3. Hilangnya tanda Bintang
Dahayu berjalan gontai menyusuri lorong sekolah yang lengang. Langkahnya riang seringan perasaannya saat itu. Seperti biasa, wajahnya menunduk. Beberapa helai rambut pendeknya jatuh tergerai menutupi sebagian kening. Biasanya ia selalu membiarkan rambutnya seperti itu untuk menutupi tanda lahir. Namun, pagi ini tidak perlu lagi.
Dengan canggung gadis itu menyugar rambut, kemudian menyelipkannya ke balik telinga. Kening mulusnya kini terekspos. Seulas senyum samar terbit di bibirnya. Hati Dahayu diliputi suka cita. Namun, senyumnya lenyap dan raut wajahnya kembali datar. Demikianlah ia selalu menjaga ekspresi agar apa yang ia rasakan tak begitu kentara dari luar. Dahayu hanya ingin merasakan bahagia ini untuk dirinya sendiri.
Jayashree benar. Buku sihir itu dapat mengabulkan apa pun yang diinginkan, termasuk menghilangkan tanda lahir di keningnya. Tanda lahir yang telah bertahta belasan tahun dan membawa begitu banyak kesialan dalam hidup itu akhirnya lenyap.
Dahayu melewati sekumpulan siswa yang bergerombol di salah satu koridor yang menyorotnya dengan tatapan takjub. Samar-samar ia bahkan dapat mendengarkan apa yang mereka gunjingkan.
Itu Dahayu, 'kan? Gadis aneh yang punya codet di keningnya?
Tanda lahirnya, kok, menghilang, ya?!
Ternyata dia cantik juga!
Aku dengar kemarin dia sempat menghilang saat study tour, jangan-jangan dia nggak pergi study tour, tapi malah pergi oplas hahaha.
Oplas butuh waktu kali. Menurut aku, sih, dia pasang susuk!
Tapi hasilnya bagus, ya. Boleh, deh, kita tanyain dia pasang di mana.
Ogah! Nanti aku kena sial.
Dahayu tersenyum kecut. Kata 'sial' itu seolah menghempaskan angan-angannya yang akan membubung tinggi. Namun, apa pedulinya dengan perkataan para siswa yang selalu menilainya salah. Yang penting, ia telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Gadis itu mempercepat langkah, sedikit mengangkat dagu dengan bangga.
Tiba-tiba salah satu bahunya menghantam sesuatu. Gadis itu tersentak dan refleks memegang bahunya meski tak terasa sakit. Dahayu mengangkat wajah menatap sosok yang tak sengaja ia senggol.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya seorang remaja laki-laki berwajah blasteran. Kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Rambut dan netranya sama-sama berwarna coklat terang. Rafael Stewart, nama pemuda berlesung pipi itu, kini tersenyum pada Dahayu.
Dahayu melongo tak percaya menatap sosok tampan bak malaikat yang berdiri di hadapannya. Wajah mereka begitu dekat, hanya berjarak beberapa jengkal. Sontak wajah gadis itu bersemu merah. Siapa yang tak mengenal Rafael, pemuda paling dikagumi di SMA Matahari.
"Aku ...."
"Aku?" ulang Rafael. Salah satu alis tebalnya terangkat, sementara senyum khas masih menyungging di bibirnya. Senyum yang bisa membuat gadis mana pun di SMA itu gagal fokus.
Tungkai Dahayu mendadak terasa lemas. Pipinya memanas. Gadis itu juga seketika merasa kehabisan napas. Dan sesuatu sedang bergerak berputar di dalam perutnya. Ia terkesan berlebihan. Namun, itulah yang ia rasakan saat ini.
Beberapa siswi mulai berkerumun di sekitar mereka sambil berbisik-bisik. Beberapa di antara mereka terlihat sibuk mengabadikan momen langka ini dengan ponsel genggam. Momen paling langka di SMA Matahari, di mana seorang gadis cupu bertemu dengan remaja paling keren di sekolah.
"Aku ... tidak apa-apa," sahut Dahayu susah payah. Kepalanya menggeleng terlalu keras karena merasa canggung.
Rafael Stewart tersenyum asimetris dan menatap tepat ke dalam bola mata Dahayu. "Syukurlah," ucapnya santai sembari berlalu dari hadapan gadis itu. Meninggalkan Dahayu yang bergeming dan tatapan ingin tahu para siswa di sepanjang koridor.
