16 - Instagram

Laluna Emalia Putri baru benar-benar merasa kesepian pada malam hari. Jika siang hari Luna bisa terlihat bahagia, itu karena dia memiliki teman-teman yang cukup menghibur dan membantunya mengalihkan perhatian dari kesedihan. Tapi di malam hari, tak akan ada yang tahu seberapa kesepian Luna, bahkan tak jarang cewek itu menangis dan tertidur setelah puas menangis.

Luna sangat merindukan Wisnu.
Wisnu dan kecintaannya pada games. Wisnu dan panggilan-panggilan ataupun pesan Luna yang butuh waktu lama untuk mendapat jawaban. Wisnu dan perhatian manisnya. Wisnu dan gombalan recehnya. Wisnu dan semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama.

Luna menghela napas dan memutar posisi berbaringnya menjadi menyamping. Setidaknya itu yang Luna lakukan dengan harapan dapat membantunya menghapus bayang-bayang Wisnu, tapi sayangnya tak berhasil.

Cewek itu beranjak dari ranjang dan di saat bersamaan ponselnya berdering. Luna meraih asal ponsel yang ada di atas meja di samping ranjangnya, mengernyit mendapati nomor asing yang tertera di sana. Luna menghela napas sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" Luna menyapa jutek.

"Jangan jutek-jutek jadi cewek. Cepet tua lo!"

Mata Luna terbelalak. Siapa cowok yang seketus ini bicara padanya kalau bukan...

"Lo tahu nomor gue dari mana?!" Luna mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk di ranjang, memeluk boneka teddy bear pemberian dari Wisnu.
Luna dapat mendengar kekehan dari jauh sana sebelum cowok itu berbicara, "Gue pernah ngehubungin lo, kan."

"Kapan?" Luna memicingkan mata, berusaha mengingat-ingat, tapi sayangnya Luna tak mampu mengingat semuanya. "Bohong lo! Ini siapa, sih? Kayaknya gak mungkin si aktor sialan itu walaupun, sekilas cara ngomong lo sama dia sama."

"Siapa yang lo sebut aktor sialan, sori?"

"Davino Alaric Syahm. Aktor. Sialan." Luna menekankan kata aktor dan sialan.

Kali ini, Luna mendengar helaan napas dari jauh sana. "Lo penampilan doang anggun. Dalemnya kayak gak berpendidikan. Mulut jelek banget."

"Lo kayak nyokap gue, anjir."

"Mulut, mbak."

Luna memutar bola matanya. "Ya, ya, ya. Lo ngapain nelpon gue? Dapat nomor gue dari mana?" Luna mulai percaya jika yang menghubunginya saat ini adalah aktor menyebalkan itu.

"Gak usah nyari tahu nomor lo, Bawel dan alasan kenapa gue nelpon lo adalah buat ngingetin kalo lo masih punya hutang yang belum lo lunasin."

"Katanya lo orang kaya! Duit segitu aja masih dibahas-bahas! Ditagih terus lagi!"

"Duit segitu? Kalo gitu, gue minta transfer, dong, duit segitunya. Walaupun, cuma segitu, itu duit sangat berguna buat gue."

Luna mendengus. "Ya, enggak sekarang juga! Udah malem! Gak ada saldo juga di ATM gue!"

"Ah, sudahlah. Kembali ke tujuan awal gue nelpon lo. Gue mau nawarin lo sesuatu anggap aja sekalian bayar hutang."

Satu alis Luna terangkat. "Apaan lagi? Mau ngerjain gue, ya, lo?"

"Manajer gue cuti buat nikah plus bulan madu selama dua minggu. Gue gak ada manajer jadi, gue mau lo jadi manajer sementara gue."

Luna diam, berusaha mencerna maksud Davi sebelum melotot. "Idih! Jadi manajer lo? Ogah! Males banget! Ketemu sekali-dua kali sama lo aja bikin apes, gak usah nyuruh gue jadi manajer lo!"

"Cukup bilang gak mau, Bawel. Gue gak butuh celotehan lo tentang gue."

