14 - Dini Hari

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi Luna masih berada di dalam mobil yang dikendarai secara langsung oleh aktor ternama Indonesia, Davino Alaric Syahm. Entah ke mana cowok itu mau membawanya, Luna sudah lelah bertanya, tapi tak dijawab sama sekali oleh Davi.

Tiga puluh menit perjalanan setelah mengantar Calvin kembali ke kelab hingga sampai di tempat ini. Sebuah rumah makan yang masih terlihat buka meskipun, pengunjungnya hanya satu dua orang. Mobil sudah terparkir di halaman parkir rumah makan itu dan Davi belum juga menjawab pertanyaan Luna mengenai ke mana mereka akan pergi dan apa yang akan mereka lakukan.

"Turun."

Davi baru buka suara dan Luna menoleh, baru sadar jika cowok itu sudah melepaskan sabuk pengaman yang dia kenakan. Mata mereka bertabrakan dan Luna menahan napas. Baiklah, walaupun Davi menyebalkan, Luna tak akan menampik fakta jika Davi ditambah cahaya rembulan malam akan menghasilkan pemandangan yang luar biasa indah.

Luna tersadar dari lamunannya akan Davi ketika cowok itu menjentikkan jari di depan wajah Luna, membuat Luna buru-buru mengalihkan perhatian dengan membuka sabuk pengamannya.

Davi terkekeh kecil. "Gak usah terpesona gitu. Inget, gue sahabatnya mantan lo."

Sabuk pengaman sudah lepas dari tubuh Luna. Cewek itu memicingkan mata kepada Davi. "Idih. Lo mau nuduh kalo gue naksir sama lo, gitu?"

"Gue gak nuduh lo naksir gue. Cuma bilang kalo lo udah kentara banget terpesona sama ketampanan gue." Davi menyondongkan tubuhnya ke arah Luna sambil menyeringai ketika Luna bergerak mundur hingga kepalanya terpentuk kaca mobil dan membuat Davi tertawa geli.

Davi memundurkan kembali tubuhnya seraya membuka pintu mobil. "Turun cepetan kalo lo mau balik sebelum adzan Subuh."

Luna menghela napas sambil meletakkan tangan di depan dadanya yang masih berdebar tak karuan. Siapa yang tak deg-degan saat bisa melihat wajah tampan Davi dari dekat seperti tadi? Jika Siska atau Ayu yang ada di posisi Luna, kedua cewek itu pasti sudah pingsan.

"Untung gay."

Luna berujar pelan sambil hendak ikut membuka pintu mobil, tapi Davi malah kembali duduk dan menarik lengan Luna, membuat cewek itu duduk lagi.

"Lo ngomong apa tadi?" tanya Davi.

Satu alis Luna terangkat. "Apaan?"

"Lo bilang gue gay?" Davi memicingkan mata.

Luna berdecak dan mengedikkan bahu dengan santai. "Udahlah. Gak usah ditutupin. Karena lo temannya mantan gue, bukan berarti kita gak bisa jadi teman dan gue sama sekali gak keberatan punya teman seorang gay."

"Gue bukan gay."

Luna memberikan senyuman aneh kepada Davi lalu, tiba-tiba tangan cewek itu menepuk bahu Davi berkali-kali. "Kan tadi gue bilang, gak usah malu sama gue. Gue menghargai keputusan lo buat menjadi gay. Pasti lo pernah mengalami hal berat dengan seorang cewek yang membuat lo beralih menjadi penyuka sesama jenis."

"Gue bukan gay!"

Luna menarik tangannya dari bahu Wisnu sambil menghela napas. "Sekarang, gue ikhlas, kok, kalo alasan Wisnu mutusin gue itu karena dia udah gak tahan satu tempat tinggal mulu sama lo dan lo udah bangkitin jiwa gay Wisnu."

Davi melotot. "Astaghfirullah, pikiran lo."

