10 - Cokelat

"Cut! Good job, Davi, Adri!"

Davi menghela napas lega ketika syuting hari ini selesai, tepat pukul sebelas malam dari pukul sepuluh pagi. Davi langsung melangkah hendak menghampiri Atika yang biasa menunggu di dekat sutradara, tapi langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menahan lengannya.

Davi menoleh dan Adriana Maharani menatapnya tajam. Tangan Davi dengan santai menepis lembut tangan Adriana yang memegang lengannya.

"Kenapa?"

"Kamu kenapa, sih?"

Satu alis Davi terangkat mendengar pertanyaan yang ke luar dari mulut lawan mainnya itu. Adriana mengerucutkan bibir, kakinya menyentak tanah. Dia terlihat sangat gelisah.

"Lah, kok, lo yang nanya? Harusnya gue yang nanya, lo kenapa? Ngapain nahan-nahan gue buat balik? Syutingnya udah kelar."

Tangan Adriana mengepal gemas, matanya melotot ketika mulutnya dibuat menggembung. Davi tambah heran dibuatnya.

"Lo sehat?" Davi menggerakkan tangannya, menyentuh dahi Adriana yang memutar bola matanya. "Gak panas. Berarti lo gak sakit. Ya, udah. Sana balik. Gue juga mau balik." Davi menarik tangannya dari lengan Adriana.

Cowok itu sempat melambaikan tangan sebelum melangkah meninggalkan lokasi syuting, bersama sang manajer yang sedari tadi setia menemani.

"Adriana!"

Adriana menoleh dengan wajah kesalnya ke manajer yang tiba-tiba datang, membawa sebotol air mineral kepada aktrisnya. Sang manajer menghela napas, paham akan maksud raut kesal Adriana tersebut.

"Ada gosip dia gay. Percuma aja kamu berusaha keras. Selama ini, hampir semua aktris cantik yang ngaku suka sama dia ditolak mentah-mentah."

Adriana mendesah gelisah. "Hah, terus gimana, dong? Aku udah taruhan lima belas juta kalo aku bisa naklukin cowok itu. Susah banget ternyata."

Sang manajer menggelengkan kepala. "Adri, kamu tahu, kan, selalu ada balasan atas segala sesuatu? Begitupun dengan hobi aneh kamu tentang taruhan mendapatkan cowok. Kamu harus lebih berhati-hati akan hal itu."

Adriana merajuk seperti anak kecil. "Terus gimana? Aku udah pasang lima belas juta. Total yang aku bakal dapat kalo aku menang itu sekitar lima puluh juta lebih. Waktu aku tinggal tiga hari sampai syuting selesai."

Manajer Adriana tak tahu harus berkomentar apa. Capek juga memberitahu, tapi tak didengar. Setidaknya, Davino bukan cowok pertama yang menjadi bahan taruhan Adriana dan manajer Adriana bersyukur, Davi bukan cowok yang mudah jatuh cinta.

☢☢☢

Davi menghela napas menyadari keberadaan seseorang di lantai tempatnya tinggal. Cowok itu melangkah ke luar elevator dan diam sejenak, memperhatikan cewek yang masih kekeuh menyamar menjadi room service dan saat ini tengah kelelahan menyandar pada dinding.

Luna menyeka keringat di dahi dan baru ingin melanjutkan pencariannya saat dia merasakan kehadiran seseorang. Cewek itu menyeringai lebar melihat Davi yang berdiri di depan elevator. Mau tak mau, Davi melangkah menghampirinya, sambil membawa satu cup Americano di tangan kanannya.

"Lo tinggal di lantai ini, ternyata. Pantes baru ketemu sekarang. Lantai paling tinggi, euy."

"Bukannya gue udah bilang? Wisnu gak lagi tinggal di sini. Mau sampai lebaran monyet lo cari dia di sini, gak bakal ketemu." Davi menjawab santai, melangkah hingga berhenti di depan pintu kamarnya. Kamar nomor 2313.

Sambil mengeluarkan kartunya dari saku, Davi menoleh ke arah Luna yang jelas-jelas ingin mengobati rasa penasarannya akan keberadaan Wisnu. "Mau cek? Gue kasih lihat. Lima menit dan lebih dari itu, gue panggil petugas keamanan buat ngusir lo."

Senyuman Luna melebar dan baru Davi membuka pintu, cewek itu sudah melangkah mendahuluinya memasuki apartment. Davi bergedik tak percaya, menggeleng-gelengkan kepala akan sikap cewek itu. Davi mendengus. "Lo seriusan pacaran sama cewek gak punya etika, Nu?" Davi bertanya pelan sebelum menyusul Luna memasuki apartment-nya sendiri.

