21 - Menjauh

Sungguh, semua masih di luar nalar Luna ketika membandingkan antara Davi dan Lutfi. Lutfi memang sedikit lebih pendek dari Davi atau memang Davi yang terlalu tinggi, tapi soal pola pikir, jelas-jelas Lutfi memiliki pola pikir yang jauh lebih dewasa dari Davi. Davi terlalu kekanak-kanakan dan sangat menyebalkan, menurut Luna.

Sekarang ini contohnya. Davi memang menghubungi Luna dan meminta—atau lebih tepatnya menyuruh—Luna agar menemaninya makan. Luna berusaha mengabaikan Davi dan masa bodoh. Tapi cowok itu benar-benar datang menjemputnya di rumah—sebenarnya bukan Davi yang datang, tapi Roy. Roy bilang, Davi sudah menunggu di restoran dan terlalu lelah untuk menempuh perjalanan ke rumah Luna yang memang cukup jauh dari restoran. Davi sangat senang makan di tempat jauh. Padahal di lobi apartment-nya sendiri ada banyak tempat makan.

"Maaf, ya, Mbak Luna. Mas Davi kalo udah ngasih perintah, harus dijalanin. Kalo enggak, dia bakal marah dan marahnya Mas Davi itu lebih nyeremin dari Ibu saya malah, Mbak."

Luna menoleh dan menganggukkan kepala kecil, mengerti jika Roy hanya melakukan pekerjaannya. Luna tak seharusnya mengabaikan Roy dan menunjukkan wajah kurang bersahabat. Biar bagaimanapun, kalau ada yang patut disalahkan, itu Davi.

"Mas Davi mood-nya lagi bagus, Mbak. Makanya, dia mau ngerayain dengan cara traktir Mbak Luna, mengingat Mas Davi temannya sekarang cuma Mbak Luna."

Luna berdecak. "Temen atau boneka buat dimainin? Elah, Pak. Itu anak satu pasti lagi ngerencanain sesuatu buat ngerjain saya!"

Roy tersenyum tipis sebelum terkekeh. "Gak apa-apa, Mbak. Udah lama sejak terakhir kali saya ngelihat Mas Davi seperti ini. Dia biasanya pendiam dan gak banyak bicara, tapi semenjak kenal Mbak Luna, Mas Davi jadi banyak bicara dan banyak senyum. Jadi, gak apa-apa."

Luna menghela napas dan perkataan Lutfi tentang masa lalu Davi terngiang kembali dalam benak Luna. Luna iba meskipun, dia kesal atas perlakuan Davi kepadanya.

"Hari ini Mas Davi makan siang bareng Ibunya, Mbak. Pertama kalinya sejak perceraian kedua orangtuanya. Makanya, Mas Davi mood-nya bagus." Roy kembali berkata dengan mata yang fokus pada jalan.

Luna menatap ke kaca di sisi kirinya, memperhatikan jalan-jalan yang dilaluinya. Luna juga teringat perkataan Lutfi tentang Davi yang mengasingkan semua anggota keluarganya, termasuk sang Ibu. Davi hanya mempercayai dan mempertahankan Wisnu di sisinya.

Selang beberapa menit, Lutfi sudah memarkirkan mobil di depan sebuah halaman parkir restoran yang terlihat sedikit lenggang. Memang selalu seperti itu. Davi punya banyak stock restoran yang tak begitu ramai untuk mendapatkan privasinya.

"Mas Davi pesan ruangan privat di lantai dua. Ruangan mawar katanya, di paling ujung sebelah kiri dari tangga."

Luna mengangguk sambil melepaskan sabuk pengamannya. "Pak Roy gak makan?"

Roy tersenyum. "Saya mah gampang. Mbak Luna makan aja dulu sama Mas Davi. Kasihan Mas Davi udah nunggu lama. Dia paling gak bisa makan tanpa teman."

Luna mengangguk lalu, melangkah ke luar dari mobil. Luna sempat menoleh sekilas ke Roy dan tersenyum kepadanya. Roy balas tersenyum setelah itu barulah Luna melangkahkan kakinya memasuki area restoran yang terlihat bernuansa China tersebut. Luna mengeratkan jaket kulit cokelat yang dia kenakan, mengingat dinginnya angin malam ini. Jika dilihat-lihat, sepertinya sebentar lagi hujan.

Setelah menaiki tangga dan bertanya kepada pelayan yang ditemuinya, Luna akhirnya sampai di depan pintu sebuah ruangan bertuliskan mawar. Luna menghela napas sebelum mengetuk pintu tersebut. Tak ada balasan, Luna menarik knop dan membuka pintu begitu saja. Pintu baru terbuka dan Luna sudah mendapati Davi yang berdiri menatap ke luar jendela ruangan. Dia terlihat seperti sebuah siluet. Siluet indah bermandikan cahaya rembulan. Seperti lukisan dan benar-benar indah.

