8. Dua Pemuda Misterius
"Kalian sudah pulang?" sapa Bibi Paulina yang menyambut kedatangan Dahayu, Ryo dan Mayang di ambang pintu.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 10 malam. Kali ini sang bibi tak menunjukkan kemarahan sama sekali seperti biasanya. Dia bahkan menyilakan Ryo untuk mampir meski hanya berbasa-basi. Namun, pemuda itu menolak dan memilih pulang dengan wajah tertunduk lesu.
Dahayu mengiringi kepergian pemuda yang tinggal di sebelah rumahnya itu dengan ekor mata. Ia mengerti, Ryo pasti masih berpikir tentang peristiwa yang mereka alami di mal barusan dan kedua pemuda misterius yang mengikuti mereka.
Sesuatu yang sangat janggal pun sebenarnya sedang menggelayuti pikiran gadis itu. Ia terus memikirkan bagaimana cara dompetnya bisa ada di tangan si pemuda misterius, padahal Dahayu sangat yakin jika ia sama sekali tidak pernah menjatuhkan dompetnya.
"Kalian nggak makan dulu?" tanya Bibi Paulina sementara kedua tangan gemuknya telah sibuk membongkar kantong-kantong belanjaan yang dibawa Mayang. Ia bahkan tak menoleh lagi pada Dahayu maupun Mayang.
"Kami udah makan tadi di mal, Ma," sahut Mayang cepat. Tak jauh beda dengan sang ibu, ia sendiri sedang sibuk mematut sepatu boot barunya. Tiba-tiba pandangannya beralih pada sang ibu. "Ma, besok berangkatnya jam berapa ke bandara? Jangan lupa oleh-oleh, ya!" ujarnya semringah.
Senyum Bibi Paulina mengembang saat mendengar ucapan putrinya. Sekilas ia mencubit lembut pipi Mayang lalu menyahutinya riang. "Tenang aja, Mayang. Kamu tinggal sebut kamu mau oleh-oleh apa, nanti Mama belikan. Kamu juga, Yu. Kasih tahu Bibi apa yang kamu inginkan sebagai oleh-oleh, ya?"
Dahayu tak pernah melihat Bibi Paulina seceria ini sebelumnya. Dalam ingatannya, perempuan sintal itu selalu merengut dan menghardik. Namun, senyum berlebihan itu belakangan selalu menghiasi wajah lebarnya. Sikap sang bibi pun sangat manis padanya, tidak seperti dulu.
Hati Dahayu terasa menghangat. Semua hal dalam hidupnya kini terasa sangat indah dan sempurna dan hal itu berkat keajaiban kitab sihir yang ia temukan. Kitab sihir yang menyimpan makhluk-makhluk ajaib yang membuat mimpinya jadi nyata. Kehidupan seperti inilah yang selalu ia harapkan sejak dulu.
"Yu?" Dahayu terkesiap. Ia melamun dan tak menyadari jika sedari tadi sang bibi mengajaknya berbicara.
"Maaf, Bi. Aku lelah," kilah Dahayu.
Mayang mengernyitkan kening. "Baru belanja ke mal aja kamu udah kecapean, Yu. Apalagi belanja ke luar negeri," seloroh gadis berponi yang kini sedang membongkar kantong belanjaannya yang lain. Gadis berkulit putih itu terkekeh. Matanya yang sipit membentuk lengkungan bulan sabit saat tertawa.
Bibi Paulina pun ikut tergelak. "Iya, nih. Enggak bakat banget kamu jadi orang kaya! Kamu harus sering-sering belanja, Yu. Kalau sudah terbiasa nanti waktu liburan bisa jalan-jalan ke luar negeri kayak paman dan bibi."
Kelakar bibi Paulina itu sontak disambut tawa kencang oleh Mayang. Namun entah mengapa, celotehan dua perempuan itu terdengar hambar di telinga Dahayu. Gadis itu hanya tersenyum kecut, sama sekali tak berminat menanggapi ucapan Bibi Paulina atau pun Mayang.