Luna nyengir memamerkan gigi-gigi putihnya. "Tenang. Gue gak apa-apa kalo kalian jadi pasangan gay. Gue lebih suka lihat Wisnu berpasangan sama lo daripada harus berpasangan sama cewek lain. Gue gak ikhlas Wisnu ninggalin gue buat cewek lain. Kalo buat lo, gue ikhlas." Luna menunjukkan ibu jarinya sebelum benar-benar membuka pintu mobil sambil berkata, "Ayo, makan!"

Setelahnya, cewek itu melangkah meninggalkan Davi yang rasanya ingin menabrakkan mobilnya ke pohon terdekat karena Luna sama sekali tak memberinya ruang untuk mengklarifikasi jika Davi bukan seorang gay.

Davi menghela napas pasrah dan segera ke luar dari mobil, menyusul langkah Luna yang sudah memasuki rumah makan seakan-akan ini bukan kali pertamanya berkunjung ke sini.

Luna yang seenaknya menentukan di mana mereka duduk. Lesehan paling pojok yang berhadapan langsung dengan kolam ikan sederhana. Memang Davi akui, suara gemericik air dari kolam, suara jangkrik dan semilir angin berhembus sangat terasa jika duduk di sini.

Seorang pelayan datang membawa buku menu yang membuat mata Luna berbinar. Davi berdecak seraya membuka buku menu yang diberikan kepadanya. Dia tersenyum miring penuh arti dan mungkin Luna tak akan paham akan hal itu.

"Lo yang bayar, kan? Hutang lo gue anggap lunas." ujar Davi, berusaha mengabaikan tatapan kagum si pelayan rumah makan yang sepertinya belum begitu mengenali siapa Davi, tapi jelas-jelas dia mengagumi ketampanan Davi.

Luna mengerucutkan bibir. "Mbak, ini menu gak ada harganya? Biar saya bisa ngukur seberapa besar pengeluaran saya buat traktir ini cowok."

Si pelayan baru mau angkat suara, tapi Davi sudah memotong dengan cepat, "Gak mahal, tenang. Gue udah biasa makan di sini. Masih terjangkau buat kantung-kantung orang kayak lo." Davi membuka menunya dan mulai memesan, "Cordon bleu, Mbak. Minumnya lemon tea anget aja."

Pelayan itu buru-buru mencatat pesanan Davi sebelum konsentrasinya buyar lagi. Davi beralih menatap Luna yang masih menatap menunya ragu-ragu. Ah, yang benar saja. Minuman botol ditambah cokelat dan ongkos bensin tentu saja tak akan sebanding dengan harga makanan di sini. Luna punya feeling jika Davi memang sengaja ingin mengerjainya.

"Saya pesan French fried sama teh manis anget aja, Mbak."

Davi mengernyit heran. "Lah, Lo gak mau makan makanan berat?"

Luna menggeleng. "Enggak. Lagi diet."

Satu alis Davi terangkat. "Apa yang Lo dietin? Udah kayak tengkorak hidup, masih kurang kurus juga?" Sindir Davi, menutup menu makanannya dan melipat tangan di atas meja, menatap lekat Luna. "Pesan makanan berat sekarang. Tenang. Kalo duit lo kurang, gue yang nambahin."

Senyuman Luna mengembang lebar. "Nah, gitu, dong! Lo harus tahu duit jajanan beserta tabungan gue sudah terkuras buat bayar sewa apartment selama 3 hari. Sialan, gue baru sadar harga sewanya semahal itu."

"Lo cewek, kurang-kurangin ngomong kasar. Gak pantes."

Luna diam mendengar komentar Davi. Benar juga, sih. Tapi Luna tak pernah berbicara kasar di depan Wisnu dan keluarganya. Akhir-akhir ini, sejak putus dengan Wisnu memang Luna sangat sering mengucap kalimat kasar yang tak seharusnya dia ucap.

Tak ada yang memulai percakapan lagi ketika makanan datang meskipun, Luna tak akan menampik jika dia sudah berkali-kali mencuri pandang cowok yang duduk berhadapan dengannya. Davi memakan makanannya dengan tampang sangat serius dan oke, sekali lagi Luna akan mengakui jika cowok itu memang tampan di atas rata-rata cowok yang pernah ditemuinya.
Temi tampan dan dia cukup populer di kampus, tapi cowok itu terlalu bodoh saja untuk tidak memanfaatkan ketampanannya mencari cewek cantik yang setidaknya seimbang untuknya. Temi terlalu fokus pada satu cewek yang ditaksirnya sehingga, saat kehilangan cewek itu, dia akan merasa sebagai manusia paling tidak beruntung di dunia.

