5. Suralaya
Kahyangan Suralaya di Puncak Gunung Mahendra. Tahun 2020 Masehi.
Denting pintu lift terdengar bersamaan dengan pintu bajanya yang bergeser otomatis. Dua orang pemuda dalam setelan Armani berwarna hitam dan dasi berwarna senada melangkah keluar dari pintu lift dengan tergesa. Langkah kaki mereka yang besar dan cepat menimbulkan bunyi menggema pada sebuah lorong dengan desain minimalis berwarna monokrom. Mereka menuju sebuah pintu besar dengan ukiran emas yang tertutup di ujung lorong. Langit-langit dengan kubah tinggi yang melengkung menambah kesan mewah tempat itu. Tak ada perabot lain di sepanjang lorong, selain deretan lukisan-lukisan terkenal berjarak satu meter bertengger manis pada sepanjang dinding lorong. Rupanya empunya istana ini adalah penyuka seni.
Dua orang dengan pakaian jas formal serupa tanpa dasi menyambut kedatangan mereka seraya membungkuk takzim. Alat komunikasi berwarna putih menyempal salah satu lubang telinga mereka. Para penyambut itu membukakan pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.
"Aku telah menunggu begitu lama ... Dari mana saja kalian?!" Seorang lelaki bertubuh tegap dengan potongan rambut gondrong dalam setelan Armani putih mengerang saat melihat kedatangan kedua lelaki gagah yang sedang berjalan melewati ambang pintu baja Balairung Istana Suwelagringging. Laki-laki itu turun dari singgasana untuk menyongsong tamunya.
Salah satu pemuda berambut cokelat dengan tubuh jangkung dan sorot mata tegas tersenyum menyapa tuan rumah. "Maafkan kami, Batara Sambu. Kami sedang berlatih menembak dengan Batara Brahma saat salah seorang utusan Kakang menyampaikan pesan. Kakang tahu kan, jika sedang berlatih, Batara Brahma sama sekali tidak ingin ada yang mengganggu latihannya," papar Batara Bayu ramah. Matanya hilang dalam lengkungan serupa bulan sabit kala ia tersenyum.
"Kakang terlihat sangat berantakan, ada apakah gerangan?" tanya pemuda lainnya. Pemuda berambut hitam dengan postur yang sedikit lebih tinggi dari Batara Bayu itu menyelisik penampilan sang dewa dengan mata elangnya. Di telinga kanannya sebuah anting kecil berpendar dengan cahaya putih yang cukup kentara. Sebuah firasat terlintas di benak Batara Indra begitu saja hingga ia berdiri waspada.
Sang dewa mengembuskan napas panjang. Ia meraih seloki yang berisi separuh cairan berwarna pekat soma dari atas sebuah mini bar di salah satu sisi balairung. Laki-laki itu menyesapnya penuh penghayatan. Ia berjalan sedikit sempoyongan kembali mendekati tamunya dengan sepasang mata merah yang tidak fokus. Tubuh tegap itu tiba-tiba limbung dan nyaris jatuh jika saja Batara Indra tidak dengan sigap menangkapnya.
"Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi, Batara Bayu," gumam Batara Indra saat menyambut tubuh sang dewa, lalu membopongnya pelan ke arah sofa monokrom di samping mini bar.
"Katakan, Kakang, ada apa sebenarnya?" Batara Indra berbisik seraya mendekatkan wajahnya pada Batara Sambu seolah dinding-dinding Balairung memiliki telinga untuk mendengar percakapan mereka. Dewa Sambu tidak akan pernah terlihat seperti ini jika tidak ada permasalahan yang serius.
Batara Sambu menyugar rambut kelamnya yang bergelombang dengan gusar, lalu mengembuskan napas panjang. "Kitab suci Pustaka Lipyakara hilang, Batara Indra!" lirihnya. Netra kelam sang dewa berkaca-kaca.
"Kitab suci Pustaka Lipyakara?" Batara Bayu membelalak. Mengulang kata-kata itu penuh penekanan.
Batara Sambu mengangguk lemah. "Ya, Kitab Sihirnya Calon Arang ...."
"Apa?!" Batara Indra dan Batara Bayu memekik hampir bersamaan saat mereka menyadari kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Batara Sambu.