Davi melotot ketika melihat Luna memegang asal koleksi mobil-mobilannya—well, dari kecil, Davi memang mengoleksi replika mobil-mobil mewah yang ada di dunia. Koleksinya itu sudah mencapai ratusan, tapi yang ada di apartment ini hanya ada lima belas, termasuk replika mobil Lamborghini terbaru yang Davi susah-susah dapatkan dari teman SMA-nya yang sekarang bekerja untuk Lamborghini.

"Eh, jangan pegang sembarangan!"

Buru-buru, Davi meraih replika mobil—yang bahkan sangat jarang Davi sentuh—dari tangan Luna. Davi mengelap permukaan replika mobil itu dengan kaus Gucci-nya, membuat Luna menatap cowok itu heran.

"Cakep-cakep gila. Mobil-mobilan kayak gitu doang disayang sampai kayak gitu."

Sindiran Luna membuat Davi mengangkat kepala dan menatap cewek itu sinis. "Karena replika ini hanya ada beberapa di dunia dan lo gak akan tahu gimana rasanya menjadi kolektor replika mobil yang benar-benar original. Ini bukan mainan dan jangan sembarangan sentuh barang-barang di sini!"

Luna menghela napas. "Kayaknya, Wisnu gak ada di sini. Tapi ada perlengkapan games-nya. Plis, lo jangan bohongin gue. Wisnu itu ke mana, sih?"

Davi menggeleng santai seraya meletakkan replika Lamborghini-nya dengan sangat perlahan di rak kayu yang ada di ruang tamu. "Duh, kayaknya harus beli rak kaca, nih, biar gak ada yang sembarangan sentuh koleksi gue dengan tangan kotor dan tercemarnya."

Mata Luna memicing. "Najis. Lo peduliin banget mainan sialan itu. Pantes, lo dikira gay. Mana mungkin lo berani deketin cewek saat hobi lo aja masih kayak anak kecil, main mobil-mobilan."

Davi menghela napas. "Lo itu cewek. Diajarin sopan santun gak, sih?" Davi melangkah mendekati Luna hingga jarak antara mereka menipis.

Seringai muncul di bibir Davi menyadari perubahan raut wajah cewek itu, yang semula keras menjadi memerah hanya karena Davi mempersempit jarak mereka. Luna tak bisa bergerak mengingat punggungnya sudah menabrak dinding di belakangnya.

"Pertama, lo teriak manggil nama gue di depan publik. Kedua, lo cekek gue di depan pablik sambil teriak tepat di depan muka gue. Ketiga, kemarin lo muncul lagi dan sengaja, kan, lo, mau pura-pura pingsan setelah gue nemuin lo di tangga biar CCTV bisa ngerekam dan ngasih tahu gue orang terakhir yang nemuin lo?!" Davi menunjuk wajah Luna.

Wajah Luna yang semula memerah tergantikan oleh ekspresi datarnya seketika. Luna mendorong dada Davi agar menjauh darinya.

"Jangan mentang-mentang lo aktor, pikiran lo jadi sangat dramatis." Luna memutar bola matanya sebelum menatap Davi galak, "GUE GAK SEKEJAM ITU SAMPAI NUDUH LO SEBAGAI PEMBUNUH GUE!"

Davi menutup telinga dan mata ketika Luna berteriak. Luna masih menatap cowok di hadapannya dengan tajam, dia mencoba mengatur pernapasan. Luna berusaha keras mengatur emosinya juga.

"Lo sama Wisnu sama aja. Sama-sama bikin gue emosi karena hal yang sangat sepele." Luna memejamkan mata sekilas sebelum membukanya sambil berkata, "Tolong bilang Wisnu. Jangan jadi pengecut dan mutusin cewek lewat SMS. Kalo bisa, mutusin secara langsung dan kasih penjelasan kenapa."

Luna memberi Davi tatapan tajam sekali lagi sebelum melangkah ke luar dari apartment Davi begitu saja. Davi memejamkan mata dan menghela napas. Tidak, dia tak merasa bersalah sedikit pun. Hanya saja, Davi masih tak mengerti kenapa Wisnu mau menjalin hubungan dengan cewek seperti Luna?

☢☢☢

"Lo tahu sendiri, Nu. Gue selalu gak bisa berhadapan dengan yang namanya cewek dan cewek lo itu spesies langka. Gue bingung gimana harus ngehadapin dia."