Jantung Dahayu rasanya mau meledak. Bahkan setelah Rafael berlalu, gadis itu tetap mematung di tempatnya beberapa saat. Ia tengah menikmati euforia yang bergejolak di dadanya. Bayangkan, setelah dua tahun berada di sekolah yang sama, mengaguminya dari kejauhan sembari memendam rasa, akhirnya Rafael mengajak ia bicara. Mimpi apa ia semalam?
Dahayu melanjutkan langkah ke kelas sambil mengulum senyum.
Gadis itu meletakkan tas selempang abu-abu kusam di atas bangku dengan hati-hati. Tas itu terlihat berat dan mencetak sebentuk buku tebal pada permukaannya.
Berpasang-pasang mata meliriknya saat gadis itu melewati ambang pintu kelas. Beberapa siswa laki-laki bahkan mengerling takjub, sementara siswa perempuan menatapnya sinis. Kasak-kusuk dalam suara rendah mulai terdengar. Dahayu menulikan pendengarannya agar bahagia yang sedang dirasakan tak terusik. Ia tahu persis apa yang sedang teman-temannya gunjingkan. Berita memang jauh lebih cepat menyebar, bahkan sebelum kakinya menjejak kelas.
Dahayu menghela napas panjang, lalu menghempaskan bokongnya ke kursi dengan wajah tertunduk, tak memedulikan puluhan pasang mata yang menyorot penuh penghakiman. Beberapa detik kemudian, bel tanda masuk pun berbunyi panjang.
***
Dahayu bergegas menuju toilet perempuan yang letaknya paling jauh dari kelas saat bel tanda istirahat berbunyi. Ia membawa serta tas selempangnya sembari berlari menyusuri koridor sekolah yang masih sepi.
Lokasi toilet perempuan itu terletak di salah satu sudut sekolah yang diapit gedung perpustakaan dan gudang sekolah. Karena letaknya, toilet itu selalu sepi, meski pada jam istirahat seperti ini.
Dahayu sengaja memilih toilet ini agar tidak bertemu dengan siswa lain. Ia hendak melakukan sesuatu yang penting, selain membasuh wajahnya untuk mengenyahkan kantuk.
Gadis itu meletakkan tas selempangnya perlahan pada sisi wastafel. Tak ingin merusak apa yang bersemayam di dalamnya. Ia memutar keran air, kemudian membasuh tangan serta wajah. Dinginnya air seketika berhasil menghilangkan kantuk yang menggelayuti matanya sepanjang pelajaran tadi.
Bunyi pintu toilet yang terbanting membuka mengagetkan Dahayu. Gadis bersurai pendek itu sontak mengangkat wajah dan menatap pantulan cermin di depan wastafel dengan mata membelalak.
Netra hitamnya menangkap sosok tiga gadis berseragam putih abu-abu datang mendekatinya dengan langkah mengintimidasi. Pintu toilet tertutup. Dikunci dari dalam oleh salah seorang gadis yang bertubuh paling jangkung. Wajah Dahayu seketika memucat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menanti apa yang akan dilakukan ketiga gadis itu padanya.
Salah satu gadis yang bersurai panjang kecokelatan mendekatinya lebih dulu. Tanpa basa-basi gadis itu menarik rambut Dahayu dengan sekali sentakan keras.
Dahayu menjerit.
"Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau kamu jatuh dari jurang. Kamu, kok, bisa balik lagi?!" hardik Emily berang.
Dahayu bungkam. Wajahnya terlalu datar untuk seorang gadis yang sedang dilanda ketakutan, kepalanya mendongak dengan tidak wajar akibat surainya yang ditarik paksa.
Seorang gadis berkepang dua tiba-tiba muncul dari balik punggung Emily. Gladys melipat kedua lengannya di dada. Matanya memicing pada gadis yang sedang meringis kesakitan itu.
"Gengs, coba lihat keningnya! Tanda lahirnya udah nggak ada lagi!" jerit Gladys takjub. Iris mata abu-abu palsunya fokus pada kening mulus Dahayu. Seolah tak puas dengan penglihatannya sendiri, gadis itu juga menyentuhkan jarinya di sana. "Kamu apakan lukanya? Jangan-jangan bener, deh, kata anak-anak, kamu oplas, ya? Oplas di mana, sih? Aku pengen juga!"
