7. Pertemuan
Dua orang pemuda berdiri di balik bayang-bayang pohon akasia tua yang berdiri kokoh di depan SMA Matahari Malang dalam temaram cahaya senja. Mata mereka lekat mengawasi pintu gerbang sekolah yang mulai sepi.
"Pasti di sini tempatnya, Kakang Indra," ucap pemuda lainnya dengan sebuah teropong menggantung di leher.
Pemuda yang diajaknya bicara mendesis tidak senang. "Jangan panggil aku dengan nama itu!"
"Ma-maaf, Sadewa." Pemuda dengan netra cokelat itu berucap canggung seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Cahaya kecil yang berkedip cepat pada salah satu daun telinga Sadewa seketika menarik perhatiannya. Mulut pemuda itu tanpa sadar menganga, sementara netranya membulat.
"Aku sudah tahu, Arjuna. Aku bisa merasakannya. Untuk itulah kita berada di sini," cetusnya dengan nada datar.
"Beruntungnya, kau memiliki anting itu!" decak pemuda bersurai cokelat itu riang.
Sadewa hanya meliriknya sekilas, lalu fokusnya teralih pada sepasang siswa yang berboncengan di atas sebuah sepeda mini yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. "Itu dia!" gumamnya.
Di sampingnya Arjuna sontak memasang teropong di depan mata agar ia dapat melihat lebih jelas sosok sepasang manusia berseragam putih abu-abu itu. Namun, ia terkesiap saat handphone-nya mendadak berbunyi nyaring. Aktivitas meneropongnya terganggu.
"Halo!" sahutnya setelah meraih benda pipih itu dari saku ransel. "Kakang Sambu?" Matanya berbinar semringah.
Suara Arjuna yang sedikit berisik membuat Sadewa menoleh dengan kening berkerut. Sadewa lantas mendengkus saat Arjuna begitu saja mengulurkan benda pipih bercahaya itu padanya.
"Kakang Sambu ingin bicara."
Alis Sadewa yang tebal semakin bertaut dalam. Namun, diraihnya juga benda itu. "Halo Kakang ...."
"JANGAN GUNAKAN ANTING-ANTING MUSTIKA ITU! Aku bahkan dapat merasakan energinya dari istanaku, Batara Indra! Cepat kembalikan ke kahyangan sebelum Batara Narada merasakannya!" semprot Dewa Sambu dengan suara melengking.
Sadewa menjauhkan sesaat handphone dari telinganya. Saat benda kecil itu telah terdengar hening, ia kembali mendekatkannya ke telinga. "Baik, Kakang!" Pemuda itu langsung memutuskan sambungan seraya mengembuskan napas kesal. Ia mengembalikan gawai itu pada Arjuna.
"Apa katanya?" tanya Arjuna penuh rasa ingin tahu.
Sadewa bungkam. Ia melepaskan anting-anting mustika-nya lalu menyimpannya di telapak tangan. Pemuda itu memejamkan mata sesaat, memusatkan pikiran. Anting-anting bermata bulat yang terbuat dari emas itu seketika bercahaya terang di atas telapak tangannya, lalu dalam sekejap mata menghilang.
Arjuna yang berdiri di sampingnya tak berkedip, bahkan tanpa sadar mulutnya menganga.
"Mari kita ikuti gadis itu!" ajak Sadewa mengacuhkannya.
* * *
Mayang berdiri mondar-mandir di depan teras rumah. Ia pulang dari sekolah tiga puluh menit yang lalu dan tidak merasakan lapar sedikit pun, meski ibunya telah berulangkali mengingatkan untuk makan. Gadis dengan surai hitam bergelombang itu mengenakan gaun pendek selutut berwarna pink pastel tanpa lengan. Sesekali ia melirik jam tangan kulit berwarna gelap yang melingkar manis di salah satu pergelangan tangannya. Wajahnya tertekuk masam, tak sabar menanti kepulangan seseorang.
Dahayu tiba di halaman rumahnya lima belas menit kemudian, ketika Mayang baru saja duduk pada kursi santai di teras. Gadis itu sontak berdiri lagi dan menyongsong Dahayu yang baru saja memarkir sepeda mininya. Ryoichi yang membonceng di belakangnya turun dengan enggan lalu menyapa Mayang sekilas dengan lambaian tangan.
"Lama banget sih kalian. Kencan dulu ya?" gerutu Mayang sewot. Ia melipat kedua lengannya di depan dada.
"Iya nih dia kencan dulu, tapi bukan sama aku." Ryoichi menyahut tanpa minat seraya duduk pada lantai ubin teras yang seketika mendinginkan kepalanya. Pemuda berkaca mata itu melepaskan tas ranselnya yang terlihat berat dan penuh.