Silahkan panggil Davi 'gila', tapi yang jelas ini bukan kali pertama dia mengobrol pada tubuh kaku Wisnu di ranjang, seperti Wisnu akan mendengar dan meresponnya dengan baik. Menurut dokter, belum ada kemajuan berarti pada Wisnu. Dia mengalami banyak luka dan kebanyakan luka itu adalah luka dalam yang perlu waktu berlebih untuk dapat sembuh.

Tapi Davi yakin, Wisnu pasti akan sadar dan kembali normal, menjadi satu-satunya orang yang dapat memahami Davi luar dalam.

Davi menghela napas dan menatap lurus ke satu arah, dia duduk di kursi yang berada di dekat ranjang Wisnu. Hampir tiap malam Davi berkunjung, di atas pukul 11 sehingga, tak banyak orang yang mengenali dan akan mengganggu privasinya.

"Gue gak punya siapa-siapa lagi, Nu. Gue cuma punya lo. Jadi, gue mohon sama lo, cepet sadar. Jangan tidur kelamaan. Nanti lo ketinggalan series terbaru games kesukaan lo. Mau emang?"

Setelah berbincang-bincang atau lebih tepatnya bermonolog, Davi melangkah meninggalkan rumah sakit yang masih sedikit ramai. Tentu saja, mana mungkin rumah sakit sepi? Tapi kadar keramaian malam ini, tepat pukul 23.10 malam benar-benar menyenangkan untuk Davi, dia bisa lebih leluasa.

Sebelum kembali ke apartment, cowok yang mengenakan jaket hoodie merah dan masker itu terlebih dahulu berjalan di sepanjang tepi jalan raya rumah sakit, menuju ke kafe yang berada sekitar tujuh ratus meter dari gedung rumah sakit tempat Wisnu berada. Tujuh ratus meter jelas bukan hambatan untuk Davi. Dulu, nilai atletiknya terlebih lagi lari pasti selalu mendapat nilai yang memuaskan.

Dalam perjalanan, sosok seseorang membuat Davi memperlambat laju langkah kakinya hanya untuk dapat melihat sosok itu lebih jelas. Davi menghela napas, memastikan dia tak sedang salah lihat sebelum memutuskan untuk melangkah mengikuti langkah kaki sosok tersebut yang nyatanya memasuki sebuah mini market.

Davi menggeleng-gelengkan kepala. Itu cewek ngapain malam-malam ke mini market? Mana mini market-nya jauh lagi dari rumahnya yang kayaknya masih di daerah Kramat Jati.

Tak ada yang akan memahami apa yang Luna rasakan saat ini. Patah hati, jelas saja dan bahkan patah hati sampai membuat otak cewek itu sedikit terganggu. Seperti sekarang.

Setelah check out dari apartment hanya untuk menyelidiki Wisnu dan hasilnya nihil, Luna memutuskan untuk menyerah dan faktanya, menyerah tidak semudah yang cewek itu kira karena malam ini Wisnu masih menghantui pikirannya.

Bahkan Luna baru sadar jika dia seperti orang tersesat yang terus berjalan sepanjang trotoar ketika haus melanda dirinya. Jika dihitung-hitung, dari rumah menuju ke trotoar depan rumah sakit ini, jaraknya bisa mencapai lima kilometer dan Luna benar-benar tak sadar telah menempuh jalan sejauh itu.

Luna memasuki mini market yang dilihatnya untuk membeli minum. Dia tak sadar dia sudah melangkah sejauh itu dan tenggorokannya mengering. Luna melangkah menuju ke lemari es tempat di mana minuman-minuman berada, meraih salah satu jenis minuman dan langsung membuka tutup botol untuk meneguknya hingga benar-benar habis. Setelah itu dia bernapas lega dan membawa botol ke kasir untuk dapat dibayar.

"Enam ribu lima ratus rupiah."

Sang kasir menyebutkan nominal yang harus Luna bayar dan Luna merogoh saku celana training yang dia kenakan, mencari uang di sana, tapi tak ada hasilnya. Wajah Luna panik seketika. Dia sudah menghabiskan minuman itu jadi, mana mungkin dia mengembalikan botol yang kosong ke lemari es sehingga, dia tak usah membayar. Luna tak tahu jika dia tak membawa uang sedikitpun dan di kasir sudah paham akan gerak-gerik Luna.

"Ada uangnya gak, Mbak?" Tanya si kasir, sedikit pelan.

Luna menatap kasir itu dengan wajah pucat pasi. "Bentar, Mbak. Saya cek lagi." Luna terus meraba saku celana, bahkan meraba tiap lekuk tubuhnya hanya untuk mencari uang yang terselip, tapi tak ada hasilnya.

"Sekalian aja, Mbak."

