11 - Move On

"Katanya lo mau nyelidikin Wisnu, tapi lo malah nyari cowok baru selama tiga hari di apartment mewah itu."

Luna hampir menyemburkan jus alpukat yang dia minum mendengar ucapan Siska yang baru saja datang menghampirinya di kantin. Luna selesai kelas lebih dahulu dari ketiga temannya dan dia bahkan sudah menghabiskan nasi goreng pesanannya saat Siska dan Ayu datang bersamaan.

Siska dan Ayu menarik kursi, mengapit Luna yang menatap keduanya dengan mata memicing. "Nyari cowok baru apa? Gue benar-benar selidikin Wisnu di sana. Lo pada gak tahu, kan, seberapa banyak masalah yang gue harus hadapin karena si Wisnu?"

Siska mengerucutkan bibir. "Tapi ujung-ujungnya, lo tetap dapet cowok baru yang kayaknya lebih tajir dari Wisnu. Cepet banget lo move on-nya, Lun."

Luna menatap kedua sahabatnya itu dengan heran. "Apaan, sih? Gue gak paham. Cowok baru dari mana? Perasaan gue gak deket sama cowok manapun. Ya, kali, secepat itu gue ngelupain Wisnu dan berpaling ke cowok lain saat alasan gue sama Wisnu putus aja masih gue cari tahu sendiri."

"Nyokap lo yang bilang."

Mata Luna memicing ketika Ayu memperlihatkan percakapan singkat dia dan sebuah kontak yang dinamainya Mama Luna. Luna membaca perlahan sebelum melotot mendapati satu pesan yang membuatnya terkejut setengah mati.

Isi pesannya adalah: Luna udah move on, Yu. Alhamdulillah. Semalam tante lihat dia pulang dini hari diantar sama cowok pake mobil sedan masih kinclong gitu.

Luna berdecak. Bisa-bisanya ibu kandung Luna sendiri menjadikan anaknya sebagai bahan gosip dan ini bukan kali pertama.

Ibunya Luna itu termasuk ibu-ibu gaul yang punya lebih banyak akun sosial media daripada Luna sendiri. Bahkan hampir tiap hari selalu ada update-an dari sang Ibu di akun sosialnya dan sejujurnya, Luna capek menasehati sang Ibu untuk ingat umur dan berhenti dengan kegiatannya di sosial media, tapi Luna selalu kalah telak dengan argumen sang Ibu.

Intinya, Luna tak bisa melawan kehendak mutlak sang Ibu dan Luna tak punya hak untuk berkomentar. Titik.

"Eh, kok, bengong? Jadi, bener lo kemarin pulang dini hari sama cowok baru lo?" Ayu mencoba mengklarifikasi semuanya kepada Luna langsung.

Luna menghela napas. "Lo tahu sendiri nyokap gue gimana, Yu. Lo tahu sendiri seberapa sering dia jadiin anaknya sendiri sebagai bahan gosip sama tetangga-tetangga sekitar."

Ayu mengangguk, begitupun Siska sambil menunggu Luna melanjutkan penjelasannya.

"Gue emang balik dini hari gara-gara patah hati dan keterusan jalan sampai lo tahu depan rumah sakit Budi Asih, kan?" Lagi, Ayu dan Siska mengangguk menjawab pertanyaan Luna.

Luna melanjutkan, "Nah, kebetulan itu udah malam banget dan gue ketemu temennya Wisnu. Dia berbaik hati mau nganter gue balik, ya, mana mungkin gue tolak. Udah malem dan gue takut naik angkot kalo penumpangnya gue doang."

"Jadi, maksudnya lo pedekate sama temennya Wisnu sekarang? Ya, Tuhan, Lun. Lo nyari gara-gara namanya!"

Komentar Siska tiba-tiba membuat Luna ingin menjedotkan kepala ke meja saat ini juga. Ayu juga ingin melakukan hal yang sama dengan Luna.

"Maksud lo, temennya Wisnu yang tinggal bareng Wisnu dan sebagainya?" tanya Ayu yang membuat Luna mengangguk dan lebih memilih mengabaikan Siska.

"Iya. Temen dekatnya Wisnu. Dekat banget mereka, tapi dia juga gak tahu Wisnu pergi ke mana. Katanya, Wisnu udah gak tinggal bareng dia lagi. Udah gitu."