"Ya sudah, kamu istirahat aja, Yu. Oh iya, untuk keperluan kalian selama sebulan semuanya sudah ada di kulkas ya. Katering juga akan diantar pada malam hari. Selain itu, kalau kalian mau makan di luar silahkan saja ya," papar sang bibi di sela-sela kegiatannya memeriksa semua belanjaan Mayang.
"Iya, Bi. Selamat bersenang-senang ya di Eropa!" Dahayu menimpali sambil berlalu dari hadapan bibinya dan Mayang.
Gadis itu memasuki kamar lalu menutup pintu pelan. Tawa sang bibi dan Mayang terdengar samar di telinganya.
Senyum Dahayu mengembang saat netranya menangkap sosok bayangan diri pada cermin di kamarnya. Sosoknya boleh sama, hanya ketiadaan tanda lahir di kening yang membuatnya berbeda. Nasibnya sungguh berubah drastis. Kehidupannya di sekolah maupun di rumah terasa sangat menyenangkan. Tentu saja ia percaya bahwa hal-hal baik dan menguntungkan akan terus datang dalam hidupnya.
Netra gadis berambut gelap itu kemudian teralih pada sebuah kitab dengan cahaya ungu berpendar pada sampulnya yang tergeletak di atas nakas. Tangannya terulur meraih kitab itu lalu menimangnya mesra. Betapa ia sangat bahagia karena seluruh keinginannya di dunia ini nyaris dipenuhi oleh kitab di pelukannya. Ia berjanji akan menjaga kitab itu bahkan dengan nyawanya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dahayu merogoh tasnya untuk meraih benda pipih berbentuk persegi panjang yang tersembunyi di salah satu kantong tas. Jarinya menggeser lincah notifikasi pesan yang baru saja masuk. Pupil matanya melebar saat melihat deretan pesan singkat yang dikirim oleh Ryoichi.
Ryoichi: Kamu yakin dompetmu tadi memang tercecer?
Ternyata sahabatnya juga menyadari kejanggalan yang sama. Pikirannya kembali melayang pada peristiwa tadi. Dahayu yakin betul jika ia memang tidak menjatuhkan dompetnya. Entah bagaimana caranya salah satu pemuda itu mengakui telah mendapatkan dompetnya yang tercecer. Rasanya sungguh tak masuk akal. Harus ia akui jika memang ada yang aneh dengan kedua pemuda tadi.
Sebenarnya, Dahayu menyadari jika kedua pemuda itu memang telah mengikutinya sejak pertama kali mereka memasuki mal. Ia memilih untuk mengacuhkan saja lantaran tak mau membuat Ryo dan Mayang khawatir.
Entah mengapa kehadiran dua pemuda misterius itu membuat Dahayu berpikir tentang kitab sihir yang dimilikinya. Ia mengerling lagi pada kitab yang kini berada di pangkuan, lalu gadis itu bergegas membungkusnya dengan sehelai kain yang pertama kali ia temukan di dalam lemari. Setelah kitab itu terbungkus rapat, ia lalu menyimpannya di lemari diantara tumpukan pakaian lamanya yang agak sulit terjangkau.
Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Kau aman sekarang!
Tanpa ia sadari, sepasang mata merah yang bersembunyi di balik langit-langit kamar menyorotnya dengan awas. Makhluk itu menyeringai lebar saat Dahayu mengunci lemarinya lalu menyimpan anak kunci di dalam salah satu laci lemari.
* * *
Dahayu duduk di atas bangku kayu berlumut pada salah satu sudut taman SMA Matahari yang selalu sepi saat jam istirahat sekolah. Di pangkuannya terdapat sebuah kotak bekal berwarna biru kusam yang isinya nyaris tandas. Gadis itu menutup kotak bekalnya lalu termenung sesaat menatap kejauhan lapangan basket sekolah.
Manik obsidiannya menatap lurus sosok seorang remaja laki-laki dengan kaus olah raga ketat yang nyaris basah seluruhnya. Tanpa sadar pipi Dahayu bersemu merah. Bahkan dari kejauhan seperti ini, ia masih sangat mengenali sosok Rafael.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?" sapa sebuah suara. Seorang pemuda tahu-tahu telah duduk di sampingnya membuat gadis itu gelagapan. Semoga saja pemuda ini tidak tahu apa yang baru saja ia lihat.