Sang dewa sontak meletakkan jari telunjuknya di depan bibir seraya mendesis pelan. "Hanya kita bertiga yang tahu! Jangan sampai Kakang Narada juga tahu. Jika Kakang Narada tahu, habislah kita semua dihukum oleh Batara Guru!"
"Kok, kita?!" protes Batara Bayu sengit. Ia melipat kedua lengannya di depan dada dengan raut wajah tidak suka. Ia merasa tidak terima dengan perkataan Batara Sambu barusan. Laki-laki itu mendengkus keras sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kami sama sekali tidak mengetahui tentang perkara ini sebelumnya sampai Kakang yang memberi tahu. Jadi jangan anggap kami terlibat dari awal. Kami memang membantu kakang saat pertama kali menemukan keberadaan kitab berbahaya itu di dunia tengah. Namun, untuk penyimpanan di tempat rahasia, hanya kakang dan Batara Guru yang tahu. Lagi pula perkara itu sudah tugas Kakang selaku sekretaris kahyangan. Mohon Kakang bijaklah dalam hal ini."
Batara Sambu berdecak. "Bukan begitu, Batara Bayu. Maaf jika ada kata-kataku yang salah. Aku memanggil kalian kemari karena ingin meminta pertolongan sekali lagi. Kalian sudah pernah turun ke bumi untuk mencari kitab itu kan, maka dari itu aku memohon pertolongan sekali lagi untuk mendapatkannya. Aku harap kita dapat mengembalikan kitab itu ke tempatnya sebelum Batara Guru menyadari bahwa Kitab itu menghilang," terangnya kalut.
Batara Bayu dan Batara Indra saling bertukar padang. Bagaimanapun menemukan kitab sihir berbahaya itu bukanlah perkara mudah. Apalagi jika ternyata seseorang dari dunia tengah telah terlibat dalam hilangnya kitab itu. Cepat atau lambat kekacauan yang mungkin saja ditimbulkannya akan mengganggu keseimbangan dunia tengah dan berimbas pada dunia bawah. Mereka tidak akan punya banyak waktu untuk menemukannya.
"Bagaimana kitab itu bisa hilang, Batara Sambu? Di mana Kakang menyimpannya?" tanya Batara Indra penuh selidik. Anting di telinga kanannya kembali berpendar.
Batara Sambu gelagapan. "Ah ... I-itu, tempatnya hanya aku dan Batara Guru yang mengetahuinya. Tidak ada yang tahu di seantero Kahyangan Suralaya ini. Aku juga tidak bisa memberitahukannya pada kalian, karena itu satu-satunya tempat penyimpanan paling aman di sini. Waktu itu, aku sama sekali tidak mengecek tempat penyimpanan kitab selama seminggu hingga dua hari yang lalu saat aku ingin memeriksanya, lontar itu sudah raib," jelasnya dengan tatapan menerawang yang diliputi kesedihan. Sang dewa menggeleng frustrasi, lalu mengalihkan pandangan pada kedua saudaranya penuh harap. "Jadi bagaimana? Apakah kalian bersedia membantuku?"
Batara Indra bergeming. Paras rupawannya seolah sedang menimbang sesuatu. Pikirannya berkelana pada kejadian ratusan tahun silam saat ia dan Batara Bayu sukses menemukan Pusaka Lipyakara. Lontar sihir berbahaya itu awalnya dianggap telah hilang disembunyikan oleh Mpu Bharada sepeninggal Calon Arang. Namun, kenyataan berkata lain. Kematian masal, munculnya makhluk-makhluk ajaib yang melukai manusia di Dunia Tengah serta pemberontakan dan gejolak di Dunia Bawah menunjukkan keberadaan dan penggunaan ilmu sihir yang sakti mandraguna itu dengan tanpa terkendali. Benar saja, rupanya murid-murid Calon Arang yang sempat melarikan diri saat padepokan sihir mereka dihancurkan ternyata tengah mencoba mempelajari kembali lontar itu. Beruntung ia dan Batara Bayu mendapatkan Lipyakara sebelum mereka sempat mempelajarinya, sehingga rencana para murid Calon Arang dapat digagalkan.
