6. Fur Elise
Senyum Dahayu mengembang sempurna begitu melangkah melewati gerbang SMA Matahari. Siswa-siswa yang kebetulan berpapasan dengannya menyapa ramah. Gadis berambut pendek itu menyambut semua sapaan dengan senyum semringah. Begini rasanya jadi populer. Setiap orang menyapa dan tersenyum ramah meski kadang-kadang ia harus mengingat-ingat siapa nama siswa yang menyapanya.
Gadis itu baru saja meletakkan tas ransel-nya di atas meja, saat sebuah suara sapaan yang terdengar familier menghampiri telinga. Suasana kelas pun mendadak hening.
"Hai, Dahayu!" Langkah kaki disertai suara laki-laki yang sedikit serak dan dalam datang dari ambang pintu kelas.
Sontak gadis itu mengangkat wajah. Netranya membelalak saat mendapati sosok Rafael yang kini telah mendudukkan bokongnya pada meja Dahayu. Mulut gadis itu membuka dan menutup bagai ikan yang kehabisan air, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mimpi apa dia semalam hingga pemuda yang begitu ia idamkan datang menyapa, membuat gemuruh tak normal seketika memenuhi dadanya.
"I-iya." Suara Dahayu akhirnya berhasil lolos dengan susah payah dari bibirnya. Kedua pipi gadis itu memanas seiring dengan jantungnya yang berdetak lebih kencang.
Rafael tersenyum. Manis sekali. Tungkainya berselonjor hingga tumitnya mencapai meja lain di belakang Dahayu. Benar-benar pemandangan yang indah. Semua mata di kelas itu bahkan tertuju pada pemuda berwajah bak malaikat yang kini sedang menatap Dahayu intens.
"Aku cuma ingin memastikan kalau kamu baik-baik aja. Sejak kita tabrakan kemarin, aku jadi terus memikirkan kamu," ucap Rafael dengan suara serak yang melodius. Seketika alunan musik klasik Fur Elise bergema di dalam pikiran Dahayu. Namun, tentu saja suara pemuda itu jauh lebih indah dari musik instrumental kesukaannya. Baiklah, mungkin ia terlalu berlebihan, tapi yang jelas saat ini Dahayu merasa benar-benar sedang berada di puncak kebahagiaan.
Gadis itu masih bungkam. Kata-kata Rafael barusan benar-benar membiusnya hingga ia lupa jika pemuda itu sedang menanti tanggapannya. Sungguh ia tidak pernah menyangka bisa berada sedekat ini dengan Rafael, pemuda idola sekolah yang selama ini hanya dapat ia lirik dari balik helai rambut yang selalu jatuh menutupi matanya. Kini jarak antara wajah Rafael dan wajahnya hanya beberapa jengkal saja. Beruntung tanda lahir di dahinya sudah hilang hingga ia dapat merasa sedikit lega.
"Kamu kok diam aja? Kamu marah ya sama aku?" Rafael menyejajarkan wajahnya dengan wajah Dahayu. Pemuda itu menjamah pipi Dahayu lalu menjentikkan jari-jemarinya pelan. Ia mengamati wajah gadis itu seraya mengerutkan alis tebalnya seolah-olah sedang berpikir. "Aku kira kamu pakai blush on, pipi kamu merah banget soalnya!" komentarnya.
Dahayu mulai merasa jika pemuda berparas malaikat itu sedang menggodanya. Ia menggeleng gugup. "Ti-tidak," sahutnya dengan pipi yang semakin memanas. 'Blush on'-nya pasti semakin kentara saat ini. Ia mengalihkan pandangannya dari wajah Rafael, seraya menggigit bibir lalu mengangguk cepat. "A-aku baik-baik aja."
"Kamu yakin?" tanya Rafael. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Tanpa aba-aba, punggung tangan pemuda itu menempel pada kening Dahayu layaknya dokter yang sedang memeriksa pasien.
Kasak-kusuk mulai terdengar memenuhi ruangan kelas. Tatapan sinis dan kagum menyorot pada kedua insan itu, menjadikan mereka pusat perhatian.
Dahayu terkesiap lalu dengan spontan menggeser kepalanya hingga Rafael terpaksa menarik tangannya kembali. Gadis itu mengerling tak nyaman pada seisi kelas yang kini menatapnya penuh tanda tanya.
"Gak enak dilihat teman-teman, kak," ujar Dahayu canggung.
Rafael mengembuskan napas panjang. Senyum kembali menghiasi wajah rupawannya. Ia turun dari meja Dahayu lalu menegakkan tubuh. "Sebentar lagi masuk kelas nih," ucapnya sambil melirik sekilas pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, lalu menatap Dahayu.
"Istirahat nanti makan siang sama aku, ya, Yu." Tanpa menunggu persetujuan, pemuda itu lantas berbalik menuju pintu kelas. Saat berjalan melewati ambang pintu, Rafael menoleh lalu melemparkan senyum mautnya sekali lagi pada Dahayu.