Dahayu mengalihkan pandangan pada si pendatang. Netranya membulat sempurna kala mengenali pemuda yang berdiri di hadapannya. Raut wajah gadis itu seketika berubah gusar.
"Kau?" Dahayu menggeser duduknya saat pemuda yang awalnya berdiri di hadapannya kini telah duduk di sampingnya tanpa permisi.
"Ternyata kita satu sekolah ya," ucapnya seraya tersenyum memamerkan sepasang lesung di pipi, lalu mengulurkan tangan. "Aku Sadewa. Maaf ya kemarin kita belum sempat berkenalan. Aku baru di kota ini dan juga baru pindah ke SMA Matahari hari ini." Tawa renyah terdengar dari bibir tipisnya yang tersenyum.
Dahayu berpikir beberapa saat sebelum menyambut uluran tangan pemuda itu. "Dahayu," tuturnya pelan.
"Nama yang indah," sambut Sadewa. Mereka bersalaman sebentar, lalu dengan canggung saling menarik tangan masing-masing.
"Kenapa kamu menyendiri di sini?" tanya pemuda itu, setelah berpikir agak lama untuk membuka percakapan.
Gadis itu mengangkat kotak makan siangnya sedikit agar Sadewa dapat melihatnya. "Makan siang," sahutnya acuh.
Sadewa mengangguk. Pandangannya kini teralih pada sosok Rafael yang telah bermandikan keringat di kejauhan. Salah satu sudut bibir pemuda itu tertarik ke atas. "Kukira kau sedang menonton seseorang yang sedang berolahraga dari sini."
Dahayu merasakan sesuatu seolah menggumpal dan menyekat tenggorokannya hingga ia harus berdeham beberapa kali. Dalam hati ia mengumpat karena tebakan pemuda ini benar. Lagi-lagi pemuda misterius ini sukses membuatnya bertanya-tanya.
"Kau ... apa yang kau lakukan pada dompetku kemarin? Aku sama sekali tidak menjatuhkan dompetku. Bagaimana dompetku bisa ada di tanganmu? Kau pencopet ya?" tuding gadis itu gusar. Emosinya tersulut akibat tebakan jitu Sadewa.
Raut wajah semringah pemuda itu seketika menguap. Ia menggeleng cepat. "Ti-tidak. Aku tidak mencopet. Aku menemukannya tergeletak. Dan aku tahu itu dompetmu karena aku melihat sendiri kau menjatuhkannya," kilahnya berusaha untuk tetap tenang.
Wajah Dahayu mulai memerah. Sepasang mata gadis itu memicing penuh selidik. "Kau bohong, kan? Aku tahu persis. Aku tidak pernah menjatuhkan dompetku. Di mana kau menemukannya?"
Sadewa berpikir sejenak. "Di depan toko tas! Ya, benar di sana! Tidak salah lagi," sahutnya sedikit ragu.
Tentu saja pemuda itu ragu karena apa yang dikatakannya tidak benar. Dahayu bahkan tidak melewati tempat yang dimaksud remaja laki-laki di sampingnya itu. Dengan kesal, ia berdiri hendak beranjak dari tempatnya saat sosok Ryo tiba-tiba telah berjalan ke arahnya.
"Kau!" Suara Ryo sontak meninggi begitu melihat pemuda yang duduk di kursi taman bersama Dahayu.
"Hai!" Sadewa mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Ryo namun pemuda berkacamata yang baru saja datang itu segera menampik uluran tangan itu kasar.
"Kenapa lagi kamu mengikuti Dahayu sampai ke sekolah? Apa maumu, hah?" Tanpa basa-basi Ryo lantas menarik kerah seragam Sadewa, sementara pemuda itu sama sekali tak memberikan perlawanan.
"Ryo, Gak usah!" Dahayu panik. Gadis itu berusaha menarik lengan Ryo. Beberapa siswa mulai berdatangan memperhatikan mereka.
"Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengikuti temanmu. Aku murid pindahan," kilah Sadewa. Pemuda jangkung yang bahkan lebih tinggi dari Ryoichi itu terlihat enggan melawan, padahal dari segi postur dia bisa saja menang melawan Ryo. Sementara Ryo yang kalap enggan untuk melerai cengkeramannya.