"Lo ngapain nelpon gue? Kalo cuma mau nawarin gue jadi manajer lo, gue udah jawab. Kalo udah, gue matiin sebelum emosi gue meledak karena terlalu sering ngomong sama lo!"

Luna menunggu dan Davi mengambil jeda lama sebelum balas berkata, "Gue ganggu lo, ya? Maaf, deh. Soalnya gue iseng. Bingung mau ngapain malam ini dan gak punya orang yang bisa gue ajak ngobrol."

Mata Luna terpejam. Entah apa yang harus dia komentari, tapi Luna merasa jika Davi cukup mengerti bagaimana rasanya menjadi Luna. Dari cerita Wisnu tentang kedekatannya dengan Davi, Luna tahu jika mereka sangat dekat.

Wisnu pergi dan Davi mengakui tak tahu menahu tentang kepergian Wisnu. Jika Davi benar, maka dia dan Luna sama.

Sama-sama berharap Wisnu dapat kembali secepatnya.

Luna menghela napas. "Gue kangen Wisnu. Lo gak bercanda, kan, waktu lo bilang lo gak tahu sama sekali tentang keberadaan Wisnu?" Suara Luna sedikit mengecil, tapi Luna yakin, Davi dapat mendengar jelas suaranya.

Jeda cukup lama sampai Davi kembali bersuara, "Gue lagi berharap dia buat kembali. Gue gak punya siapa-siapa lagi selain dia."

Senyuman miris muncul di bibir Luna. "Udah, ah. Gak mau bahas Wisnu, entar gue galau lagi. Gue mau tidur. Gue matiin, ya?"

"Oke."

Luna menggigit bibir bawah dan masih mempertahankan ponsel di dekat telinga, tapi respon singkat Davi tadi itulah yang terakhir Luna dengar. Luna menghela napas, menjauhkan ponselnya dari telinga. Cewek itu menatap layar, Davi sudah mengakhiri panggilan.

☢☢☢

Davi tak bercanda tentang Kak Atika yang akhirnya, menikah setelah hampir enam tahun menjalin hubungan dengan suaminya sekarang. Davi berada di rumah Kak Atika dan menjadi tamu di sana, yang sialnya malah menjadi pusat perhatian juga. Bahkan, kedatangan Davi malah lebih menarik perhatian daripada keberadaan pengantin baru itu sendiri.

"Udah, Dav. Kita, kan, udah ketemu. Mending kamu langsung balik dan istirahat. Jadwal kegiatan kamu untuk dua minggu ke depan udah aku email. Aku udah minta Roy buat bantu ngawasin kamu."

Davi memutar bola mata sebelum memperhatikan sekitar, tepat ke beberapa orang yang benar-benar membuat kerumunan hanya untuk melihatnya. Kak Atika sampai pusing sendiri. Tamu undangannya jadi bertambah banyak karena kedatangan Davi.

"Roy mana bisa diandalin. Mending handle sendiri kalo kayak gitu."

Kak Atika mengerucutkan bibir. Wanita itu terlihat lebih cantik dari biasanya dengan balutan gaun pernikahan perpaduan antara adat Jawa dengan modern. Suaminya yang Davi kenal bernama Satrio, juga terlihat sangat serasi berdiri berdampingan dengan Kak Atika dan dia punya dendam tersendiri dengan Davi yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan istrinya.

"Udah, Bocah. Sono, pergi! Lo gak lihat itu orang banyak malah ngeliatin lo daripada ngeliatin gue sama Atika?"

Davi mendengus, beralih menatap Satrio yang tengah memberinya tatapan galak. "Elah, itu karena gue lebih ganteng daripada lo. Bahkan istri lo mengakui sendiri, katanya kalo umur gue gak beda jauh dari dia, mending dia nikah sama gue. Iya gak, Kak?"

Kak Atika terkekeh geli mendengar ucapan Davi, tapi Satrio memutar bola mata, mendorong bahu Davi. "Udah sono pergi. Ngerusak pemandangan tahu!"