Luna memejamkan mata dan menggeleng. Akhir-akhir ini, kenapa dia sangat sering memuji Davi?

Davi menoleh dan berbalik, matanya bertemu dengan mata Luna.  "Lama banget lo."

Baru saja memuji Davi dalam hati, sekarang Luna ingin memaki cowok itu dan rasa tak sabarannya. Davi melangkah menuju meja makan yang disediakan di sana, lesehan. Sudah ada beberapa makanan yang dihangatkan di sana dan sepertinya sangat enak.

"Ngapain bengong? Duduk cepetan!"

Luna menurut dan melangkah mendekat, melepaskan sepatu sendal yang dia kenakan dan duduk di sisi kosong yang berhadapan dengan Davi sambil mengomel, "Lo itu bisa lembutan dikit gak, sih, sama cewek? Nyolot mulu kalo ngomong sama gue."

"Gak bisa kalo ke lo, mah."

Jawaban Davi membuat Luna mengepalkan tangannya dan mungkin akan dengan senang hati menerjang cowok itu, mencabik wajah tampannya dengan kuku-kuku jari Luna yang tajam nan lentik supaya sekali-kali dia tahu rasanya menjadi cowok jelek.

"Nyebelin lo!" Luna hanya membalas singkat seraya mengambil sumpit dan hendak menyerbu makanan di depannya, tapi tangan Davi tiba-tiba menahan tangannya.

"Siapa suruh makan, sih? Katanya lo gak laper. Kan gue minta lo ke sini buat nemenin gue makan, bukan buat ikutan makan."

Luna menganga dan segera menepis tangan Davi. Cewek itu meletakkan kembali sumpit yang sudah diambil dan menatap kesal Davi yang tersenyum lebar penuh kemenangan. Luna melipat tangan di depan dada saat Davi mulai makan dan sangat kentara sekali dia sengaja.

"Enak banget yang ini. Dagingnya berasa."

"Makan gak boleh sambil ngomong!" Celetuk Luna.

Tapi Davi tak berhenti, dia terus makan sambil membuat Luna tambah kesal atas pujiannya terhadap makanan. "Ini juga! Ah, enak banget! Nugget-nya lebih enak daripada yang di Hoka-hoka Bento!"

Duh, dia bawa-bawa nama tempat makan kesukaan Luna lagi. Luna itu sangat menyukai Hoka-hoka Bento dan semuanya sudah pernah dia coba. Luna bahkan pernah berkata pada teman-temannya jika tak ada yang bisa mengalahkan menu makanan di Hoka-hoka Bento dan sekarang, Davi bilang makanan yang dia makan jauh lebih enak daripada Hoka-hoka Bento. Padahal, ini restoran China.

Makian Luna dalam hati setidaknya langsung terhenti ketika Davi menyodorkan sumpit yang tadi Luna ambil ke cewek itu lagi. Davi memasang wajah geli melihat ekspresi kesal Luna.

"Nih, silahkan dicoba. Muka lo melas banget dan itu iler udah hampir ke luar kayaknya."

Luna mendengus dan meraih sumpit tersebut, "Dari tadi, kek! Jadi cowok gak peka banget! Egois! Nyebelin!"

Davi terkekeh geli melihat Luna yang langsung melahap makanan di atas meja seperti cewek yang belum pernah makan selama sebulan. Setelah puas melihat Luna, Davi melanjutkan kegiatan makannya, bergabung dengan Luna.

Sebenarnya bukan tidak bisa makan sendiri, tapi Davi selalu butuh teman yang dapat menaikkan nafsu makannya. Jika makan sendiri, dapat dipastikan cowok itu hanya makan satu sampai dua sendok sebelum memilih untuk mengopi sambil terkadang merokok.

Selesai makan, Davi memanggil pelayan lewat telepon yang disediakan di sana untuk membersihkan meja. Setelah pelayan selesai membersihkan meja, baru Davi memulai percakapan kembali dengan Luna.

"Lo kenapa?"

Satu alis Luna terangkat mendengar pertanyaan Davi. "Kenapa apaan?"

Davi mengernyit. "Ye, gue tanya malah nanya balik!"

"Gue gak paham sama pertanyaan lo, Jangkung!"

Davi memutar bola mata dan menghela napas. "Lo kayaknya beda hari ini. Mau ngomong harus mikir dulu. Gak ceplas-ceplos kayak kemarin."

"Kemaren gue gak ketemu sama lo, deh." Luna mengoreksi.

Davi mendengus. "Maksudnya kemarennya lagi, dua hari lalu."

Luna diam sejenak sebelum menggeleng. "Kayaknya gak ada apa-apa. Perasaan lo aja kali."