Luna tercekat mendengar suara tersebut. Cewek itu menoleh dan mendapati seorang cowok mengenakan tudung yang menutupi wajahnya dan juga masker, tengah menyodorkan belanjaannya berupa sebotol air mineral dan beberapa snack ringan, termasuk cokelat, kepada kasir. Tak lama, dia mengeluarkan dompet dari saku celana dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan.

Ketika kasir tengah menghitung nominal belanjaannya, cowok itu menoleh dan Luna jelas mengenal pemilik mata dingin seperti elang tersebut. Luna mengerucutkan bibir.

"Kenapa ketemu lo lagi, sih? Gue pikir, tadi udah perpisahan."

"Sama-sama, Bawel."

Di saat bersamaan, kasir selesai menghitung dan menyodorkan belanjaan cowok itu kepadanya, disertai uang kembalian dan ucapan terima kasih. Si cowok melangkah ke luar dari mini market, Luna mengikutinya.

Cowok itu adalah Davi.

"Eh, lo ngapain di sini? Jangan bilang lo buntutin gue!" Luna berujar keras.

Davi memutar bola matanya. "Siapa yang buntutin siapa sekarang?"

Pertanyaan Davi membuat Luna menghentikan langkahnya dengan cepat sambil menggeram kesal.

"Gak lo, gak Wisnu! Semua cowok sama aja! Nyebelin!"

Davi menghentikan langkah kakinya dan memutar tubuh. Luna menahan napas ketika Davi melangkah mendekatinya. Sesampainya di hadapan Luna, Davi merogoh kantung plastik belanjaannya sebelum menyodorkan sesuatu kepada Luna. Sebuah cokelat dan Luna meraihnya begitu saja.

"Katanya, cokelat itu bawa kebahagiaan. Gue tadinya mau makan itu soalnya, gue ketemu lo terus. Tapi mengingat lo baru aja diputusin Wisnu, kayaknya cokelatnya lebih cocok buat lo."

Luna memicingkan matanya menatap Davi. "Maksud lo apa? Gue sedih gitu gara-gara diputusin Wisnu? Hel-lo! Yang ada di Wisnu yang bakal nangis guling-gulingan di lantai gara-gara nyesel mutusin gue!" Luna bahkan tak sadar jika di saat bersamaan, tangannya membuka pembungkus cokelat dan menyuapi mulutnya dengan cokelat pemberian Davi.

Davi tersenyum simpul, tapi cukup kentara di balik masker. "Gue mau balik ke apartment. Lo mau gue anter sampai depan gang kecil rumah lo atau mau gue kasih ongkos buat naik angkot? Kasian gue kalo ada yang punya niat buruk ke lo. Gue kasian sama merekanya karena harus kecewa kalo harus nyulik atau ngapa-ngapain lo."

Jika tidak ingat cowok di hadapannya ini sudah membayar minuman yang Luna ambil serta memberikan cokelat kepada Luna, Luna dengan senang hati akan melempar botol minuman kosong di tangannya tepat ke kepala Davi yang tertutupi tudung jaket. Tapi Luna juga tahu diri. Ditambah lagi, cowok itu punya banyak penggemar yang mungkin siap menerkam Luna kapanpun dan di manapun jika Luna ketahuan bersikap kurang ajar pada sang aktor idola ini.

"Gue nebeng lo, deh. Entar gue ganti duit minuman, cokelat sama gue kasih duit bensin sebagai tanda terima kasih."

Mata Davi memicing. "Duit bensin? Lo pikir gue supir?"

Luna mengernyit heran. "Lah, lo gimana, sih? Gue mau ganti rugi atas semuanya, ekspresi lo malah kayak gitu. Jadi, lo pengennya gue ngapain, Jangkung?" Luna berusaha bersabar ketika menanyakan hal itu.

"Lo panggil gue apa?"

"Jangkung. Anggap aja impas. Gue gak keberatan lo panggil bawel dan lo juga harusnya gak keberatan gue panggil Jangkung karena tinggi lo yang gak kira-kira."

Davi memutar bola matanya dan berbalik, melangkah mendahului Luna menuju ke halaman parkir rumah sakit, tempatnya memarkirkan mobil. Luna buru-buru mengikuti langkah kaki cowok itu. Luna tak mengerti apa alasan Davi berada di sini, memarkirkan mobil di area rumah sakit, tapi sepertinya akan lebih baik jika Luna diam. Jangan memancing emosi Davi atau cowok itu benar-benar akan meninggalkan Luna sendirian, berjalan kembali ke rumahnya yang cukup jauh bila diingatnya sekarang.

----
I am way too excited to write this one. So, mungkin bakal update tiap hari kalo sempet. Maaf kalo gak sesuai harapan.
Thanks masih mau baca😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top