Davi tertawa. "Maksudnya, memperindah pemandangan kali, ya?" Davi menahan langkahnya sesaat menatap Kak Atika, "Kak Pamit, ya. Ada anjing galak."

Sebelum Satrio mengomel lagi, Davi sudah berlari kecil menuju mobil, dengan Roy yang selalu siap siaga melindunginya seperti bayangan.

"Dasar bocah!"

Mobil yang Roy kendarai melintas kembali di jalan kota Jakarta yang terik. Davi yang semula masih tertawa karena Satrio, perlahan berubah menjadi diam. Cowok itu menatap lewat kaca mobil dengan hampa.

Roy melirik Davi dari cermin. Ini jelas bukan pemandangan pertama yang pernah Roy hadapi. Davi selalu terlihat murung, ketika dia sendiri. Dia seseorang yang kesepian dan selalu membutuhkan teman di sisinya.

Biasanya, Kak Atika yang menemaninya, mengajak cowok itu mengobrol membahas pekerjaan atau apapun itu. Selama dua minggu ke depan, Kak Atika tak akan menemani Davi.

Biasanya, jika Kak Atika tak menemani, Davi juga punya teman bicara lain yaitu Wisnu. Tapi akhir-akhir ini, Roy sendiri tak pernah tahu apa yang terjadi hingga dia tak melihat Wisnu di manapun dan tak pernah melihat kebersamaan Davi dan Wisnu lagi.

Jangan tanyakan tentang kedekatan Davi dan Roy. Roy sendiri harus mengakui, dia selalu takut untuk dapat membuka bicara dengan Davi, seseorang yang memberinya pekerjaan dan menggajinya tiap bulan. Pernah sekali Roy mencoba membuka percakapan dengan Davi, menanyakan tentang keluarganya dan Roy mendapat jawaban yang tak mengenakkan.

Davi bilang, dia tak memiliki keluarga dan meminta Roy untuk berhenti menanyakan kehidupan pribadi cowok itu.

"Rumah Sakit Budhi Asih, Pak."

Roy menahan napas dan melirik kembali ke cermin saat mendengar suara Davi yang memecah keheningan tersebut. Davi masih menatap jalanan kota Jakarta dengan hampa dan Roy memilih untuk bungkam seraya melaksanakan perintah Davi.

Sudah hampir sebulan belakangan, Roy mengantar dan menunggu Davi pergi ke Rumah Sakit, tanpa tahu apa tujuan Davi pergi ke rumah sakit itu tersebut.

☢☢☢

davinoas.

Luna menghela napas membaca username itu berulang kali pada daftar pencarian instagram-nya, tanpa ada niatan untuk benar-benar mencari akun itu. Luna menghabiskan lima belas menit berharganya untuk berpikir apakah dia harus mencari akun itu dan men-stalk atau tidak.

Tapi serius, Luna masih penasaran seberapa terkenalnya cowok itu hingga mall ataupun kelab malam dan berita terbaru, sebuah pesta pernikahan, penuh didatangi banyak orang hanya karena mereka tahu cowok itu ada di sana.

Kalah oleh rasa penasaran, Luna benar-benar mencari akun itu dan membukanya. Akun davinoas baru terbuka, ketika sebuah suara terdengar dan membuat Luna terlonjak dari tempatnya. Suara Ayu.

"Anjir, lo nge-fans sama Davino juga?! Akhirnya!"

Luna menoleh dan ketiga temannya sudah berada di sekelilingnya. Ayu dan Siska saling tersenyum lebar menggoda Luna sementara, Temi terlihat biasa saja.

"Enggak! Gue gak nge-fans sama Davino! Cuma penasaran aja!"
Ayu menggeleng-gelengkan kepala. "Mending gak usah penasaran. Entar malah ikut-ikutan nge-fans. Gak usah mending." Ayu hendak mengambil ponsel Luna namun, Luna bergerak cepat mengamankan.

"Hape, hape gue. Gak usah sentuh!"
Luna menatap galak Ayu dan dibalas tatapan galak juga oleh Ayu. Siska yang tadi hanya mengamati buru-buru melambaikan tangan di antara Luna dan Ayu.