"Ryo!" Mayang menjerit kesal. Gadis itu menarik baju seragam Ryo, lalu menuntunnya berdiri. Pemuda itu terkejut, mau tidak mau ia berdiri dengan enggan. Sementara Dahayu mengamati kedua orang itu seraya memutar bola matanya malas. "Buruan ganti seragam kamu sana, kita kan mau jalan ke mal!"
"Sabar, Yang. Kami baru sampai ini," sergah Dahayu. Ia berjalan melewati Mayang yang berkacak pinggang, sedangkan Ryoichi bergegas kembali ke rumah kontrakannya yang tepat berada di sebelah rumah keluarga Marcus Bramantyo untuk berganti pakaian.
* * *
Dahayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan keluar dari salah satu toko pakaian di Mall Olympic Garden Malang yang tak jauh dari SMA Matahari. Wajah mereka terlihat semringah sambil sesekali melepas tawa tanpa beban.
Di belakang mereka, Ryo berjalan gontai membuntuti kedua gadis itu dengan beberapa kantong belanjaan besar yang ia tenteng di kedua lengannya. Wajah pemuda itu ditekuk dan terlihat sangat lelah. Hampir dua jam sudah ia mengikuti kedua remaja perempuan itu berbelanja keluar masuk toko pakaian dan make up yang berjajar dengan etalase-etalase yang mengundang gadis-gadis seperti Dahayu dan Mayang untuk singgah.
Pemuda itu menghentikan langkahnya saat kedua gadis yang seolah tak kenal lelah itu melangkah masuk ke sebuah toko sepatu. Ini toko sepatu kelima dan para gadis itu telah membuatnya menenteng dua kantong belanja yang masing-masing berisi tiga pasang sepatu dari toko sebelumnya.
Ryo mendengus. "Aku tunggu di sini aja, ya?" tanyanya lirih. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu langsung menghempaskan tubuhnya pada sebuah bangku panjang di depan pintu masuk toko.
Dahayu mengerling sekilas. "Terserah kamu deh, Ryo. Kami masuk dulu ya!" sahutnya tanpa beban. Kedua gadis itu segera menghilang di balik rak-rak sepatu yang berjajar lengkap dengan papan-papan penanda diskon yang berwarna kelewat mencolok.
Ryo menghembuskan napas panjang. Tas-tas belanja para gadis itu ia letakkan di samping tubuhnya. Pemuda itu bersandar pada dinding toko seraya melepas kaca matanya yang berembun karena keringat. Matanya baru saja hendak terpejam menikmati sejuknya AC toko yang membuat lena saat suara-suara samar menarik atensinya.
"Kau yakin mereka masuk ke sini?"
"Ya. Aku yakin kedua gadis tadi masuk ke sini. Ayo kita ikuti!"
Ryo terlonjak ketika mendengar percakapan samar-samar yang entah berasal dari mana. Ia menyesal karena telah jatuh tertidur meski hanya sekejap. Apakah percakapan itu hanya mimpi atau nyata, Ryo nyaris tak dapat membedakannya. Pemuda itu lantas mengucek matanya perlahan sebelum memakai kacamatanya kembali.
Ryo mengamati tumpukan belanjaan di sisinya yang terlihat masih lengkap. Pandangannya beralih pada toko sepatu yang berada tepat di hadapannya. Dari kejauhan, pemuda itu menangkap kaos hitam lengan panjang yang dikenakan Dahayu dan seorang gadis dengan rambut ekor kuda bergaun pink pastel di sebelahnya. Itu pasti kedua sahabatnya. Tidak salah lagi.
Toko sepatu itu terlihat lenggang. Hanya beberapa pengunjung yang terlihat mencoba sepatu di sudut toko. Hanya Dahayu dan Mayang yang terlihat berdiri.
Berati yang tadi itu cuma mimpi. Ryo mengembuskan napas lega. Ia hendak menyandarkan punggungnya kembali ketika netranya tiba-tiba menangkap dua orang pemuda yang sedang mengamati Dahayu dan Mayang dari pintu masuk toko.
Pemuda itu membetulkan letak kacamatanya yang terasa nyaris melorot dari pangkal hidung. Tubuhnya menegang. Dua pemuda itu sungguh mencurigakan. Andai saja ia tidak harus membawa kantong-kantong belanjaan ini, Ryo pasti sudah mendekati dua orang yang mencurigakan itu.
Ryo meraih gawainya yang terselip di saku kemeja lalu buru-buru melakukan panggilan pada nomor Dahayu. Sementara, kedua netranya masih tak teralih dari dua pemuda tersebut.
