2. Dahayu Gantari

Jam berwarna krem kusam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit dini hari.

Paulina berjalan mondar-mandir. Wajahnya keruh. Salah satu tangannya berkali-kali menekan panggilan ulang pada gawai yang ia genggam. Sementara tangan lainnya berkacak pinggang.

"Handphone-nya nggak aktif, Ma. Udah Mayang coba hubungi dari tadi, kok!" decak gadis berponi yang duduk di hadapan Paulina. Ekor matanya mengikuti gerak-gerik sang ibu. Ia dongkol mengamati perempuan paruh baya yang panik seperti orang kebakaran jenggot.

"Ya, siapa tahu sudah bisa dihubungi!" sahut perempuan paruh baya itu ketus tanpa mengalihkan pandang dari layar gawai yang bercahaya.

"Aku coba cari sekali lagi di sekitar sekolah, deh, Tante. Siapa tahu dia sudah datang dan ikut rombongan study tour yang lain," cetus remaja laki-laki yang duduk di seberang meja tamu, di hadapan Mayang. Ryoichi membenarkan letak kaca matanya yang sedikit melorot. Ia hendak beranjak dari duduknya, tetapi Mayang menahan tangannya.

"Kamu baru pulang dari study tour, Ryo. Nanti kamu kecapean dan kenapa-kenapa gimana? Kita juga yang repot. Tungguin dulu aja!" cegah Mayang.

Gadis berwajah oriental itu membelalakkan matanya sekilas pada Ryo, memberi kode agar remaja laki-laki itu tidak beranjak dari duduknya. Bagaimanapun, Ryo adalah teman sekelasnya sekaligus tetangga kontrakan di samping rumah. Mereka sama-sama baru pulang dari Study Tour SMA Matahari ke Bali, walaupun berbeda rombongan.

"Sialan!" umpat Paulina seraya menekan benda pipih itu dengan kasar. Lagi-lagi panggilannya tak tersambung. Ia nyaris membanting gawai itu, kalau saja sang suami tidak dengan sigap menahannya. Perempuan itu menggeram. "Kalau dia pulang, akan kujambak dia! Dasar anak nggak tahu diuntung!" semburnya kesal.

"Udah, deh, Ma. Paling juga dia jalan-jalan sendiri. Dia 'kan sudah besar. Nanti juga dia balik, kok. Kalau dia nggak bisa pulang pasti menghubungi kita. Dia 'kan nggak punya siapa-siapa lagi selain kita!" sergah sang suami sembari meloloskan dengkusan kasar di ujung kalimat. Matanya memerah menahan kantuk sedari tadi, tetapi tak bisa tidur karena sang istri yang bersikeras untuk menanti kepulangan Dahayu. Harusnya gadis itu sudah pulang pukul sembilan malam, seperti Mayang dan Ryo.

"Tante, aku pergi dulu cari Dahayu," putus Ryoichi seraya memanggul kembali tas punggungnya. Seragam putih abu-abunya sangat berantakan. Wajah orientalnya kuyu dan lelah. Remaja laki-laki itu berjalan ke arah pintu depan rumah keluarga Marcus dengan wajah datar, ketika suara ketukan mendadak terdengar.

Paulina, Marcus, dan Mayang saling melempar pandang.

Ryoichi melepaskan tas punggungnya dan berjalan cepat ke arah pintu. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya sangat berharap jika yang datang adalah gadis itu.

Bunyi derit pintu bergema di ruang tamu kecil keluarga Marcus. Cahaya lampu teras yang tidak terlalu terang menampilkan sosok gadis remaja yang berdiri canggung di depan pintu.

"Dahayu, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Ryo sembari menatap intens sosok gadis di depannya. Pemuda itu sedikit mengembuskan napas lega saat mendapati sahabatnya baik-baik saja.

Gadis berambut pendek itu membalas tatapan Ryo, nanar. Bibirnya bergetar tetapi tak sepatah kata pun yang mampu Dahayu ucapkan. Ia begitu ingin menangis dan menghambur ke dalam pelukan Ryo saat itu juga. Andai saja tidak ada paman, bibi dan Mayang, ia pasti sudah melakukannya.

Aku benar-benar selamat. Aku benar-benar masih hidup dan kembali ke rumah ini. Hatinya bersorak. Lirih. Refleks genggaman tangannya meremas rok abu-abu yang sedang ia kenakan.

