19 - Dosen Baru
"Girls, cara menghadapi cowok nyebelin yang hobi banget ngerjain lo gimana, sih? Gue pengen ngasih pelajaran ke seseorang sehingga dia bisa berhenti ganggu hidup gue."
Luna bertanya memasang wajah serius kepada Ayu dan Siska yang tengah sibuk dengan makanan pesanan mereka masing-masing. Ayu dengan siomay-nya dan Siska dengan dimsum-nya. Luna berdecak ketika dua sahabatnya itu bahkan masih sibuk dengan makanan meskipun, Luna yakin mereka dapat mendengar pertanyaan Luna tadi.
Selesai makan, barulah Ayu angkat suara. "Sori, Lun. Kan, katanya, kalo makan gak boleh sambil bicara. Gak baik." Ayu menarik tissue dan menyeka bekas makanan di sudut bibirnya dengan tissue tersebut sebelum lanjut berkata, "Gue denger, kok. Kayaknya itu cowok modus sama lo, deh."
Siska yang mengangguk-angguk sambil memakan dimsum-nya dengan gaya seperti model makanan. Padahal, tak ada yang menarik dari dimsum tersebut. Luna bahkan pernah sekali mencoba dan rasanya aneh, tapi Siska suka.
"Modus gimana?" Luna berusaha mengabaikan Siska dan fokus kepada Ayu yang jelas-jelas lebih normal dari Siska.
Ayu menghela napas. "Maksudnya, dia naksir sama lo dan lagi coba cari perhatian sama lo."
Aliran darah Luna seakan naik dan berkumpul di pipinya yang sekarang memerah. "Masa kayak gitu? Enggak juga, deh."
Ayu mendengus. "Lo dikasih tahu malah ngeyel!" Ayu meraih gelas minumnya dan meneguk teh manis di dalamnya hingga tersisa setengah, "Lo lagi deket sama cowok, ya? Akhirnya, lo move on juga dari Wisnu."
Buru-buru Luna menggelengkan kepala. "Enggak, enggak! Gue lagi gak deket sama cowok manapun!"
Seringai muncul di bibir Ayu. Cewek berambut hitam bergelombang itu bertopang dagu dan menatap Luna dengan tatapan menggoda. "Anak mana, Lun? Kapan mau dikenalin sama kita-kita?"
"Enggak! Gue lagi gak deket sama siapapun, sumpah!"
"Tapi akhir-akhir ini lo jarang ngumpul bareng kita, Lun. Selesai kelas langsung balik, kita WhatsApp grup juga diabaiin. Gak enak tahu, dikacangin gitu." Siska berkata dengan mulut penuh dimsum.
Ayu mendengus lagi. "Lo kalo mau ngomong, habisin makan di mulut dulu, Sis! Jorok tahu!"
"Mulut-mulut gue. Makanan-makanan gue. Jadi, suka-suka gue."
Luna menarik lengan Ayu ketika Ayu sudah memasang ancang-ancang hendak meluapkan kekesalannya kepada Siska yang menatap kemarahan Ayu dengan wajah polos, bingung.
"Yu, lo kenapa, sih? Punya dendam kesumet sama gue gara-gara gue lebih cantik daripada lo?"
Sekeras tenaga, Luna menahan tubuh Ayu yang hendak menyerang Siska. Dua temannya itu, sungguh-sungguh kekanakan. Sangat senang bertengkar dan kadang, Luna kasihan melihat Siska di siksa Ayu dengan berbagai jenis siksaan. Yang paling parah adalah kelitikan. Siska bahkan sampai menangis karena siksaan Ayu itu, setelah Ayu tak dapat mengontrol emosi karena Siska berkomentar yang sangat menyebalkan.
"Sabar, mbak. Sabar." Luna memperingatkan dan Ayu memejamkan mata, menarik napas lalu, menghelanya. Ayu mengulangi kegiatan itu beberapa kali sebelum memilih fokus kepada Luna.
"Oke. Kembali ke topik awal. Lo lagi deket sama siapa, sih, Lun?" Ayu berusaha mengabaikan Siska.
Luna menggeleng cepat. "Gak deket sama siapapun, sumpah."
"Terus Jangkung itu siapa?" Luna melotot mendengar Ayu mengatakan kalimat jangkung dan Luna baru paham dari mana Ayu tahu saat Ayu menunjuk ponsel Luna yang bergetar di atas meja dengan nama Jangkung yang tengah melakukan panggilan. Semalam Luna mengganti kontak nama Davi dari Aktor Sialan ke Jangkung karena Davi marah melihat nama kontaknya di ponsel Luna.
