18 - Masakan Padang
Oke. Anggap saja Luna bodoh karena mengejar Davi yang tadi meninggalkannya di pantai sendiri lalu, berkata pada cowok itu jika dia minta maaf dan akan melakukan apapun supaya Davi dapat menerima permintaan maaf darinya.
Sekarang, Luna harus terjebak di backstage sebuah stasiun televisi ketika Davi memiliki jadwal untuk menjadi bintang tamu acara talkshow yang untungnya tapping. Sudah lima belas menit berlalu sejak syuting di mulai dan Luna hanya dapat menunggu di backstage, memainkan ponsel sambil mengisi baterai juga dengan charger milik Davi.
Lima belas menit lain berlalu dan Luna nyaris terlonjak dari bangkunya ketika pintu berdecit, Davi dan bodyguardnya yang Luna kenali bernama Roy memasuki ruangan begitu saja. Davi melirik sekilas Luna sebelum meraih handuk untuk mengelap keringat di kening. Cowok itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan cermin rias dengan mata yang menatap Roy, menunggu bodyguardnya itu untuk menjelaskan semuanya.
"Maaf, Mas. Materi acaranya saya lupa taruh di mana. Kata Mbak Tika, ada di bagasi mobil, tapi saya cari enggak ada." Si Roy memasang wajah penuh penyesalan, ditambah takut saat Davi memberinya tatapan penuh ancaman.
"Saya gak pernah tahu kalo host-nya sevulgar itu dan ditambah lagi, kru-krunya juga kurang bersahabat. Ini pertama dan terakhir kali saya hadir di acara ini." Davi bangkit berdiri dan melangkah menuju ke kamar mandi yang ada setelah meraih pakaian ganti yang tadi sudah disiapkan Roy.
Roy melangkah mendekati Luna ketika Davi sudah masuk ke dalam kamar mandi yang sudah Roy yakini kedap suara. Roy menghela napas. "Saya kelabakan, Mbak, gara-gara Mbak Tika cuti. Saya gak pernah paham masalah kontrak, lah. Materi, lah. Ujung-ujungnya, Mas Davi marah lagi kayak tadi."
"Emang itu cowok hobinya marah-marah gak jelas, Pak. Baru tahu, ya? Bukannya udah lama kerja sama dia?"
Pertanyaan Luna membuat Roy menghela napas lagi. "Udah hampir 3 tahun saya jadi bodyguard merangkap supirnya Mas Davi. Emang dia orangnya temperamental, tapi temperamennya jelek banget akhir-akhir ini. Apalagi sejak mas Wisnu.." Roy buru-buru menutup mulut dan Luna mengangkat satu alis, Roy menatapnya ragu sekarang.
"Wisnu kenapa? Pergi tanpa pamit? Ah, udahlah. Bilangin Davi buat belajar hidup mandiri, gak usah mentingin orang yang bahkan gak begitu anggap dia penting. Jangan manja jadi cowok."
"Coba bilang ke gue langsung, jangan lewat Roy."
Roy memejamkan mata dan memasang wajah pasrah. Luna yang kebetulan berdiri memunggungi pintu kamar mandi membeku seketika, cewek itu berbalik dan nyengir, memasang wajah tak bersalah. Luna menahan napas dan cengirannya lenyap melihat bagaimana penampilan Davi saat ini. Dia sudah mengganti pakaian dengan kaus sederhana dan celana training hitam. Rambutnya setengah basah dan sial, dia terlihat lebih tampan dengan rambut seperti itu!
Davi melangkah mendekati Luna yang membeku dan Roy melangkah mundur secara perlahan, seperti memberi kesempatan Davi untuk mendekati Luna. Davi menghentikan langkah tepat di hadapan Luna, dia sedikit membungkuk sehingga wajahnya bertemu langsung dengan Luna yang memejamkan mata ketakutan.
"Kalo ada keluhan, omongin ke gue. Gak usah ke Roy. Dia sedikit pelupa dan mungkin, keluhan lo gak bakal sampai ke gue."
Luna memberanikan diri membuka mata dan balas menatap Davi tajam. "Lo sensi banget, sih, kayak cewek!"
Davi mendengus sebelum menjitak kembali puncak kepala Luna, Luna menjerit dan cowok itu mundur menghindari pukulan cewek itu. Luna menatap Davi tak percaya.