Wisnu juga tampan, tak akan ada yang mengelak itu. Bahkan, Ayu yang notabene jarang mengakui ketampanan cowok, mengakui ketampanan Wisnu. Wisnu punya senyum dan lesung pipit yang berpotensi membuat para cewek mimisan setiap melihatnya. Luna terkadang merasa kesal jika harus jalan berdampingan dengan Wisnu dan Wisnu diperhatikan beberapa cewek genit. Sayangnya, Luna akan dengan senang mengakui jika Wisnu jauh lebih tertarik pada games-nya daripada cewek. Bahkan, Luna sendiri sering diabaikan oleh Wisnu.

Luna merasa beruntung memiliki dua cowok tampan yang selalu ada di sisinya tersebut. Temi dan Wisnu walaupun, mungkin untuk sementara Wisnu tak akan ada di sisinya.

Tapi pemandangan di depan Luna ini justru sesuatu yang berbeda, yang ada di hadapan Luna saat ini adalah Davino Alaric Syahm. Aktor seusia sama dengannya yang memang tak akan pernah bisa dipungkiri ketampanannya. Wajahnya memang terkesan dingin, ditambah lagi dia sangat jarang menunjukkan ekspresi di wajah dinginnya itu. Tapi cewek sekarang bukankah memang menyukai cowok seperti Davi? So bad ass, kalau kata cewek-cewek yang melihat ayahnya Mas Kulin di Webtoon Terlalu Tampan. Davi seperti itu juga, tapi jauh lebih manusiawi.

"Ngapain lihatin gue? Gue ganteng? Udah tahu. Gak perlu dikasih tahu lagi."

Baru Luna memuji ketampanan cowok itu dalam hati, Luna ingin menarik ulang pujiannya tadi. Secara fisik memang tampan, tapi Davi terlalu ketus dan menyebalkan. Luna baru kali ini bertemu dengan seorang cowok seperti Davi, yang seperti sangat siap untuk menentang semua keputusan Luna. Sangat berbanding terbalik dengan Wisnu yang walaupun sangat cuek, tapi tak punya keberanian mengelak semua keinginan Luna.

"Kepedean."

Luna menjulurkan lidah sebelum lanjut memakan makanannya dan kali ini giliran Davi yang curi-curi pandang ke arah Luna. Tak akan Davi pungkiri, secara fisik, Luna memang cantik dan bentuk tubuh bak model meskipun, dada-nya tak berisi. Wajah cewek itu menyimpan banyak teka-teki yang coba untuk Davi ketahui. Wajahnya terlihat jutek jika dia tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi saat dia tersenyum atau tertawa, oke. Dia cantik, mungkin hanya itu yang bisa Davi ungkapkan.

Tapi secara sikap, Davi masih belum mendapati sesuatu yang menarik dari Luna, sehingga membuat cowok seperti Wisnu bisa bertahan selama lebih dari 3 tahun menjalin hubungan dengan Luna. Dia terlalu jutek dan galak. Dia bodoh dan ceroboh. Dia sangat menyebalkan dan baru kali ini, Davi dihadapkan dengan cewek semenyebalkan Luna.

"Lo ngapain lihatin gue? Entar naksir,"

Davi memutar bola matanya dan tersenyum mengejek. "Lo duluan yang naksir gue, pasti. Tipe gue highclass, jadi maaf kalo keinginan lo supaya gue naksir sama lo gak bakal terkabul."

"Emang lo demen sama cewek?"

Davi memejamkan mata, berusaha untuk bersabar menghadapi cewek satu ini. Berulang kali Davi menjelaskan, percuma juga jika tak didengar.