Seorang gadis lainnya maju ke samping Gladys, ikut mengamati kening Dahayu. Namun, sesaat ia mendengkus sembari memutar bola matanya. "Otakmu itu coba dipakai sedikit, Dys. Mana ada operasi plastik yang langsung sembuh kurang dari 24 jam tanpa bekas!" gerutu gadis bernama Silviana seraya berkacak pinggang.
"Wah. Berarti kamu pake susuk, ya? Enggak takut apa dikejar setan? By the way, dukunnya keren. Hasilnya bagus banget!" seru Gladys kegirangan sendiri. Namun, kegirangannya menguap saat Emily dan Silviana menghunjamkan tatapan tajam padanya. Gadis dengan rambut terjalin itu melengos.
"Maaf, beb," sahut Gladys dengan bibir mengerucut.
"Jawab kalau ditanya!" bentak Silviana pada Dahayu. Gadis dengan potongan rambut bob yang berdiri di samping Gladys itu melotot geram.
Binar jahat mendadak muncul pada bola mata kelam Silviana. Ia membuka tutup minuman kopi dingin yang ada di genggamannya, lantas menyiramkan isinya ke atas kepala Dahayu. Senyum licik mengembang di bibir tipis Silviana yang kemerahan karena polesan lipstik.
Emily sontak melepaskan cengkramannya dari rambut Dahayu dan mundur beberapa langkah. Emily dan Silviana terkekeh bersamaan seolah kejadian barusan adalah hiburan, sementara Gladys menjerit kecil seraya membersihkan sedikit percikan kopi dingin yang mengenai rok abu-abunya.
Dahayu menggigil saat kopi dingin dengan beberapa bongkah es batu mengguyur kepala dan mengalir turun hingga bagian atas seragamnya. Seragam putihnya kontan berubah warna menjadi cokelat. Gadis itu memeluk tubuhnya yang menggigil. Perasaannya dongkol bukan kepalang. Ia tidak menangis dan tak sedikit pun merasa gentar, matanya malah melotot menantang ketiga gadis pelaku perundungan di hadapannya.
"Berani kamu melototin kami?" Tingkah Dahayu menyulut bara dalam dada Silviana. Tawa gadis itu menguap begitu saja.
Dengan kasar ia mendorong tubuh Dahayu. Tubuh basah gadis itu menabrak pinggiran wastafel. Dahayu meringis sembari menekan pinggangnya yang berdenyut nyeri.
"Rasain!" desis Gladys seraya mengibaskan kipasnya cepat. Kegerahan akibat terkurung di toilet membuat gadis bersuara cempreng itu mengeluarkan kipas andalannya.
Emily menarik kerah baju Dahayu dengan kasar. Ia mendekatkan wajahnya pada gadis yang kini basah kuyup dan beraroma kopi itu.
"Aku peringatkan lagi, ya. Jangan dekat-dekat sama Rafael. Dan jangan sok kecakepan, ya, jadi cewek! Walaupun tanda lahir kamu sudah hilang, kamu tetap bukan siapa-siapa!" cemooh Emily dengan tatapan merendahkan. Gadis itu melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Dahayu dengan sedikit dorongan.
Tubuh Dahayu kembali membentur wastafel di belakangnya. "Aku nggak pernah sengaja deketin Rafael," sahutnya acuh seraya membersihkan sisa-sisa kopi yang telah meresap pada seragam putihnya.
"Kamu nantangin Emily?" Kemarahan Silviana benar-benar berkobar sekarang. Ia melayangkan tamparan keras pada salah satu pipi Dahayu.
Dahayu mengerang. Pipinya memerah karena bekas tamparan Silviana. Gadis dengan potongan rambut pendek itu melotot memandangi Silviana. Marah. Kebencian memancar jelas pada sepasang manik obsidiannya. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak sepatah kata pun yang terucap.
"Apa? Kamu mau balas aku? Berani kamu sama aku?! Aku bisa lapor ke papa supaya beasiswa kurang mampu kamu dicabut!" tantang Silviana dengan suara cemprengnya yang bernada tinggi.