Ratusan tahun telah berlalu, para pengikut Calon Arang pastinya telah binasa, kecuali jika mereka sempat menurunkan ilmu-ilmu sihir hitam yang mereka miliki pada keturunan dan para pengikut. Selain itu, barangkali ada salah seorang murid Calon Arang yang memiliki keabadian sehingga berniat merebut kembali Lontar Sihir itu dari Kahyangan. Sudah menjadi rahasia umum jika manusia dapat mempelajari ritual dan ajian agar dapat berumur panjang dari lontar berbahaya itu.
Berbagai asumsi berkecamuk dalam pikiran Batara Indra. Ia mengembuskan napas panjang berharap pikiran-pikiran itu enyah dari kepalanya. Namun, sia-sia. Bayangan-bayangan tentang masa lalu itu semakin menguat seolah sedang memberi peringatan. "Di mana kami harus mencari kitab sihir itu, Batara Sambu? Sementara kami tidak memiliki petunjuk sama sekali tentang keberadaan lontar itu? Lontar Sihir Calon Arang itu bisa berada di mana saja, kan. Di Kahyangan, Dunia Tengah bahkan di Dunia Bawah. Kita akan kehabisan waktu jika menyusuri setiap tempat?" Batara Indra menimbang.
"Kakang Indra sangat cerdas!" komentar Batara Bayu dengan sorot mata berbinar.
Batara Indra memutar bola matanya malas. "Kau juga berpikirlah, Batara Bayu. Kita sedang menghadapi persoalan serius di sini," ujarnya.
"Maaf, Kakang Indra." Batara Bayu menyahut lirih.
"Jadi, kalian bersedia membantuku?" ulang Batara Sambu mencari kepastian. Pupil matanya melebar. Secercah harapan bagaikan matahari yang menyinari kegundahan hatinya saat itu.
"Mau bagaimana lagi ... Jika dibiarkan Lontar Sihir Calon Arang itu pasti akan membuat kekacauan lagi. Lagi pula Batara Guru dan Kakang Narada sekarang sedang bertapa di Dunia Tengah. Jangan sampai permasalahan ini mencuat dan mengganggu pertapaan mereka," sahut Batara Indra.
Batara Sambu mengangguk cepat menyetujui perkataan saudaranya. "Bagaimana denganmu, Batara Bayu, apa kau juga bersedia dilibatkan kembali dalam pencarian ini?" Laki-laki berambut bergelombang itu kini menyorot pada Batara Bayu yang sepertinya masih diliputi keraguan.
"Baiklah. Aku akan ikut jika Batara Indra ikut." Akhirnya Batara Bayu menyahut mantap, setelah berpikir beberapa saat.
Seulas senyum lebar terbit di bibir Batara Sambu. "Terima kasih, Batara Indra dan Batara Bayu atas pertolongan kalian. Karena kalian telah menyatakan kesediaan untuk membantu, ada satu hal yang akan aku beritahu. Kemarin aku turun ke Dunia Tengah. Tanpa sengaja aku melihat makhluk-makhluk ajaib yang harusnya tersegel di dalam Pustaka Lipyakara. Hal ini berarti mereka telah terlepas dari segelnya, walaupun belum menimbulkan teror berarti. Untuk itu Aku mohon selain menemukan kembali lontar sihir, aku berharap kalian bisa sekalian melumpuhkan makhluk-makhluk itu," imbuhnya. Kengerian seketika membayang di wajahnya.
"A-apa?" Batara Indra dan Batara Bayu sontak saling pandang. Jadi seseorang pasti telah menemukan kitab itu dan membebaskan makhluk-makhluk yang tersegel di dalamnya. "Kita benar-benar harus turun, Batara Bayu," gumam Batara Indra dengan wajah gusar. Kengerian yang dirasakan oleh Batara Sambu rupanya telah menular padanya.
"Kita harus turun ke Dunia Tengah besok sebelum kitab sihir dan makhluk-makhluk itu memakan korban." Batara Bayu menimpali.
"Aku akan mengatur alasan kepergian kalian dari Kahyangan. Setelah segala urusannya itu beres, aku akan segera menyusul. Sekali lagi, aku ucapkan banyak-banyak terima kasih karena bantuan kalian. Aku janji aku akan mengusahakan anugerah yang setimpal bagi kalian jika misi ini selesai." Batara Sambu menyalami Batara Indra dan Batara Bayu bergantian.