"Kalo gue geger otak, itu udah pasti karena lo!"
Davi terkekeh geli. "Jitakan gue gak bakal bikin lo geger otak, Bawel."
"Eh, jitakan lo itu termasuk sakit, ya! Pokoknya, kalo terjadi sesuatu sama otak gue, itu gara-gara lo!"
Davi memutar bola mata dan berbalik sambil berkata, "Lo tahu ke mana harus ngehubungin gue kalo sewaktu-waktu lo geger otak beneran. Sekarang, ayo, pergi. Temenin gue makan malam dulu."
Davi melangkah terlebih dahulu meninggalkan ruangan, Luna buru-buru menyusul, tapi langkah Luna terhenti melihat Roy yang tampak butuh bantuan membawa barang-barang milik Davi. Duh, itu cowok ngatain gue gak punya etika, tapi dia juga kurang ajar sama orang tua!
"Gak usah mbak Luna. Mbak Luna duluan aja ke mobil sama mas Davi. Saya aja yang bawa barang-barang mas Davi." Roy berkata ketika Luna membantunya melipat pakaian kotor Davi dan memasukkannya ke dalam sebuah tas. Bahkan pakaian kotornya masih sangat wangi dan tak terlihat kotor.
Luna tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Pak. Saya bantu bawa. Kasian Bapak kalo bawa banyak-banyak. Pasti kesusahan." Luna menenteng tas berisikan pakaian kotor Davi dan Roy membawa peralatan lainnya yang dimasukkan ke dalam tas lainnya.
Keduanya baru melangkah ke luar ruangan saat dua orang cewek yang Luna yakini sebagai kru acara ini menghampiri mereka sambil membawa kertas. Senyuman lebar muncul di bibir kedua cewek itu.
"Mbak, mbak manajer baru Davi, ya? Boleh minta nomor telepon Davi buat kontak-kontakan mengenai acara-acara lain?" Kru berambut sebahu bertanya antusias.
Luna beralih menatap Roy yang menggelengkan kepala. Luna menghela napas dan memperhatikan penampilan kedua cewek itu. Seragam kantor yang sangat menonjolkan bentuk tubuh mereka dan make up yang benar-benar sempurna. Penggemar Davi pula.
"Maaf, Mbak-mbak. Saya bukan manajernya Davi dan saya gak mau kasih nomornya Davi ke kalian."
Kedua kru itu cemberut. "Yah, mbak. Ayolah. Mau kenalan lebih lanjut sama mas Davi. Nanti juga mau atur jadwal buat acara-acara selanjutnya." Kru berambut keriting memasang wajah memelas.
Luna menggeleng. "Sekali enggak, ya, enggak."
"Pelit banget, sih, Mbak! Manajer bukan, pasti cuma babu!"
Omongan si kru berambut pendek membuat Luna naik darah. Cewek itu melotot dan berkata keras, "Eh, denger, ya, gak usah kegatelan sama Davi! Lo berdua," Luna menunjuk dua cewek itu bergantian, "bukan levelnya Davi! Punya kaca gak? Ngaca!"
Setelah itu, Luna beralih ke Roy dan mengajak Roy pergi meninggalkan dua cewek yang membeku ketakutan karena bentakan dan pelototan seorang Laluna Emalia Putri.
Luna dan Roy mencapai tempat di mana mobil Fortuner Davi terparkir. Davi sudah menunggu di sana, dengan topi yang senantiasa dia kenakan untuk menutupi wajahnya. Roy memasukkan barang-barang Davi bagasi sebelum membukakan pintu mobil untuk Davi dan Davi masuk tanpa berkata apapun.
Setelah itu, Roy masuk dan duduk di kursi kemudi dan baru saja Luna masuk ke dalam mobil, baru hendak duduk tenang, tapi suara menyebalkan Davi yang penuh perintah terdengar.
"Lo ngapain duduk di depan? Di belakang, lah! Lo itu nemenin gue, bukan nemenin Pak Roy!"
Luna memutar bola matanya. "Sama aja. Apa bedanya, sih." Luna menoleh dan menatap Davi dengan tatapan penuh permusuhan.
Davi menggeleng. "Enggak. Pindah dan duduk di samping gue, cepetan kalo mau mobil ini jalan."
Luna memejamkan mata menahan amarah sebelum menurut, dia ke luar dan masuk ke dalam mobil, duduk tepat di samping Davi yang sudah terlebih dahulu menyingkir ke sebelah kiri.