Dahayu terkesiap. Sorot matanya berubah sayu. Gadis itu membuang pandangannya pada lantai toilet yang lembab dan berlumut. Ia bukan apa-apa dan tak pernah memiliki apa-apa. Perkataan Silviana barusan benar-benar menampar kesadarannya.
Suara tawa meremehkan bergema di dalam toilet itu.
"Makanya jangan belagu jadi cewek! Mentang-mentang codetnya sudah hilang jadi berani banget melototin Silviana!" ejek Gladys seraya memukul kepala Dahayu dengan gagang kipasnya.
Darah Dahayu sungguh mendidih, tetapi ia tak ingin lagi berurusan dengan putri pemilik yayasan sekolah itu. Tanpa beasiswa, ia tidak akan pernah bisa sekolah. Dahayu menundukkan wajahnya. Lagi-lagi merutuki kesialannya dalam diam. Hatinya sungguh perih. Ia tidak ingin menangis, tetapi setetes air bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya.
Tiba-tiba Emily kembali menarik kerah bajunya kasar. Dahayu tersentak. Tatapan nanarnya beradu dengan netra bengis gadis berambut panjang itu.
"Ingat, ya. Ini urusan kita. Jangan ngadu sama siapa pun tentang masalah kita. Atau nasibmu bisa lebih buruk dari sekedar jatuh ke dasar jurang. kamu dengar, 'kan?!" ancam Emily.
Dahayu bergeming.
"Jawab!" bentak Emily sengit.
Dahayu mengangguk pelan, tak bersungguh-sungguh. Ia hanya muak dengan tingkah ketiga gadis ini. Ia ingin cepat-cepat keluar dari toilet terkutuk ini dan pulang ke rumah.
Setelah Dahayu mengangguk, Emily sontak melepaskan cengkraman. Ketiga gadis itu melangkah pergi meninggalkan gadis malang yang kini meratapi seragam bernoda coklatnya. Bunyi berdebam tertinggal saat ketiga gadis itu melewati dan membanting pintu toilet.
Dahayu menyeka air matanya dengan perasaan getir. Ia berbalik menatap sosoknya yang sangat mengenaskan pada cermin di atas wastafel. Tidak mungkin ia melanjutkan pelajaran dengan penampilannya saat ini. Gadis itu mengembuskan napas panjang lalu meraih tas selempangnya.
* * *
"Dahayu, kamu kenapa?" tanya sebuah suara yang memburunya di balik punggung.
Gadis itu menoleh sekilas, lalu mempercepat langkahnya begitu mengetahui siapa yang mengikuti. Siapa lagi, Dahayu hanya memiliki satu teman di sekolah.
Bunyi langkah kaki terdengar semakin cepat. Orang itu berlari di belakang Dahayu.
"Mau apa?" bentak gadis itu kesal. Ia berbalik dengan enggan dan menghentikan langkah. Napasnya memburu. Entah kenapa kemarahan seketika terbit begitu melihat sosok Ryo yang kini telah berdiri di hadapannya.
"Ini ulah Emily lagi?" tanya Ryoichi penuh selidik. Netranya memerangkap mata Dahayu beberapa detik, sebelum akhirnya gadis itu membuang muka.
Ryo hendak menyentuh rambut Dahayu, tetapi kalah sigap dengan tepisan gadis itu.
Ryo terkesiap.
Dahayu melotot marah. "Jangan ganggu aku. Ini bukan urusan kamu!" desisnya. Ia langsung berbalik dan meninggalkan Ryo. Tak ada gunanya berbicara dengan siapa pun saat mood sedang berantakan seperti ini. Terlebih dengan sahabatnya. Gadis itu hanya ingin pulang dan mengunci diri di kamar.
Tanpa berkata apa-apa, Ryo menyusul Dahayu. Dengan cepat, ia lepaskan jaket yang dipakainya, lalu menyampirkannya ke bahu gadis itu.
Dahayu terkesiap. Hatinya menghangat seketika, tetapi ia urung memelankan langkah ataupun menoleh. Tanpa kata, ia mengeratkan jaket Ryo ke tubuhnya yang setengah basah.
Apapu alasannya, please jangan melakukan bullying. Kamu gak akan tahu seberapa hancur orang yang kamu serang mentalnya, oke?? 😘
Jangan lupa vote yaaa dan kasih komentar supaya aku semangat nulisnya.
Terima kasih banyak sudah mampir di sini 😊🤗♥️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top