"Baiklah Batara Sambu, kami undur diri," ucap Batara Indra seraya membungkuk takzim lalu meninggalkan balairung. Batara Bayu mengekor dibelakangnya.
Saat pintu balairung di belakang mereka berdebam tertutup, Batara Indra menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Kakang Indra?" tanya Batara Bayu yang sontak ikut menghentikan langkah.
"Kau pulanglah terlebih dahulu. Aku ingin singgah ke suatu tempat," sahutnya dengan pandangan menerawang.
Batara Bayu mengangguk pelan menuruti perintah sang kakak, meskipun sebenarnya ia enggan.
* * *
Batara Indra berdiri di depan pintu gerbang Selamatangkep, satu-satunya pintu masuk menuju kompleks istana para dewa di Kahyangan Suralaya. Pintu gerbang itu tampak sepi. Harusnya ada dua sosok raksasa kembar yang berjaga di sana, yaitu Cingkarabala dan Balaupata. Lantas kemana mereka sekarang?
Laki-laki bersurai hitam itu mengedarkan pandangan ke sekeliling gerbang. Benar-benar sepi. Kesunyian yang sangat tidak lazim. Batara Indra mengibaskan salah satu lengannya ke langit. Seberkas cahaya berwarna putih serupa kilat muncul di dalam genggamannya. Cahaya itu memanjang lalu membentuk sebilah tongkat. Tongkat bajra itu memercik cahaya serupa bunga api yang siaga menyerang musuh.
Dengan dada yang bergemuruh, Batara Indra berjalan perlahan menyisir sekitar gerbang Selamatangkep.
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki yang mendekat. Batara Indra dapat merasakan tanah tempatnya berpijak bergetar, semakin lama getarannya semakin kuat.
Netra hitam sang dewa menangkap dua makhluk raksasa mendatanginya. Sepasang raksasa kembar berwajah menyeramkan dengan gada yang terhunus di masing-masing lengan itu kini telah berdiri dihadapannya. Raksasa-raksasa itu menunduk dalam saat mendapati Batara Indra yang menyorot mereka dengan tatapan menghakimi.
"Dari mana saja kalian?!" bentak Batara Indra dengan suara meninggi.
Dua monster yang terengah-engah itu mengatur napas terlebih dahulu sebelum membuka suara. "Ampuni kami Batara Indra, kami sedang mengejar penyusup!" sahut Balaupata. Wajahnya yang menyeramkan terlihat panik.
"Bagaimana bisa? Bukankah hanya orang yang berhati bersih yang bisa melewati Selamatangkep?!" Sepasang alis Batara Indra mengernyit dalam.
"Hamba yakin ada penyusup, Batara Indra. Setidaknya itu yang hamba dan saudara hamba kira. Tapi anehnya saat kami mengejar penyusup itu ke dalam, sosok itu malah menghilang begitu saja. Kami bahkan sudah mengecek melalui monitor keamanan Kahyangan namun hasilnya nihil. Bahkan, tidak ada gambar penyusup yang tertangkap kamera." Cingkarabala berdecak frustrasi. Suara beratnya yang dalam memenuhi udara.
Batara Indra tak menyahut. Entah mengapa pikirannya langsung menerawang mengaitkan kejadian ini dengan hilangnya Lontar Sihir Calon Arang. Jika analisisnya benar barangkali ada pengkhianat terselubung di dalam kahyangan.
"Baiklah. Kali ini aku mengampuni kalian. Ingat, Jangan pernah meninggalkan gerbang ini lagi, tetaplah berjaga di sini apa pun yang terjadi. Aku akan berkoordinasi dengan para penjaga di setiap istana para dewa untuk mengecek kemungkinan keberadaan penyusup yang bersembunyi," tegasnya
Sang dewa meninggalkan gerbang Selamatangkep dengan beribu tanda tanya menjejali kepalanya. Mobil porsche putih yang ia kendarai dengan kecepatan sedang membawanya kembali ke tempat tinggalnya di Istana Tinjomaya.
Yuhuuuu tepat tanggal 1 Maret karya ini dilanjutkan. Bagi teman-teman yang kebetulan mampir atau tersesat ke halaman ini (?) jangan lupa memberikan dukungan, komentar, saran dan masukan dan yang paling utama adalah vote hehe. Karya ini akan sering update dan diusahakan cepat selesai. Terima kasih yaaa 😘🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top