Suara denting sendok yang bertabrakan dengan piring beling terdengar, membuat Davi kembali membuka mata untuk mendapati Luna yang mulai memakan pesanannya dengan wajah tersenyum penuh kemenangan.

Davi menghela napas. Terserah,lah. Yang penting kenyang.

"Eh, gue ke toilet dulu."

Luna sedikit mendongak ketika Davi mendorong kursi dan bangkit berdiri, melangkah meninggalkan Luna di mejanya, menatap kepergian Davi sekilas sebelum fokus dengan makanannya lagi. Luna baru tahu tempat makan ini dan makanannya benar-benar enak.

Davi tak pergi ke toilet. Cowok itu menghentikan langkah kakinya ketika seorang pelayan sudah menantinya di dekat pintu ruangan bertuliskan manajer. Davi menatap kanan-kirinya sebelum mengisyaratkan si pelayan paruh baya untuk mendekat.

"Bill-nya udah diatur?" tanya Davi.

Si pelayan mengangguk cepat. "Udah, mas Davi. Tapi beneran gak apa-apa? Ini mahal banget. Entar kalo dia gak mau main lagi ke sini gimana?" Si pelayan bertanya cemas.

Davi menggeleng. "Tenang aja, Mbak. Kehilangan satu pelanggan gak begitu bawa pengaruh besar. Lagian, saya gak korupsi, kok. Cuma mau ngerjain dia aja."

"Pacarnya Mas Davi?"

Buru-buru Davi menggeleng. "Bukan, bukan. Itu pacarnya Wisnu."

Si pelayan mengangkat satu alisnya. "Pacarnya mas Wisnu, tapi mas Wisnu-nya mana? Kok berdua doang sama mas Davi?"

Davi nyengir. "Wisnu-nya lagi istirahat, mbak. Kasihan dia kecapekan. Makanya, saya yang nemenin pacarnya jalan."

Untungnya, si pelayan itu mengangguk-anggukkan kepala, memberi isyarat jika dia mengerti dan tak mau ikut serta dalam kehidupan pribadi anak pemilik rumah makan tempatnya bekerja ini. Well, ya. Rumah makan ini memang punya ayah Davi, yang masih diurus baik oleh kakak Davi sendiri, Lutfi, sebagai salah satu sumber penghasilannya.

"Mas Lutfi titip pesan. Kalo mas Davi ke sini, katanya tolong bilangin, mas Davi dapat salam dari Papa-nya. Disuruh jenguk, lah, sesekali. Papa udah bisa ke luar tiga bulan lagi."

Davi menghela napas. "Gak usah ke luar juga gak apa-apa. Gak butuh juga." Davi berkata dingin sebelum tersenyum ke pelayan tersebut, "Mbak, kasih bill-nya ke dia, ya. Saya mau ke toilet dulu."

Setelah itu, Davi melangkah cepat menuju ke toilet sementara, si pelayan menghela napas, membaca ulang bill yang dibuat langsung oleh seorang Davino Alaric Syahm, sore kemarin. Pelayan itu mulai melangkah menghampiri meja tempat Luna duduk, kekenyangan.

"Selamat pagi, mbak. Ini bill-nya."

Luna nyengir kuda. Baru sadar jika ini sudah pagi. Luna meraih bill dari si pelayan sambil berkata, "Makasih, mbak. Saya bayar di ka−," Mata Luna melotot melihat angka yang tertera di sana. Luna buru-buru meraih bill yang diberikan si pelayan itu.

"Astaghfirullah. Ini gak salah, Mbak? Masa kentang goreng doang tujuh puluh ribu? Saya beli di KFC aja palingan gak sampe dua puluh ribu." Luna menyampaikan protesnya sambil terus membaca, "Ini lagi. Cordon Bleu tiga ratus ribu? Astaghfirullah, Mbak. Ini rumah makan apaan, sih, kenapa makanannya begini banget harganya?"

Siapa yang tidak kaget jika makan berdua di rumah makan yang sebenarnya sama seperti rumah makan lain meskipun, Luna tak akan mengelak jika rumah makan ini punya rasa yang berbeda, tapi bagaimana Luna tidak melotot jika total bill yang harus dia bayar mencapai angka satu juta dua ratus ribu rupiah? Padahal, dia hanya makan berdua dan tidak begitu banyak.