Luna menghela napas. "Sumpah, hidup gue gak tentram gara-gara si Jangkung ini." Luna meraih ponsel dan belum ada niatan mengangkat panggilan tersebut. "Dia orang paling nyebelin yang pernah gue kenal dan lo harus tahu itu."
Ayu terkekeh dan mengangguk. "Iya, iya. Tapi angkat panggilan dulu, dong. Siapa tahu penting."
Menurut, Luna segera mengangkat panggilan dari Davi tersebut. Luna menyapa duluan dengan nada jutek. "Halo?"
"Ada barang lo yang ketinggalan di mobil gue gak?"
Satu alis Luna terangkat mendengar pertanyaan Davi tersebut. Luna berusaha mengingat sebelum dengan yakin menjawab, "Enggak, deh. Males banget gue ninggalin barang di mobil lo."
"Oh, gitu?"
Luna berdecak. "Iya!"
"Mobil Fortuner gue mau masuk bengkel hari ini dan Pak Roy nemuin pembalut di bangku penumpang belakang. Bukan punya lo, ya?"
Perkataan Davi membuat Luna diam, berpikir keras. Beberapa detik kemudian, Luna baru ingat. Pembalut! Ya, Tuhan. Luna baru ingat jika dia selalu membawa persediaan pembalut di tas jinjingnya, anggap saja untuk mengantisipasi dan Luna tak mengecek tasnya saat sampai di rumah semalam. Lagipula, bagaimana bisa pembalut itu ke luar dari tas Luna.
Luna menepuk dahinya. Tentu saja bisa! Luna lupa dia mengeluarkan semua isi tasnya untuk mencari earphone ketika dalam perjalanan pulang ke apartment Wisnu dan mungkin, Luna lupa memasukkan pembalut itu kembali ke tasnya.
"Lo ngapain, sih, nelepon segala buat nanyain hal gak penting kayak gitu? Tinggal dibuang apa susahnya?!" Luna geram sendiri meskipun, dia gengsi untuk mengakui jika pembalut itu miliknya.
"Karena gue tahu etika. Gak mungkin gue buang barang milik orang sembarangan. Lagian, gue nanya baik-baik, lo malah jawab nyolot. Kalo bukan punya lo, itu berarti ini punya Kak Atika. Begitu aja repot."
Luna menutup wajahnya, menahan malu. "Ya, udah! Gak usah hubungin gue kalo lo cuma mau nanyain hal-hal gak penting! Dasar cowok nyebelin!" Luna mengakhiri panggilan begitu saja, meletakkan kasar ponselnya di atas meja.
Kekesalan Luna bertambah melihat ekspresi wajah Ayu yang jelas-jelas menggodanya. Luna melotot lalu, memukul meja keras, membuat seisi kantin menoleh ke arahnya.
"Lo gak usah senyum kayak gitu! Nyebelin!"
Luna beranjak berdiri dan melangkah pergi begitu saja ketika semua mata orang yang ada di kantin mengikuti arah geraknya.
"Luna kenapa, sih?"
Ayu menoleh malas-malasan kepada Siska yang bertanya seperti itu. "Biasa. Temperamennya lagi tinggi."
Siska mengangguk. "Makanya, Yu. Kalo ngomong diayak dulu. Jangan bikin Luna naik darah. Kasihan dia lagi patah hati."
Satu alis Ayu terangkat. "Kok lo nyalahin gue? Gue bahkan gak tahu masalahnya!"
"Kok lo gak tahu, sih? Lah, terus dia ngapain pukul meja keras? Pasti gara-gara lo, deh. Lo emang hobinya nyari gara-gara. Pantesan lo masih jomblo sampai sekarang."
Aura Ayu jelas sudah berubah seperti Goku di Dragon Balls. "Lo pernah tahu rasanya mandi kecap gak?"
Siska menautkan alis-alisnya. "Enggak. Emang ada?"
"Mau coba?"
Ayu pun tak bisa menahan diri untuk tak menyiksa Siska.
☢☢☢
Luna memasuki kelas Kalkulusnya dengan lesu, padahal mahasiswa-mahasiswi di kelasnya saat ini sibuk membicarakan dosen baru yang akan mengajar mereka. Luna sudah mendapat kabar itu, dia membaca percakapan grup kelas yang setiap ramai selalu membuat ponsel Luna bergetar akibat pesan yang terlalu banyak dan tak berguna sama sekali.
"Luna, gue duduk di sini, ya?"
Luna hanya dapat mengangguk ketika seorang mahasiswa yang mengenalnya, tapi tak dikenal Luna datang untuk duduk di kursi kosong di samping Luna. Luna cukup populer di kampus, tapi saat ini, gerak-gerik Luna tidak bersahabat sehingga, yang lain lebih memilih menjauh daripada harus mengganggu Luna.