Jantung gadis itu nyaris melompat ingin mengikuti kepergian sang kakak kelas idola. Ia mengulum senyum merasakan sensasi aneh yang menyusup dalam dadanya. Hanya dalam sekejap mata, Rafael benar-benar mengajaknya makan siang. Terima kasih Buku Sihir Calon Arang! Terima Kasih untuk hidup yang menyenangkan ini!
* * *
"Yu, tunggu!"
Dahayu menoleh dan mendapati Ryo berlari ke arahnya. Gadis itu memutar bola matanya malas. "Ada apa, sih, Yo?" Ia sedang sangat terburu-buru sekarang.
Ryoichi tersenyum canggung. "Aku mau minta maaf sama kamu," ucap pemuda itu seraya mengulas senyum. "Aku capek berantem terus sama kamu. Aku janji gak akan ikut campur lagi urusanmu, tapi kalau kamu ada masalah jangan sungkan untuk minta tolong ke aku, ya."
"Kamu sehat kan, Ryo?" Gadis itu meletakkan punggung tangannya pada kening Ryoichi memeriksanya sesaat lalu membandingkannya dengan kening sendiri. Sama. Namun, Ryo terlihat berbeda di matanya saat itu.
"Aku baik-baik aja, Yu. Kamu kali yang sakit soalnya sejak tadi, aku perhatikan kamu senyum-senyum sendiri." Ryo berseloroh. Kening pemuda itu berkerut merasa bingung dengan tingkah sahabatnya. "Kamu kenapa? Kamu dapat nilai bagus, ya?" tanyanya lagi.
"Kita udah baik-baik aja kok, Yo. Kamu sebenarnya gak perlu minta maaf segala," sahut Dahayu. Senyum yang terulas di bibir gadis itu seketika pudar tatkala ia teringat akan janjinya pada Rafael. "Aku ada janji, Yo. Aku duluan ya!" seru Dahayu seraya melanjutkan langkah meninggalkan Ryo.
"Eh, kamu janjian sama siapa, Yu?" Ryoichi mengikuti gadis itu dengan tampang penasaran.
"Duh, ngapain ikut sih!" gerutu Dahayu.
Ryoichi seolah enggan tertinggal. Pemuda itu dengan sigap menyejajarkan langkahnya dengan langkah Dahayu yang pendek-pendek dan cepat. "Aku kan mau ke kantin juga," sahut pemuda itu bersikeras.
"Aku mau ketemu Rafael. Kamu jangan ganggu, ya!" desis Dahayu seraya memelotot. Ia harus to the point saat menghadapi Ryo yang mulai keras kepala. Setelah mengucapkan itu, ia langsung berlari kecil menerobos kerumunan siswa yang menjejali jalan masuk menuju kantin.
Gadis itu memang berhutang banyak penjelasan dengan Ryo tentang segala perubahan yang dialaminya sejak beberapa hari yang lalu, tetapi ia tak punya waktu sekarang. Mungkin ia akan menjelaskannya kelak, saat waktunya telah dirasa tepat.
Sementara di belakangnya, Ryo bergeming seketika. Entah mengapa pemuda itu tak lagi berminat mengikuti Dahayu. Ia menatap punggung gadis yang telah mencapai gerbang kantin dengan ekor matanya. "Dahayu ketemu Rafael?" gumamnya tak percaya. Apa dia tidak salah dengar?
* * *
Dahayu berdiri canggung di depan pintu masuk kantin. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ke tempat itu. Pasalnya ia terbiasa membawa bekal dan makan seorang diri atau bersama Ryo di taman belakang sekolah. Tapi hari ini ia rela melewatkan menu makan siang buatannya sendiri demi makan siang di kantin bersama Rafael.
Dari jauh, Rafael melambaikan tangan menyambut kedatangannya. Pemuda berwajah blasteran dengan surai coklat itu telah duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di tengah-tengah kantin. Tak seorang siswa pun yang berani duduk di sana, seolah meja itu telah dipesan khusus olehnya.
Netra mereka beradu. Dahayu yang masih tersenyum canggung melangkahkan kakinya mendekati Rafael.
Suasana kantin yang riuh saat jam istirahat itu perlahan-lahan mereda sesaat ketika Dahayu mendudukkan bokongnya pada kursi di hadapan Rafael. Semua mata tertuju pada momen paling langka di seantero SMA Matahari, saat seorang idola sekolah makan siang bersama gadis yang sering dipandang sebelah mata.
"Kamu mau makan apa?" tanya Rafael dengan suara serak merdunya. Entah mengapa suara pemuda itu selalu mengingatkannya pada alunan melodi klasik Fur Elise. Suara itu lagi-lagi berhasil membuat gemuruh menyambangi dada Dahayu.
"A-apa aja," sahut Dahayu lirih. Gadis itu menggigit bibir bawahnya berusaha menahan gejolak di dada. Sesekali ia mencuri pandang pada makhluk rupawan itu hingga saat netra mereka akhirnya saling menumbuk, ia sontak menundukkan wajahnya.
Rafael yang menyadari kegugupan Dahayu terkekeh geli. Sepasang lesung pipinya merekah saat ia tertawa. "Santai aja, jangan tegang gitu. Emangnya aku guru BP?"
