan yang jelas atas pembatalan kontrak tersebut, tapi Kak Atika menjelaskan kepada pers jika Davi butuh istirahat dan ketenangan untuk sementara.
"Luna!"
Langkah gontai Luna di lorong kampusnya terhenti saat mendengar panggilan tersebut, Luna menoleh dan mendapati Lutfi yang berjalan cepat mendekatinya dengan senyuman lebar di bibirnya. Ah, senyumannya mengingatkan Luna pada senyuman Davi. Tapi senyuman Davi sedikit lebih mempesona.
Luna menggeleng. Tidak, tidak! Jangan muncul lagi!
Sebisa mungkin, Luna tersenyum kepada Lutfi saat cowok itu sampai di hadapannya. "Saya punya berita bagus buat kamu dan kamu pasti senang mendengarnya."
Satu alis Luna terangkat. Akhir-akhir ini, Luna memang dekat dengan Lutfi dan Lutfi cukup terbuka untuk memberitahu Luna mengenai kehidupan Davi. Bahkan, Luna sudah berteman cukup dekat dengan istri Lutfi yang bernama Maura. Maura juga masih muda, seumuran dengan Wisnu dan Luna sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri.
"Berita apa, Kak?"
Oke. Di luar urusan kampus, Lutfi memang meminta Luna untuk memanggilnya dengan nama supaya lebih akrab, tapi bukankah tidak sopan? Makanya, Luna menambahkan embel-embel Kakak supaya lebih sopan.
Senyuman Lutfi melebar. "Wisnu sudah sadar."
Luna membulatkan mata sipitnya.
☢☢☢
Luna sampai di rumah sakit bersamaan dengan Lutfi dan juga istrinya, Maura. Sesampainya di depan ruangan tempat Wisnu berada, Luna mendapati seseorang yang tak dia temui selama beberapa hari belakangan, tengah duduk di tepi ranjang dan tampak membicarakan sesuatu dengan Wisnu, kepalanya tertunduk.
"Dia koma hampir dua bulan dan dokter bilang, itu sebuah keajaiban saat Wisnu sadar dan pemeriksaan Wisnu menunjukkan hasil positif. Sebelumnya, kata dokter banyak organ tubuh Wisnu yang mengkhawatirkan dan harus diperiksa lebih dalam."
Lutfi seakan menjelaskan semuanya ketika Luna masih mengintip dari kaca yang ada di pintu. Luna menahan napas melihat Wisnu yang menoleh ke arahnya dan tak lama setelah itu, Davi juga menoleh ke arahnya. Ya, Tuhan. Rasanya sangat aneh mendapat tatapan dari dua cowok itu bersamaan.
Luna buru-buru mundur dan menyandarkan punggung pada dinding di samping pintu. Pipinya memerah dan jantungnya berdebar tak karuan.
"Kamu kalo mau masuk, masuk aja, Luna. Ada Davi di dalam. Sebenarnya, Wisnu sudah sadar dari semalam dan semalaman Davi yang ada di sini." Lutfi menjelaskan, merangkul Maura.
Maura tersenyum kaku. "Dari beberapa hari lalu sejak dokter bilang, kondisi Wisnu mengalami peningkatan yang positif, Davi nginap di sini. Dia ngebatalin banyak jadwalnya cuma buat jagain Wisnu dan mastiin kalo dia orang pertama yang Wisnu lihat saat dia membuka mata."
Tak lama, pintu ruangan Wisnu terbuka dan membuat perhatian semuanya teralihkan. Davi ke luar dari dalam dan matanya langsung menatap Maura, seperti enggan bertatapan langsung dengan Lutfi dan juga Luna.
"Masuk aja, Kak."
Luna mencelos pasrah. Kenapa rasanya sesak saat Davi benar-benar mengabaikannya? Tidak menganggapnya ada.
Maura tersenyum kecil dan mengangguk. "Mending rame-rame, Dav. Kamu mau ke mana?"
"Ngopi sebentar. Sekalian ngatur ulang jadwal syuting." Davi menjawab santai dan Luna dapat menyimpulkan jika Davi dan Maura cukup dekat.
Maura mengangguk. "Oke, deh. Jangan ngerokok, cukup ngopi aja, ya."
Davi tersenyum tipis dan mengedikkan bahu. "Gak bisa janji."
Setelah itu, Davi melangkah pergi begitu saja, bersama Roy yang senantiasa menemaninya, untuk menjaganya.
Lutfi menghela napas. "Aku yang kakaknya gak disapa. Kamu malah disapa." Lutfi berkata manja kepada Maura yang terkekeh geli, tapi memutuskan tak membalas perkataan Lutfi.
"Kamu masuk, Lun. Kayaknya, kamu butuh privasi berdua sama Wisnu. Kalian pacaran, kan?"
Luna terdiam. Pacaran? Tidak tahu. Memang Lutfi memberitahu Luna tentang semuanya, termasuk tentang pesan yang meminta hubungan Luna dan Wisnu break yang nyatanya dikirimkan bukan oleh Wisnu, melainkan Davi.