Ayu mengangguk-anggukkan kepala, paham ketika Siska masih mencoba menahami cerita Luna sebelumnya. Memang Siska butuh waktu ekstra untuk dapat memahami segala sesuatu, tapi terkadang mulutnya tak sabar berkomentar sebelum dia berhasil memahami sesuatu tersebut.

☢☢☢

Davino Alaric Syahm tengah menguap sambil membaca naskah di bawah pohon besar di lokasi syuting ketika tiba-tiba Adriana menghampirinya sambil membawa naskah miliknya beserta sebuah kotak makanan.

Davi sempat mendongak sekilas mendapati kehadiran Adriana, tapi terlewat sebentar dan cowok itu memilih fokus membaca naskah yang harus dihafalnya. Adriana mencoba menahan kekesalan. Baru kali ini dia ditolak mentah-mentah cowok yang harusnya merasa bangga mendapat perhatian khusus dari seorang Adriana Maharani.

"Lo masih mau deketin gue dan nyogok gue pake kotak makanan itu?"

Adriana tersentak mendengar suara Davi, cowok itu masih menatap fokus naskahnya sebelum kembali mendongak menatap Adriana yang berdiri di hadapannya. Adriana menahan napas saat Davi bangkit berdiri dan mendekatinya. Adriana baru sadar seberapa tinggi Davi dan hari ini, dia tidak mengenakan high heels yang membuatnya terlihat sangat pendek bersanding dengan Davi.

"Gue udah tahu tentang hobi aneh lo buat menangin hati cowok-cowok yang jadi lawan main lo dan dapetin uang hasil taruhan karena hal itu."

"Hah?" Adriana cukup bingung dengan ucapan Davi. Bagaimana cowok itu dapat mengetahuinya?

Davi mengedikkan bahu. "Just for your information, Adriana. Gue gak kayak lawan main lo yang lain. Kalo lo mau jebak gue supaya lo menang taruhan dan dapetin uang yang lo mau maka, lo udah nargetin seseorang yang salah. Dari awal ngeliat lo, gue gak punya ketertarikan sama lo. Sama sekali gak tertarik."

Oke. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Adriana saat ini. Rasanya campur aduk. Antara ingin marah, tapi juga malu untuk tak mengakui semua yang diucapkan Davi benar.

"Davi, aku..."

"Let's be professional. Berhenti dengan obsesi gila lo buat dibilang cewek paling cantik yang bisa naklukin hati banyak cowok. Berhenti dengan obsesi berlebih lo tentang uang. Gue tahu hidup lo sangat berkecukupan jadi, apa lagi yang lo harap dari uang?"

Setelah itu, Davi melangkah pergi meninggalkan Adriana yang benar-benar membeku atas ucapan Davi tersebut.

Tenang saja. Adriana bukan lawan main Davi pertama yang mendapat penolakan sebelum sempat memulai semuanya.

☢☢☢

Napas Luna memburu dan sangat terdengar tak beraturan ketika cewek itu terbangun dari tidur lelapnya, tepat di pukul dua dini hari. Luna bangkit dari posisi berbaringnya, menyandarkan punggung pada sandaran ranjang sambil menyisir rambutnya ke belakang.

Iya, Nu. Aku tahu kita emang udah berakhir, tapi, gak usah datang ke mimpi aku dan kasih senyuman manis kayak gitu terus. Kalo kamu sayang aku, mending kamu benar-benar pergi dari otak aku daripada harus muncul dan buat aku nangis lagi.

Baru saja cewek itu berkata dalam hati, air mata sudah terlanjur jatuh membasahi pipinya. Ini sudah hampir tiga hari berturut-turut Luna memimpikan Wisnu yang tak mengatakan apapun, tapi hanya tersenyum manis kepadanya. Senyum sangat manis yang membuat Luna cemas seketika.

"Kamu di mana, sih, Nu? Kalo masih mau pertahanin hubungan kita bilang karena aku juga mau bertahan."

Luna menggigit bibir bawah seraya menekuk lutut dan menyembunyikan wajah di lekukan lutut tersebut sambil terus menangis menangisi cowok yang pergi tanpa alasan yang jelas itu.

☢☢☢

Lo mau, kan, pastiin kalo dia baik-baik aja selama gue gak ada di sisinya?