"Angkat, Yu!" desisnya gusar. Dari kejauhan ia dapat melihat sebagian punggung Dahayu yang tak tertutup rak sepatu. Entah apa yang sedang dilakukan gadis itu hingga tak menghiraukan bunyi panggilannya.
Ryo mematikan panggilannya dengan raut kesal. Ia kembali menyentuh layar ponselnya, kali ini memanggil Mayang. Walaupun ia tidak dapat melihat sosok sepupu Dahayu itu dari tempat duduknya, Ryo berharap Mayang dapat menyambut panggilannya. Namun, nyatanya gadis itu juga tak menggubris panggilannya.
Ryo berdecak kesal seraya memasukan kembali gawai pada kantong kemejanya. Dua pemuda mencurigakan dalam pengawasannya itu mulai bergerak mendekati sahabatnya. Dengan sigap, pemuda berkacamata itu meraih kantong-kantong belanjaan yang tergeletak di dekatnya kemudian melangkah tergesa memasuki toko sepatu.
Belum sampai ia memasuki bagian dalam toko, Dahayu dan Mayang telah berjalan menghampirinya dengan kantong-kantong belanjaan pada masing-masing tangan mereka.
"Yuk, kita makan dulu!" ujar Mayang semringah. Gadis itu berjalan melewati Ryo dengan langkah riang, disusul oleh Dahayu. Kedua gadis itu sama sekali tak menyadari jika dua orang pemuda yang masih berada di dalam mengawasi mereka.
Ryo melengos pasrah lalu menyusul di belakang kedua gadis itu. Sesekali Ryo menoleh ke belakang. Netranya menangkap gelagat kedua pemuda misterius dari toko sepatu yang ternyata masih mengikuti mereka. Bahkan hingga mereka memasuki sebuah restoran dengan pengunjung yang tidak terlalu ramai, kedua pemuda itu juga mengawasi melalui kafe yang berseberangan dengan restoran yang mereka kunjungi.
"Kamu kenapa, Ryo?" Dahayu mengerutkan keningnya saat mendapati gerak-gerik pemuda berdarah Jepang yang terlihat tidak tenang sejak mereka menjejakkan kaki di restoran. Ryo bahkan tak mengindahkan pertanyaannya. Manik mata kelam sang pemuda menyorot lekat pada kafe di seberang restoran.
"Kamu mau ke sana? Ya udah kita batalin aja pesanan di sini." Mayang turut menimpali tanpa beban.
Dahayu mendelik ke arahnya, yang hanya dibalas gadis berambut panjang itu dengan mengendikkan bahu acuh.
"Makan di sini aja," sahut Ryo pelan. Akhirnya pemuda itu mengalihkan pandangan dari pintu masuk kafe yang terlihat dipadati pengunjung. Ia mengaduk jusnya tanpa minat. "Habis ini mau kemana lagi?" tanyanya mengalihkan pikirannya sendiri.
Dahayu melirik jam tangannya sekilas. "Pulang aja yah, Yang? Udah malam juga nih," putusnya. Mayang mengangguk cepat sementara mulutnya sibuk menyeruput minuman dingin yang telah terhidang.
Ryo mengembus napas lega. Jawaban inilah yang dinantinya sejak tadi. Dalam hati, pemuda itu berdoa semoga dua pemuda aneh itu tak menguntit mereka lagi. Ia melirik sekilas ke keramaian kafe, dua pemuda tadi masih terlihat bercakap-cakap di meja yang terletak di beranda kafe. Dari kejauhan, Ryo bahkan masih dapat melihat kedua pemuda itu sesekali mengerling ke arah mereka.
Hidangan utama yang mereka pesan akhirnya tiba dalam sepuluh menit. Setelah hidangan itu tersaji, tak satu pun dari mereka yang berbicara. Mereka fokus menikmati makanan masing-masing. Tiga puluh menit kemudian, mereka telah menandaskan seluruh isi piring.
Setelah membayar makanan, mereka bergegas untuk pulang ke rumah. Ryo mengajak kedua gadis itu untuk keluar melewati basement untuk memastikan sesuatu. Ternyata benar dugaan Ryo, kedua pemuda yang mengikuti Dahayu dan Mayang di dalam Mall masih mengekor dengan sembunyi-sembunyi.
Ryo membenarkan letak kacamatanya canggung. Ia akan melakukan hal itu berkali-kali jika gugup. Pemuda itu dengan sengaja melambatkan langkah dan berjalan di belakang Dahayu dan Mayang yang sama sekali tak menyadari perubahan sikapnya. Jantung Ryo berdetak cepat ketika samar-samar telinganya mendengar langkah kaki lain selain langkah kaki mereka bertiga yang bergema di basement sepi itu.