"Udah, udah. Jangan berantem. Gak apa-apa, Yu, kalo Luna masuk Davinoirs. Kan, seru kalo fangirling bertiga!"

Luna memasang wajah ingin muntah. "Ogah." Cewek itu membuka ponselnya dan memilih me-log out akun Instagramnya. "Tuh, gak jadi. Udah gak penasaran lagi. Jijik. Gak suka gay."

"Gay pala lo! Lo gak denger apa konfirmasi langsung dari Davino kemarin? Dia jelas-jelas bilang kalo gak usah percaya sama gosip-gosip murahan. Itu berarti dia bukan gay!" Ayu berujar keras kepada Luna.

Siska mengangguk. "Iya! Davino bukan gay! Bentar lagi gue nikah sama dia dan buktiin kalo dia bukan gay!"

"Mana mau dia sama lo!" Ayu menepis ucapan Siska.

"Emang dia juga mau sama lo?"

Temi dan Luna saling tatap sebelum menggeleng-gelengkan kepala, memilih untuk diam dan menonton perdebatan Ayu dan Siska yang lagi-lagi membahas tentang seorang Davino Alaric Syahm.

Diam-diam, selagi Ayu dan Siska berdebat, Luna masuk ke akun Instagram-nya dan mencari akun Davino, lagi. Masa bodoh mau dibilang apa, tapi Luna masih penasaran dengan seberapa populernya cowok itu.

Luna melotot. Followers cowok itu mencapai angka dua juga delapan ratus ribu lebih dan dia tidak mem-follow akun manapun. Posting-annya juga termasuk aesthetic, layaknya anak hitz. Luna pikir, akun Davino akan penuh dengan foto selfie dan endorse, tapi tidak juga. Dia lebih sering memosting sebuah objek, atau fotonya yang sama sekali tak melihat ke arah kamera.

"Davino itu sering upload foto endorse, tapi gak lama bakal di hapus. Katanya, endorse Davino itu pake waktu. Satu produk cuma dibatasin bertahan di akun Instagram-nya selama satu hari penuh. Abis itu bakal di hapus dan gak ada perpanjangan." Luna menoleh, yang baru saja menjelaskan adalah Temi, Ayu dan Siska masih bertengkar.

"Serius?"

Temi mengangguk. "Satu postingan, satu produk itu kalo gak salah sekitar tiga juga. Termasuk paling mahal. Makanya, jangan heran kalo dia masuk sebagai salah satu aktor terkaya di Indonesia. Padahal, baru beberapa tahun belakangan debut."
Luna menganga. Pantes, waktu itu dia bilang satu juta dua ratus itu gak mahal! Lah, penghasilannya sehari bahkan lebih dari itu!

"Gue gak yakin Davino itu gay. Kalo lo stalk Instagram-nya sampai posting-an awal-awal, sekitar tahun 2011-an, dia nge-upload foto cewek yang di duga sebagai pacar terakhirnya."

Dengan penuturan itu, Luna refleks men-scroll Instagram Davi sampai akhirnya, dia mendapati foto cewek dimaksud. Luna menahan napas.

"Siapa, sih? Gak jelas gitu mukanya. Mana fotonya juga gak jelas."

Komentar Luna membuat Temi memutar bola matanya. "Mana gue tahu! Itu cewek masih misteri tahu gak, sih! Dari awal Davi debut, sampai sekarang, Davi gak pernah jawab pertanyaan seputar cewek itu."
Luna menatap lagi foto cewek itu dengan heran sebelum menatap Temi.

"Eh, eh. Kok lo tahu banyak tentang Davino? Jangan-jangan..." Luna menyeringai dan buru-buru Temi menggeleng.

"Enggak, lah! Gue bukan gay dan gimana gue gak tahu apa-apa tentang Davino ketika sahabat-sahabat gue dan juga mantan gebetan gue yang namanya males gue sebut, selalu ngomongin itu cowok!"

Luna tertawa geli mendengar jawaban Temi lalu, beralih kepada Ayu dan Siska yang masih berdebat. Ah, sudahlah. Bukan hal yang aneh lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top