Davi memejamkan mata ketika suara itu muncul lagi dalam pikirannya dan ini sudah dua hari berlalu sejak Davi bermimpi bertemu dengan Wisnu di sebuah tempat. Dalam mimpi itu, Wisnu mengenakan pakaian serba putih dan terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya.

Davi tak mengingat apapun lagi tentang mimpi itu kecuali penampilan Wisnu dan kalimat terakhir yang cowok itu ucapkan sebelum akhirnya, Davi terbangun dari mimpinya dan langsung bergegas ke rumah sakit untuk mendapati tak ada perubahan berarti pada kondisi Wisnu.

Bukannya bertambah baik, saat itu Davi malah bertemu dengan dokter yang berkata jika dalam beberapa minggu lagi Wisnu belum sadarkan diri, dokter akan menyerah untuk menanganinya.

Dalam kata lain, Davi akan benar-benar kehilangan Wisnu dan Davi belum siap menghadapi semua itu.

Lo mau, kan, pastiin kalo dia baik-baik aja selama gue gak ada di sisinya?

Suara itu seakan kembali bersuara dalam benak Davi, membuat aktor tampan itu berdecak kesal. Bagaimana dia tak berdecak kesal? Sungguh, demi apapun, jika dia yang Wisnu maksud bukanlah seorang Laluna Emalia Putri maka, Davi akan bersungguh-sungguh melaksanakan amanat tidak langsung dari Wisnu tersebut.

Tapi dia yang Wisnu amanatkan adalah Luna, cewek aneh dan abstrak yang di awal pertemuan saja sudah membuat Davi sakit kepala dan sesak napas ketika cewek itu mencekiknya di hadapan banyak orang dan juga berteriak sangat kencang di depan wajahnya.

Lagipula, apa yang harus Davi lakukan untuk memastikan cewek itu baik-baik saja? Cewek itu terlihat kuat dan dia pasti akan baik-baik saja tanpa perlu Davi bersikeras untuk memastikan semua itu.

"Mas Davi."

Panggilan itu membuat Davi menoleh. Supir pribadinya berdiri di dekat Davi sambil sedikit menundukkan kepala. "Maaf, Mas. Ibu telepon. Katanya mau bicara penting sama Mas Davi." Sang supir menyodorkan ponselnya kepada Davi.

Davi menghela napas dan meraih ponsel itu, mendekatkannya ke telinga sebelum mulai berkata, "Halo?"

"Davino Alaric Syahm! Akhirnya, kamu angkat panggilan dari Mama."

"Saya tutup panggilannya kalo gak ada hal penting yang ingin Anda sampaikan." Davi berujar dingin seraya menyesap Americano hangat yang tersaji di atas mejanya.

Ah, bukan rahasia lagi jika hubungan Davi dan keluarganya memang buruk, terlebih lagi dengan sang Ibu yang diketahui berselingkuh dan sekarang, berstatus sebagai istri dari mantan selingkuhannya tersebut. Ayah Davi sibuk dengan bisnis serta pekerjaannya sebagai PNS dan tak punya waktu untuk mencari pengganti Ibu Davi dan Davi tak peduli akan hal itu. Ditambah lagi, Ayah Davi sudah menunjuk kakak Davi yang jauh lebih baik dari Davi dalam hal apapun, sebagai pewaris sah perusahaannya. Davi tak akan mendapatkan warisan apa-apa dari sang ayah yang jelas-jelas sangat membencinya. Sekarang, ayahnya terlibat kasus korupsi yang membuatnya harus mendekam di penjara selama beberapa tahun ke depan. Davi tak peduli.

"Gimana kondisi Wisnu? Dia sudah baikan, kan?"

Davi menggeram. "Kenapa Anda bertanya sesuatu yang Anda sudah ketahui sendiri jawabannya? Jangan Anda pikir saya gak tahu kalo Anda punya mata-mata di rumah sakit untuk melaporkan kondisi terakhir Wisnu kepada Anda."

"Davino, kamu tahu biar bagaimanapun, Wisnu juga anak Mama dan apapun yang terjadi padanya, itu juga tanggungjawab Mama."

Davi tersenyum mengejek. "Ya, itu sebelum Anda pergi dengan selingkuhan Anda dan meninggalkan saya dan Wisnu di neraka yang mereka sebut rumah."