Ketika mereka sampai di sebuah sudut yang tepat berada di bawah sorot lampu, Ryo tak dapat menahan dirinya lagi. Pemuda itu berbalik dengan wajah memerah. Emosinya telah memuncak, ia menghampiri kedua pemuda yang diam-diam mengikuti mereka.
"Ryo!" jerit Dahayu yang ikut berbalik saat mendengar langkah kaki sahabatnya menjauh. Ryo yang berjalan cepat itu sama sekali tak menghiraukan panggilannya.
Suara pukulan seketika terdengar diiringi jeritan Dahayu dan Mayang yang bergema dalam basement. Ryo melayangkan bogem mentah pada salah seorang pemuda yang ia duga mengikuti mereka.
"Ryo!" Mayang menarik punggung Ryo yang hendak kembali melayangkan tinjuan pada pemuda yang terhuyung akibat bogemnya. Pemuda lainnya merangsek maju untuk membalas, namun pemuda yang meringis kesakitan itu menahan rekannya.
"Kenapa kalian mengikuti kami?" bentak Ryo geram.
Kedua pemuda asing itu saling bertukar pandang. Namun wajah mereka kelewat tenang. "Maafkan kami," ucap salah satu pemuda sambil meringis menahan perih di pipinya. Ia melanjutkan, "sepertinya kalian salah paham."
"Salah paham bagaimana? Jelas-jelas kalian mengikuti kami sejak dari Toko Sepatu!" Nada suara Ryo meninggi.
Pemuda lainnya seketika tersulut emosi. Wajahnya mulai memerah dan nyaris melayangan pukulan pada Ryo, namun ditahan oleh rekannya.
"Sekali lagi kami minta maaf. Kami tidak bermaksud demikian. Sebenarnya kami mengikuti kedua gadis ini karena ingin mengembalikan ini," ucap pemuda berkemeja biru itu seraya mengulurkan sebuah dompet berwarna abu-abu ke arah Dahayu.
Dahayu membelalak, sementara Ryo dan Mayang menatap gadis itu bingung. Yang ditatap seketika gelagapan sambil memeriksa isi tas selempangnya. Dompetnya benar-benar tidak ada. Gadis itu mengangkat wajahnya balas menatap Ryo dan Mayang dengan kebingungan yang sama, lalu menatap pemuda asing yang sedang mengulurkan dompet.
"Bagaimana bisa ..." lirihnya seraya meraih benda itu.
"Terima kasih!" Dahayu membuka dan memeriksa isi dompetnya sesaat lalu mengembuskan napas lega. "Ini memang dompetku. Terima kasih ya, kak, sudah menemukan dan mengembalikannya," ucap gadis itu pada akhirnya. Dahayu mengeluarkan beberapa lembar uang lalu mengulurkannya pada pemuda itu.
Pemuda berkemeja biru dihadapannya terkesiap lalu menggeleng cepat. "Tidak usah. Kami hanya ingin mengembalikannya. Kami tidak ingin uangmu," sahutnya.
"Maafkan kesalahpahaman ini ya, kak. Maafkan teman kami juga yang sudah bertindak gegabah." Mayang menimpali dengan ramah. Sementara Ryo hanya menunduk diam tanpa berniat untuk meminta maaf. Tampaknya ia masih tidak percaya dan memendam kekesalan terhadap kedua pemuda itu.
Pemuda berkemeja biru menyunggingkan seulas senyum. "Tidak apa-apa kak. Tidak masalah," putusnya. Sementara pemuda berkaos merah di sebelahnya hanya diam saja seraya melayangkan tatapan sengit pada Ryo. "Kami pamit dulu," ucap pemuda itu sambil menarik salah satu lengan rekannya meninggalkan Ryo, Dahayu dan Mayang yang masih bergeming.
"Kamu benar-benar sudah menjatuhkan dompetmu, Yu?" tanya Ryo penuh selidik setelah kedua pemuda itu menjauh.
Dahayu menggeleng lemah. "Aku jelas-jelas ingat kalau aku menyimpan dompetku di dalam tas ... " Kata-kata gadis bersurai hitam itu seolah menggantung di udara.
Mata Ryo sontak membulat sempurna. Dadanya bagai tersengat listrik demi mendengar pengakuan Dahayu. Dia sudah menduganya. Ada yang tidak beres dengan kedua pemuda itu.
Hai! Para Dewa akhirnya turun dan menyamar di dunia tengah. Saksikan terus petualangan mereka untuk menemukan Kitab Sihir Calon Arang dan kisah perjalanan Dahayu untuk menemukan pangkal masalah dari keanehan-keanehan yang menimpa dirinya. Eh tapi pada part-part ini Dahayu belum sadar sih hehehe
Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa. Makasih banyak sudah mampir sini. Salam sayang dari Zu. Sampai jumpa Minggu depan. 😘♥️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top