Tiba-tiba seorang pemuda berlari cepat ke arah mereka. Pemuda yang sedikit lebih rendah beberapa centimeter dari Sadewa itu melepas cengkraman Ryo dengan kasar pada kerah seragam Sadewa. Tanpa kata, pemuda itu lalu melayangkan tinjunya pada pipi Ryo.
Dahayu menjerit ketika tubuh Ryo terhuyung dan menghantam kursi taman di belakangnya.
Pemuda itu kembali ingin menyerang Ryo, namun Sadewa sekuat tenaga menahan tangannya. Beberapa siswa yang sedari tadi menonton di sekitar mereka ikut membantu menahan tubuh rekan Sadewa. Pemuda itu menyorot marah pada Ryo. Tatapan mereka beradu penuh kemarahan.
Ryo tak akan pernah lupa. Pemuda itu juga pemuda aneh yang membuntuti mereka di mal.
"Kita salah paham, oke? Tidak usah diperpanjang," cetus Sadewa dengan kening mengerut. Pemuda itu berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan beberapa kali menarik napas dalam-dalam. Ia menatap rekannya yang masih menyorot nyalang pada Ryo seolah memberi kode untuk melupakan permasalahan mereka.
"Aku minta maaf atas kesalahpahaman ini." Dahayu maju seraya mengulurkan tangannya pada teman Sadewa, namun remaja laki-laki itu sepertinya kadung kesal atas sikap Ryo yang langsung menyerang Sadewa.
Pemuda berambut kecokelatan itu menepis uluran tangan Dahayu dingin. "Sepertinya kita salah berurusan dengan orang seperti mereka," decaknya pelan nyaris tak terdengar. Namun, tentu saja, gadis itu mendengarnya.
"Apa?" Emosi remaja perempuan itu seketika tersulut. Matanya melotot pada pemuda jangkung yang telah digiring Sadewa menjauh. Dahayu masih dapat menangkap tatapan pemuda yang seolah sedang memperhitungkannya.
Siswa-siswa yang berkerumun di sekitar mereka seketika membubarkan diri saat bel panjang berbunyi penanda istirahat telah berakhir dan jam pelajaran akan dimulai kembali. Dahayu membantu sahabatnya berdiri dan berjalan menuju kelas dengan langkah pelan.
"Bersihkan hidungmu!" Dahayu mengulurkan sebuah sapu tangan berwarna biru muda pada Ryo.
Dengan ragu pemuda berkacamata itu meraihnya lalu membersihkan darah segar yang keluar dari hidungnya. Ryo meringis. Perih akibat tinjuan siswa baru tadi baru terasa nyeri sekarang.
"Makanya jangan asal nyerang duluan. Tanya dulu. Kasih salam dulu!" gerutu Dahayu.
Ryoichi seketika menghentikan langkahnya. Mau tidak mau Dahayu juga ikut menghentikan langkah lalu berbalik menatap Ryo dengan rasa ingin tahu.
"Pokoknya kamu jangan dekat-dekat sama dua pemuda tadi. Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri kalau mereka membuntuti kamu di mal kemarin. Aku yakin dompetmu juga nggak jatuh," ucap Ryo gusar.
Dahayu memutar bola matanya malas. "Sejak kapan kamu jadi ngatur-ngatur aku kayak gini, Ryo?" cibirnya.
"Aku serius, Yu. Mereka pasti punya niat terselubung sama kamu!" ucap pemuda itu tegas. Kedua netranya lekat menatap netra Dahayu.
Dahayu menggeleng pelan, salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Sikap Ryo benar-benar berlebihan.
"Udah deh. Kamu masuk aja. Gurumu sudah hampir masuk kelas tuh!" kilah Dahayu seraya mendorong pelan tubuh Ryo ke arah pintu kelasnya. Ia sendiri kemudian berjalan menuju kelasnya.
Ayoo tebak siapa yang mengawasi Dahayu dari balik langit-langit kamarnya?? 😥 Jangan dibayangin nanti gak bisa bobo 👻. Terima kasih yaa sudah membaca dan mendukung cerita ini ♥️😘🤗
Eh ada multimedia creepy di atas, coba deh denger...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top