Tepatnya, perselingkuhan Ibu Davi terbongkar ketika Davi berusia 17 tahun dan tengah gencar belajar untuk menghadapi ujian nasional. Setelah perselingkuhan terbongkar, Ibu Davi mengajukan cerai dan akhirnya, keluarga yang selalu Davi kira harmonis itu hancur lebur seketika.

Tak lama, Ibunya pergi dari rumah dan meninggalkan Davi di rumah bersama ayahnya, kakak kandung Davi, Lutfi Ataric Syahm dan juga Wisnu yang memang saat itu sudah diangkat menjadi anak keluarga Syahm. Semuanya Davi kira akan berjalan normal, tapi setelah perceraian itu, sifat asli sang ayah ke luar dan Davi bersumpah, dia tak mau melihat wajah sang ayah lagi sejak saat itu.

Suatu malam, ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan dia tak bisa mengendalikan diri untuk berhenti menyumpah serapah kepada ketiga anaknya: Lutfi, Davi dan Wisnu. Itu juga malam pertama dari malam-malam buruk lain di mana sang ayah pulang dalam keadaan yang sama dan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih parah ketika dia memukuli Wisnu habis-habisan di depan Davi dan Lutfi yang tak bisa berkutik menolong Wisnu.

Puncaknya adalah saat Davi lulus SMA dan dia tak sengaja mendengar percakapan sang ayah via telepon yang mengatakan jika dia sudah muak memiliki terlalu banyak anak dan menghabiskan uang berharganya untuk tiga orang anak yang menurutnya tak berguna.

Tepat setelah itu, Davi mengajak kakak-kakaknya untuk ke luar dari rumah, memberi pelajar kepada sang ayah, tapi Lutfi menolak untuk ikut bersama Davi sedangkan, Wisnu menurut untuk ikut. Davi mengeluarkan semua uang tabungan untuk dapat bertahan hidup, begitupun Wisnu. Yang membuat Davi tambah kecewa dan marah adalah fakta jika sang ayah bahkan tak pernah mencoba sekalipun untuk mencari Davi dan Wisnu, meminta kedua anaknya itu kembali pulang. Seperti dia memang senang jika Davi dan Wisnu pergi dari rumah.

Jadi, jangan heran jika Davi dan Wisnu benar-benar dekat layaknya saudara kandung, melebihi kedekatan Davi dan Lutfi. Wisnu yang selalu ada di dekat Davi ketika Davi berada di posisi terbawah atau teratas. Mereka membutuhkan satu sama lain. Mereka beketergantungan terhadap satu sama lain.

"Mama tahu, Davino, dan Mama sadar, sikap kamu ke Mama saat ini adalah hukuman dari Tuhan atas apa yang sudah Mama lakukan dulu." Davi dapat mendengar sang Ibu yang sedikit terisak dan jujur, Davi merasa sakit mendengar tangisan Ibunya tersebut, "Tapi semua orang berhak mendapat kesempatan kedua. Begitupun Mama dan Mama akan terus meminta kesempatan kedua itu dari kamu dan Wisnu, terlebih lagi kamu, Davi, anak kandung Mama."

"Udah, oke? Saya mau lanjut syuting."

Kemudian, tanpa menunggu persetujuan, Davi sudah mengakhiri panggilan dan menyodorkan kembali ponsel sang supir kepada pemiliknya. Davi meraih cangkir Americano dan kembali menyesapnya, kali ini lebih cepat dari biasanya, seakan mengabaikan panasnya kopi.

Davi baru bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi meninggalkan kafe itu ketika matanya menangkap sosok yang entah kenapa akhir-akhir ini sangat sering muncul di hadapannya. Tapi kali ini dia tidak sendiri. Bersama dengan seorang cowok yang membuat mata Davi memicing seketika.

Cewek lo cepet banget move on-nya, Nu. Lo yakin dia yang terbaik?

Senyuman mengejek muncul di bibir Davi sebelum benar-benar melangkah meninggalkan kafe tersebut diiringi dengan tatapan-tatapan kagum kaum Hawa yang sedari tadi tertuju padanya, tapi tak ada yang berani mendekat mengingat banyaknya bodyguard yang menemani Davi hanya untuk meminum kopi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top