"Jalan, Pak."
Roy melaksanakan perintah Davi. Mobil pun melaju meninggalkan gedung stasiun televisi tersebut. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang terbuka, bahkan saat mengetahui mood Davi yang tengay buruk, Roy tak mampu bertanya ke mana tujuan mereka sebenarnya.
Sesekali Luna melirik Davi yang tampak menatap hampa ke kaca mobil di sisi kirinya. Luna tahu, cowok itu tak sedang memandangi bayangan wajahnya di cermin itu, jelas-jelas dia tengah melamunkan sesuatu dan itu masih sebuah misteri. Meskipun Davi adalah pribadi yang jika bicara selalu apa adanya dan terang-terangan kepada orang, Luna tahu dia menyimpan segudang rahasia yang pasti menyayat hati. Wisnu terbuka pada Luna tentang apapun, termasuk tentang Davi. Hanya sekilas dan sepertinya banyak juga hal tentang Davi yang tak diceritakan Wisnu kepadanya.
Luna menghela napas dan menatap ke kaca mobil di sisi kanannya, memperhatikan jalanan kota Jakarta yang sedikit lenggang mengingat saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Roy jelas-jelas mengemudikan mobil menuju apartment Davi. Tak apalah. Luna bisa kembali ke rumah dengan GoJek atau taksi.
Pikiran Luna tentang bagaimana caranya pulang dari apartment Davi harus buyar tatkala Luna merasakan sesuatu yang cukup berat menimpa bahunya. Luna menoleh dan mendapati kepala Davi yang terkulai begitu saja di bahunya. Mata cowok itu terpejam dan bibirnya terkatup rapat.
Luna menahan napas. Davi pasti sangat kelelahan. Entah apa yang dia lalui sebelum pergi ke acara tadi, tapi Luna dapat melihat raut wajah berbeda ketika Davi menghampirinya di pantai. Wajahnya sangat sayu dan seperti tengah ada masalah besar yang menimpanya.
Mata Luna terus mengamati tiap lekuk wajah Davi yang sangat dekat dengannya dan tanpa perlu menyadari suara detak jantungnya yang terdengar jauh dari kata normal. Jangan lupakan juga rona merah yang entah bagaimana bisa muncul di pipinya.
Luna membiarkan Davi tertidur di bahunya hingga Roy memarkirkan mobil di area parkir apartment. Roy menoleh ke belakang dan Luna seperti memberi isyarat yang berupa sebuah pertanyaan: Gimana, nih, Pak? dan Roy mengedikkan bahu lalu, terkekeh.
Tak enak membangunkan, Luna akhirnya bertahan di posisi itu selama lima menit sampai Davi terbangun dan mengangkat kepalanya dari bahu Luna. Cowok itu menguap kecil sebelum menoleh ke Luna dengan mata sayunya.
"Udah sampe, ya?" tanya Davi.
Luna mengangguk cepat.
Davi menghela napas. "Ya, udah, Pak Roy. Bapak boleh pulang. Biar saya yang antar cewek ini pulang."
Luna menganga dan baru ingin berkata sesuatu, tapi Davi sudah membuka pintu mobil di sisi kirinya dan melangkah ke luar. Roy tersenyum tipis kepada Luna sebelum ke luar dari mobil dan digantikan Davi di bangku kemudi. Davi menyalakan kembali mesin mobil yang sempat dimatikan Roy sambil berkata, "Pindah ke depan. Gue bukan supir lo."
"Seriusan? Muka lo muka bantal gitu. Lo kalo mau bunuh diri gak usah ngajak-ngajak gue. Gue balik naik GoJek aja." Luna membuka pintu dan melangkah ke luar dari mobil.
Tanpa diduga, Davi juga ke luar dari mobil dan menahan langkah Luna dengan berkata, "Masuk ke mobil sekarang. Bukannya tadi gue udah bilang? Temenin makan malam dulu."
Luna mendengus. "Makan malam sendiri. Gue ngantuk, mau balik!"
Davi menatapnya tajam dan entah kenapa, tatapannya itu seperti sebuah sihir yang membuat nyali Luna untuk mengelak perintah Davi menjadi hilang seketika.
"Masuk. Makan malam dulu, baru gue antar lo balik."