"Lo gak pernah rapat BEM, Lun."
Siapapun nama cowok yang duduk di sampingnya, Luna mengernyitkan dahi kepada cowok itu. "Ngapain gue ikut rapat BEM? Gak guna."
Si cowok ikut mengernyitkan dahi. "Lah, bukannya lo anggota BEM juga? Lo gak inget, ya, lo yang paling jahat bikin rencana buat ngerjain junior-junior tahun kemarin? Sampai banyak yang nangis kejer waktu lo suruh bawa belut dan kodok ke kampus."
Pikiran Luna melayang ke satu tahun lalu dan Luna baru ingat akan hal itu. Ah, ya. Dia anggota BEM, tapi sejak awal semester, Luna tak ikut rapat sama sekali. Luna tak tahu sejauh mana perkembangan kegiatan BEM dan Luna memilih untuk tidak peduli.
Cowok yang tak Luna ketahui namanya itu sepertinya memang sengaja ingin mengajak Luna mengobrol, tapi untunglah kedatangan seseorang membuat kelas yang semula ramai menjadi sepi. Perhatian semuanya tertuju pada seseorang yang sudah berdiri di depan kelas, memberikan senyuman manisnya. Beberapa mahasiswi menahan napas melihat senyuman manis itu.
"Selamat siang, Teman-teman. Saya Lutfi Ataric dan saya dosen yang akan membimbing kalian mempelajari Kalkulus."
Wajah serta pembawaan dosen baru itu mengingatkan Luna pada seseorang yang saat ini sedang ingin dia tendang dari lantai lima sebuah gedung.
Pelajaran Kalkulus berjalan mulus. Pelajaran berlangsung selama hampir tiga jam dan akhirnya, selesai ketika Lutfi menuliskan alamat emailnya di papan tulis sambil berkata, "Saya hanya bisa dihubungi melalui email. Jadi, kalau ada apa-apa, mohon segera email saya."
Luna melirik kanan-kiri, ke mahasiswi-mahasiswi yang menghela napas kecewa tatkala mencatat email Lutfi tersebut. Sebenarnya, kekecewaan terbesar mereka adalah saat Lutfi mengatakan dia sudah menikah selama tiga tahun. Luna dapat mendengar punyi kretek-kretek dari hati teman-teman sekelasnya.
Mahasiswa-mahasiswi berhamburan ke luar dari kelas, begitupun Luna. Tapi langkah Luna terhenti saat Lutfi yang tengah merapihkan buku-buku yang dia bawa, memanggil namanya pelan. Luna berbalik dan melangkah mendekati Lutfi, tak peduli jika banyak mahasiswi yang menatapnya penasaran.
"Bapak manggil saya?" Luna bertanya ragu-ragu, takut dia salah dengar atau apa.
Lutfi menghentikan kegiatannya dan menatap Luna. Senyuman hangat masih terjaga di bibirnga. Dia mengangguk sebelum berkata, "Saya mau ngobrol banyak sama kamu, bisa?"
Luna menunjuk dirinya sendiri. "Ngobrol? Sama saya?"
Lutfi mengangguk. "Ya. Tapi bukan sebagai mahasiswa dan dosen." Lutfi menjelaskan dan Luna masih tak paham maksudnya. Lutfi meraih dan menenteng tasnya, "Tunggu saya di parkiran, ya? Saya mau absen dulu di Tata Usaha. Saya gak ada kelas lagi setelah ini."
Luna mengangguk patuh. Mana mungkin dia menentang. Apalagi Lutfi dosen baru. Luna belum mengenal sifat dan sikap Lutfi secara menyeluruh. Bagaimana jika Luna menolak ajakannya dan dia menuliskan huruf D di semua penilaian Luna? Mati Luna. IP saja sejak semester pertama bukannya naik malah turun, walaupun turun sedikit.
Luna menunggu lima belas menit di halaman parkir sebelum melihat Lutfi yang melangkah mendekatinya. Luna sudah bilang ke teman-temannya jika dia sepertinya akan disidang dan ditanyai mengenai IP-nya yang selalu turun dan teman-teman Luna hanya menatap Luna kasihan.
"Maaf lama. Kita langsung berangkat, ya? Gak lama, kok. Saya juga bertanggungjawab untuk antar kamu pulang."
Luna mengangguk mendengar ucapan Lutfi. Lutfi melangkah terlebih dahulu menuju sebuah mobil Toyota yang terparkir tak jauh dari posisi Luna berdiri menunggu. Luna melangkah mengikuti.
Keduanya masuk ke dalam mobil dan Lutfi segera melajukannya menjauhi area kampus , Luna masih bertanya-tanya apa yang ingin Lutfi bicarakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top