Davi menahan napas dan menganggukkan kepala. "Oke, mungkin."

Setelah itu, tak ada percakapan. Luna bingung harus berkata apa sementara, Davi juga. Semua yang Lutfi sampaikan pada Luna jelas-jelas masih menghantui pikiran Luna dan ingin rasanya Luna menanyakan hal itu langsung kepada Davi, mendengar cerita secara penuh dari mulut cowok di hadapannya, tapi dia tak yakin Davi mau. Davi punya kepribadian sangat tertutup dan rasanya akan sangat sulit untuk dibuka.

Luna melirik Davi yang sepertinya kesulitan juga untuk mencari topik pembicaraan. Luna menghela napas.

"Lo sengaja, ya, bohongin gue tentang harga makanan di rumah makan waktu itu?" Luna bertanya hati-hati dan Davi menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Hm?"

Sungguh, jika tak ingat alasan sikap dan sifat cowok itu, Luna ingin segera menamparnya, meninggalkan bekas telapak tangan di pipi mulusnya.

"Lo ngerjain gue tentang harga makanannya! Harusnya seratus dua puluh ribu, bukan satu juta dua ratus!"

Davi berpikir, mencoba mengingat sebelum akhirnya tertawa. "Ah, yang itu?"

"Gak usah ketawa!" Luna membentak kesal dan Davi berhenti tertawa.

Dengan wajah menahan tawa, Davi menjawab, "Iya, emang gue manipulasi bill-nya kemaren. Tapi gue tetap bayar satu juta dua ratus, kok, sebagai bayaran buat pelayan yang udah bantuin manipulasi bill."

"Lo hobi banget bikin darah gue naik, tahu gak?"

Davi menggeleng dengan santai. "Gak tahu dan gak mau tahu."

Luna menarik dan menghela napas berulang kali, berusaha menahan kekesalan sementara, Davi masih menatapnya tenang, menahan tawa. Luna memang tak pernah melihat cowok itu marah dan menunjukkan emosi yang berlebihan. Dia tenang dan selalu tenang seperti tak ada beban walaupun, Luna tahu dia memiliki sangat banyak beban pikiran.

"Kalo gue gak ngelakuin hal itu, lo pasti bakal berusaha setengah mati buat ngehindarin gue, kan?"

Pertanyaan Davi membuat Luna diam. Benar. Jika saja bukan karena hutang, Luna bersumpah untuk tak mau berurusan dengan Davi. Berada di dekat Davi selalu membuatnya naik pitam meskipun, Luna tak akan menyangkal jika terkadang dia mengagumi ketampanan cowok itu.

"Kalo gue bilang, Wisnu amanat ke gue buat jagain lo, lo percaya gak?"

Luna mengangkat wajah, menatap Davi yang kali ini benar-benar memasang wajah serius. Luna terdiam.

"Tapi itu faktanya. Wisnu kasih pesan ke gue buat jagain lo dan gue harus kasih laporan tiap hari ke dia tentang keadaan lo meskipun, itu nyusahin banget." Davi tersenyum tipis, menundukkan kepala.

Luna menahan napas. "Jadi, lo tahu di mana Wisnu dan selama ini, lo berperan sebagai mata-mata dia buat ngawasin gue? Lo bohongin gue selama ini?" Luna bertanya pelan, tapi cukup terdengar tegas.

Davi menggeleng. "Gak juga. Gue tahu di mana dia sekarang, tapi gue gak pernah mata-matain lo. Itu cuma inisiatif gue sendiri buat kasih laporan tentang lo ke dia, supaya dia cepat kembali." Davi tersenyum mengejek, "Tapi nyatanya dia gak kunjung kembali."

"Maksud lo apa?!" Luna meninggikan suaranya.

Lagi, Davi menggeleng. "Bukan apa-apa. Tapi lo emang belum berhasil jadi sebuah keajaiban yang bisa buat dia kembali dan gue cukup kecewa akan hal itu."

Mata mereka bertemu. Iris gelap senada saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya, Davi memutus tatapan itu dengan menundukkan kepala. "Gue baru aja buat masalah baru yang bahkan gak pernah gue sadari akan terjadi."

Davi menggigit bibir bawah dan kembali menatap Luna, lekat.

"Gue benci lo." Davi menarik napas lalu, melanjutkan, "Gue gak pernah mengharapkan kehadiran lo," Dia kembali memutus kontak mata dengan menundukkan kepala, "Jadi, please menyingkir dari hidup gue dan juga dari...pikiran gue."

Suaranya sangat pelan, tapi Luna tahu semuanya jelas terdengar nyata dan seketika, Luna merasa dunianya membeku dan hanya tertuju pada cowok yang duduk di depannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top