Setelah itu, Davi masuk ke dalam mobil dan Luna melangkah pasrah ikut masuk ke dalam mobil, duduk di samping bangku kemudi, menuruti keinginan bos besar dan Roy hanya menyaksikan interaksi Davi dan Luna sambil tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
"Dasar anak muda."
Luna hanya dapat pasrah ketika Davi mengemudikan mobil entah ke mana dan sejujurnya, yang paling membuat Luna pasrah adalah bagaimana cowok itu mengemudikan mobil. Luna tahu, jalanan kota Jakarta malam ini cukup lenggang, tapi bukan berarti Davi dapat menjadikan jalanan sebagai sirkuit balapnya, kan? Sungguh, Luna hanya dapat terus melantunkan Ayat Kursi dalam hati selama perjalanan entah ke mana.
Setelah kurang lebih lima belas menit perjalanan maut tersebut, akhirnya Davi menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah makan Padang. Luna mengernyit, baru tahu jika cowok seperti Davi mau makan di rumah makan Padang sederhana seperti ini.
"Suka masakan Padang gak lo?" Davi bertanya sambil membuka sabuk pengamannya dan belum Luna menjawab, Davi sudah memotong dengan pertanyaan, "Kalo suka ikutan aja makan, kalo enggak, lihatin gue makan aja. Entar juga kenyang."
Davi beranjak ke luar dari mobil dan Luna segera menyusulnya. Memasuki rumah makan, sesekali Luna melirik kanan-kirinya, mencari daftar menu takut-takut seperti yang lalu. Restoran tak begitu besar, tapi harga makanannya selangit.
"Lo yang traktir, kan, cuy?"
Luna menarik lengan kaus lengan panjang biru yang Davi kenakan dan membuat Davi menghentikan langkah sambil menghela napas. Davi mengangguk. "Iya, cuy. Gue yang traktir. Cepetan gue laper!"
Luna cengengesan mendengar Davi berkata seperti itu sebelum mengekori Davi menuju ke meja yang kosong meskipun sebagian besar meja di sini kosong. Davi selalu tahu tempat makan sepi sehingga, dia tak perlu susah-susah menyamar sedemikian rupa untuk dapat makan tanpa diganggu orang-orang yang mengenalinya.
Baru duduk di meja bernomorkan angka 12, beberapa pelayan datang membawa banyak piring berisikan berbagai jenis makanan, meletakkannya di atas meja. Luna cukup takjub melihat pelayan-pelayan itu membawa banyak piring berisikan makanan. Kalau Luna mencoba melakukan itu, sudah pasti dia akan dimarahi habis-habisan oleh Ibunya karena memecahkan banyak piring. Ini juga kali pertama Luna makan di rumah makan Padang yang menyajikan makanan seperti ini, biasanya Luna makan di rumah makan Padang di mana dia tinggal menunjuk lauk dan dilayani pelayannya yang kebanyakan bukan orang asli Padang.
"Selamat menikmati."
Setelah selesai meletakkan piring-piring makanan tersebut, si pelayan pergi memberi kesempatan Luna dan Davi untuk menyantap makan malam mereka yang beragam.
"Jangan norak." Davi menyindir, mengambil piring berisikan nasi miliknya dan mulai membidik sayur serta lauk mana yang harus dia makan.
Luna ikut mengambil piring nasinya. "Ini banyak banget. Lo yakin habis?"
Davi mengedikkan bahu. "Makanya gue ngajak lo. Lo habisin, ya, kalo gue gak habis. Harus habis." Davi menuang sayur daun singkong ke nasinya lalu, mengambil ayam bakar dada. Dia mulai makan dan Luna masih menggeleng-gelengkan kepala menatap menu makanan di hadapannya. Sumpah, harus dihabisin?!
Davi ingin tertawa rasanya melihat ekspresi terkejut Luna. Cewek itu bahkan belum menyentuh sama sekali makanannya ketika Davi sibuk makan. Davi berhenti makan sejenak dan menatap Luna yang duduk berhadapan dengannya dengan senyuman mengejek sekaligus geli.
"Bercanda. Udah makan semampu lo. Gak harus dihabisin, kok."
Luna tersenyum lega dan mulai memakan makanan yang dia ingin makan. Davi tersenyum geli melihat Luna yang makan. Sepertinya, menjahili Luna akan menjadi hobi baru Davi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top