Dahayu semakin gelagapan. Pipinya memanas. Andai ada cermin, ia pasti dapat melihat 'blush on' yang seketika muncul di pipinya. "Nggak!" sahutnya susah payah. Ia harus bisa menekan kegugupannya di depan Rafael. "Kamu udah lama nunggu aku?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Dahayu membenarkan posisi duduknya. Hanya pertanyaan basa-basi itu yang dapat ia temukan di kepala untuk memecah rasa canggungnya sendiri.
"Aku ... Udah nunggu kamu sejak bertahun-tahun yang lalu. Entah mengapa aku baru berani mendekatimu sekarang. Tapi gak masalah buatku meski harus menunggumu seumur hidup." Rafael menaikkan salah satu alisnya seraya mengulas senyum.
Mulut Dahayu menganga begitu mendengar jawaban gombal dari sang idola sekolah. Hatinya terasa ingin meledak saat itu juga. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam.
Mereka bertemu pandang sesaat dalam hening yang semakin canggung. Rafael seolah enggan mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Sementara Dahayu sendiri memilih menunduk dan menekuri meja kantin yang bermotif batik. Namun, tetap saja, yang muncul pada permukaan meja hanyalah wajah Rafael.
Seorang pelayan kantin menghampiri meja mereka sambil membawa sebuah nampan besar berisi dua mangkuk dengan kepulan asap tipis di atasnya. Dahayu mengembuskan napas lega karena saat itu ia memiliki kesempatan untuk menormalkan detak jantungnya.
"Terima kasih, kak!" ucap Dahayu dengan suara yang mendadak serak. Ia tersenyum pada gadis pembawa nampan yang dengan cekatan meletakkan pesanan mereka di atas meja kantin. Gadis itu membalas senyumnya, lalu mengangguk ramah. Tak sampai lima menit gadis itu telah berlalu dari hadapan mereka.
"Ayo dimakan, Dahayu!"
Gadis itu mengangguk. Untuk beberapa saat lamanya hening tercipta di antara mereka. Hanya suara denting sendok dan mangkuk yang beradu, dilatari keriuhan kantin yang terdengar sayup-sayup di telinga Dahayu. Fur Elise-nya tak terdengar lagi.
Lima belas menit berlalu, tanpa terasa mereka sama-sama telah menandaskan isi mangkuk masing-masing. Dahayu menyeruput air putih hangatnya lamat-lamat solah enggan jika ritual makan siang itu berakhir. Ia mengerling pada Rafael. Saat netra mereka tiba-tiba bertemu, Dahayu lagi-lagi membuang pandangan.
Rafael tersenyum. "Yu, kalau kapan-kapan aku ajak jalan mau nggak?" tanyanya.
Dahayu sontak mengangkat wajah. Matanya membulat sempurna. Kata-kata Rafael tersebut terdengar seperti ajakan kencan. Tunggu dulu, apa benar pemuda idola sekolah itu mengajaknya pergi berkencan. Gadis itu mengerjapkan matanya lalu mengangguk cepat seolah takut Rafael akan berubah pikiran.
"Bagus!" sahut Rafael lalu menyesap teh dinginnya.
"Rafael!" Seorang gadis bersurai panjang kecokelatan tiba-tiba datang mendekati mereka. Mata besarnya memelotot pada Dahayu hingga menyebabkan gadis itu tertunduk di tempatnya. "Kamu menolak ajakan makan siang sama aku karena makan siang sama Dahayu?" Suara gadis itu terdengar meninggi.
Dahayu mengangkat wajahnya. Manik matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan manik mata Emily.
Emily terlihat hendak menyemburkan kata-kata, tetapi kalah cepat dengan Rafael. "Aku yang ngajak dia makan siang, Em," tutur pemuda itu enteng. "Kami sudah selesai. Kamu mau makan di sini?" tanya Rafael seraya menarik salah satu lengan Dahayu. Gadis itu tersentak. Namun, mau tak mau turut bangkit dari kursinya.
"Apa?" Gadis bersurai panjang itu menatap Rafael tak percaya. Rahangnya menegang menahan emosi yang nyaris meledak saat mendengar ucapan pemuda itu.
Rafael sebaliknya, ia sama sekali tak terpengaruh dengan perubahan ekspresi dan bahasa tubuh Emily. Tanpa melepas genggaman tangannya pada jemari Dahayu, ia menuntun gadis itu keluar dari kantin. Sementara, Dahayu hanya bisa bungkam mengikuti langkah pemuda blasteran itu menerobos keramaian kantin. Andai waktu dapat berhenti saat itu, ia rela berlama-lama, meski dihujam oleh tatapan tajam Emily.
Halooo.... rencananya Buku Sihir Calon Arang akan update seminggu tiga kali supaya cepat selesai amiin. Jangan lupa vote dan komentarnya yaa teman-teman. Jangan sungkan untuk memberikan saran dan masukan di cerita ini. Kalau kalia suka bisa follow akunku dan share ceritanya ke teman-teman lainnya. Terima Kasih. Salam hangat dari Zu!🤗♥️😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top