Motifnya? Luna tak merasa perlu untuk tahu dan dia tak akan memaksa Davi untuk menjelaskan semuanya.
Jika Luna masuk ke dalam dan bertemu Wisnu, apa yang harus dia katakan? Luna tak tahu lagi bagaimana harus bersikap di hadapan cowok yang nyatanya masih berstatus sebagai pacarnya, yang baru saja terbebas dari kondisi buruknya.
Akhirnya, Luna memberanikan diri untuk menemui Wisnu. Luna masuk ke dalam ruangan tempat Wisnu berada dan langsung mendapat tatapan rindu dari Wisnu. Luna juga merindukannya.
"Selamat siang, Princess."
Luna tersenyum, menarik kursi yang semula diduduki Wisnu dengan mata tak beralih sedikitpun dari Wisnu. Wisnu terlihat pucat dan sedikit lebih berisi, mungkin efek dari obat-obatan yang harus dia konsumsi belakangan ini.
"Udah baikan?" Itu pertanyaan pertama yang Luna ucapkan setelah bingung harus berkata apa.
Wisnu mengangguk kecil. "Sangat jauh lebih baik."
"Lain kali, kalo bawa mobil, jangan sambil main hape. Gini, nih, akibatnya." Luna berpesan.
Wisnu mengangguk lagi. "Siap, Ibu Bos!"
Luna tersenyum tipis, kehabisan kata-kata sampai tangan Wisnu bergerak meraih tangannya, menggenggamnya erat, "Aku kangen banget sama kamu. Aku gak tahu udah berapa lama aku gak sadarkan diri, tapi kamu kelihatan beda sekarang."
Luna balas menggenggam tangan Wisnu. "Beda gimana?"
Wisnu menghela napas. "Kantung mata. Bibir pucat dan lesu. Kamu berapa hari gak tidur?"
Luna terkekeh. Tebakan Wisnu memang benar. Beberapa hari belakangan, Luna tidak tidur sebagaimana mestinya. Luna tidur hanya satu sampai dua jam karena pikirannya tak bisa berhenti memikirkan segala sesuatu yang tak seharusnya dia pikirkan.
"Tugas aku banyak banget." Luna berusaha kembali menjadi dirinya yang berstatus sebagai pacar Wisnu, yang sangat manja terhadap cowok itu. "Sampai aku harus begadang semalaman cuma buat nyelesaiin."
Wisnu melepas genggaman tangannya dan beralih mengelus puncak kepala Luna. "Nanti aku bantuin kalo udah diizinin pulang. Kepala aku masih berat kalo diajak mikir yang susah." Cowok itu tersenyum dan Luna menahan napas.
Kapan terakhir kali Luna melihat senyuman manis itu? Senyuman yang selalu bisa meluluhkan hatinya.
"Sembuh aja dulu. Itu yang paling penting."
Wisnu terkekeh dan menganggukkan kepala. "Sip. Pasti sembuh kalo kamu selalu nemenin aku."
Luna tersenyum lebar dan baru menyadari kebahagiaan saat dapat kembali berinteraksi dengan Wisnu.
☢☢☢
"Lo ngerokok?"
Suara itu membuat Davi menoleh dan mendapati sosok pria yang paling malas dia lihat. Sang kakak, Lutfi, berdiri tepat beberapa langkah di belakangnya. Melipat tangan di depan dada dan memperhatikan sang adik dengan iba.
Lutfi berpamitan untuk mengikuti Davi setelah Luna masuk ke dalam ruangan dan Maura mengizinkannya. Di sinilah Lutfi menemukan Davi. Di atap gedung rumah sakit, tengah menyalakan korek untuk dapat membuat rokoknya lebih berfungsi menyegarkan pikiran, selain hembusan angin kencang.
Davi mengabaikan keberadaan Lutfi dan menyelipkan rokoknya di sela-sela bibir merah muda tipisnya. Lutfi melangkah mendekat hingga akhirnya, dia berdiri sejajar dengan Davi.
"Emang bener, ya? Buah gak jatuh jauh dari pohonnya dan sekarang, lo jelas-jelas kelihatan kayak bokap."
Davi berdecak. "Gue gak minta pendapat lo. Hidup, hidup gue. Atur hidup lo sendiri."
Lutfi menghela napas. "Lo adik gue. Berhenti bertingkah seakan-akan gue orang asing buat lo."
Davi tersenyum mengejek. "Oh, gue baru tahu kalo lo anggap gue adik lo. Kemarin-kemarin ke mana aja, Kakak?" Davi menekankan kata Kakak yang dia ucapkan.
Lutfi memejamkan mata, berusaha tak terpancing emosi. Cowok itu menghela napas pasrah. "Gue cuma mau memperbaiki semuanya. Biar bagaimanapun, lo tetap adik gue dan lo harus ubah pola pikir lo yang terlalu negatif tentang gue."
Setelah itu, Lutfi melangkah pergi. Meninggalkan Davi di atap sendiri, melanjutkan kegiatan yang menurutnya dapat meredakan semua kekesalan dan amarah di hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top