"Mbak, coba dicek lagi. Ini bener gak harganya segini?" pinta Luna.

Si pelayan menggeleng. "Enggak, Mbak. Harganya emang segini. Coba Mbak cek, pesanannya udah benar atau belum. Tapi harganya memang segini dan gak bisa dibuat bill ulang."

"Tapi, Mbak, harganya gak masuk akal. Makanannya begitu, doang. Kecuali kalo saya makan di tempat mewah dan bintang lim−,"

"Kenapa, nih?"

Ucapan Luna terpotong oleh kedatangan Davi dari toilet. Davi menatap si pelayan sekilas dan beralih menatap Luna. "Kenapa, sih?" tanya Davi kepada Luna.

Luna menggembungkan pipi lalu, menyodorkan bill yang harus dia bayar kepada Davi. "Coba lo cek, deh. Ada yang salah enggak sama harga makanan di sini?"

Davi meraih bill itu dan membacanya sekilas sebelum dengan santai berkomentar, "Enggak, kok. Normal. Murah, kan? Masih terjangkau, lah."

Luna melotot. "Idih, stress! Murah pala lo! Ini satu juta lebih, loh, buat kita makan berdua, doang! Mana menu-nya begitu aja. Kalo segini, mending gue modalin nyokap buka catering daripada harus makan di sini!"

"Cuma satu juta dua ratus." Davi berkomentar tenang.

"Cuma satu juta dua ratus kata lo? Eh, itu sama aja kayak jajan gue sebulan dari nyokap! Astaghfirullah. Lo ngapain ngajak makan di sini, sih?!"

Davi mengedikkan bahu. "Karena makanannya enak."

"Iya, enak. Tapi gila, ya. Kata lo murah!"

Satu alis Davi terangkat. "Emang murah, kan?"

"Kalo bunuh orang itu gak dosa, gue udah bunuh lo sekarang!"

Davi terkekeh geli mendengar ancaman Luna. Cowok itu dengan santai mengeluarkan dompet dari saku celana sambil berkata, "Ya, udahlah. Gue aja yang bayar. Hutang lo nambah, ya, Bawel." Davi mengeluarkan kartu kreditnya dan menyodorkan kepada si pelayan, "Kartu kredit bisa, kan, Mbak?"

Si pelayan mengangguk dan meraih kartu kredit Davi. "Mohon ditunggu."

Kemudian, si pelayan meninggalkan Davi yang tersenyum penuh kemenangan dan Luna yang memasang wajah jutek. Luna melipat tangan di depan dada melihat senyum penuh kemenangan Davi tersebut.

"Gue transfer entar. Nyicil, tapi." Luna berujar tajam.

Davi menggeleng. "Udah. Kalo gak mampu, gak usah. Gue anggap gue sedang sedekah sama orang yang lebih membutuhkan."

Luna melotot. "Maksud lo, gue fakir miskin gitu?!"

"Lo emosian banget, sih, jadi cewek. Gak gitu juga kali. Tapi karena lo maksa, oke. Gue mau lo bayar hutang dengan cara lain. Gimana?" Davi menaikan satu alis.

Luna menghela napas pasrah. "Apaan?"

Senyuman Davi mengembang, tapi bukan senyuman manis yang biasa buat cewek klepek-klepek. Senyuman kali ini lebih terkesan menyeramkan dan menantang. Kalau boleh, Luna ingin menonjok muka tampan Davi yang tersenyum seperti itu.

"Stand by. Kalo gue telepon, harus diangkat. Pokoknya, lo stand by aja nunggu panggilan gue."

"Lo pikir gue cewek panggilan?!"

Davi mengangguk santai. "Iya, cewek panggilan. Tapi khusus buat gue doang dan please, jangan naksir gue. Entar berabe sama Wisnu. Walaupun, lo udah dibuang, bukan berarti lo bisa naksir sama temannya Wisnu."

"Siapa yang mau naksir sama lo, Jangkung?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top