Dahayu melangkahkan kakinya perlahan melewati ambang pintu, tak mengindahkan sorot penghakiman dari bibi, paman dan Mayang.

"Dari mana saja kau, Gadis Sialan!" hardik Paulina yang entah sejak kapan menyambut kedatangannya di depan pintu dengan berkacak pinggang. Salah satu lengan sang bibi menarik rambut pendek Dahayu hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Ma, udah, deh. Dahayu baru pulang. Syukur-syukur dia ingat pulang. Nggak usah pakai drama segala, deh, Ma!" decak Mayang seraya memutar bola matanya.

Paulina melepaskan cengkraman tangannya dari rambut Dahayu dengan kasar. Sorot matanya masih menghunus tajam pada gadis itu. "Kamu dari mana aja? Kata Mayang, kamu memisahkan diri dari rombongan study tour setelah ketemu sama seorang cowok? Kamu ngapain, Yu? Bikin malu aja!" hardik Paulina seraya menuding wajah gadis itu.

"Bukan aku yang bilang, Ma. Aku nanya Gladys, Gladys bilang gitu!" kilah Mayang cepat.

Dahayu mendengkus. Sebenarnya, ia hanya ingin diam saja dan tak mengacuhkan pertanyaan apa pun terlontar dari mulut sang bibi. Namun, begitu mendengar nama salah seorang trio gadis perundung yang membuatnya jatuh ke jurang saat study tour, darahnya langsung mendidih. "Gladys bohong!" bantahnya dengan tatapan nyalang.

Ryo mendekatinya. Tangan remaja laki-laki itu terangkat untuk menenangkan gadis itu. Namun, kalah cepat dengan tepisan Dahayu.

"Aku nggak salah, Bi! Gladys dan teman-temannya yang ngerjain aku!" lanjutnya dengan napas memburu.

"Ngerjain bagaimana?! Jangan ngeles deh kamu, Dahayu!" Paulina tak kalah sengit. Matanya menyala. Sang bibi menyorot sekujur tubuh Dahayu dari atas hingga ke bawah, menilai pengakuan hadir itu. Namun, tentu saja ia tak menemukan tanda-tanda jika gadis itu mengalami kecelakaan.

Dahayu terkesiap saat menyadari sesuatu. Ia segera memeriksa seluruh anggota tubuhnya. Semua luka-lukanya telah sembuh tanpa bekas. Alhasil, ia tidak bisa mengadu jika Gladys dan teman-teman yang mengerjainya. Tidak ada bukti sama sekali.

Gadis itu mengembuskan napas panjang. Emosinya seketika mereda. "Ma-maaf, Bi. Aku pulangnya kemalaman ..." lirih Dahayu pada akhirnya.

Paulina berdecak kesal melihat tingkah keponakannya. Nyala di matanya perlahan-lahan meredup. "Lain kali, kamu harus kasih kabar, Yu! Handphone kamu, tuh, diaktifkan. Bikin khawatir aja!" geramnya. Perempuan paruh baya itu memijit pelipis lelah. "Lihat, kerutan di wajah Bibi jadi bertambah gini. Kalo Bibi tua sebelum waktunya, kamu harus tanggung jawab!"

"Sudah, Ma. Ayo kita istirahat. Anak-anak juga perlu istirahat, malu didengar tetangga ribut-ribut tengah malam begini," bujuk suaminya. Laki-laki dengan rambut hitam bergelombang itu meraih pundak istrinya dan mendorongnya pelan menjauhi Dahayu.

Suasana hening sesaat.

Setelah paman dan bibi Dahayu masuk ke kamar, Mayang lantas mengikuti kedua orang tuanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Dahayu dan Ryo yang masih bergeming di ruang tamu.

Ryo membungkukkan punggungnya. Remaja laki-laki itu mengintip wajah Dahayu yang tertunduk lesu.

Dahayu sontak terperanjat. "Apa, sih?!" gerutunya kesal seraya mendorong wajah sahabatnya pelan. Alih-alih tersenyum, tingkah laku Ryo malah membuat gadis itu mengerucutkan bibir.

Ryo meluruskan punggungnya kembali. Remaja laki-laki itu mengulum senyum. Kelegaan jelas terpancar dari kedua netra kelamnya.

"Ini ulah Emily, Gladys dan Silviana lagi, 'kan?" tanya Ryo memecah hening di antara mereka.

Dahayu mengangkat wajah. Iris mata hitam mereka beradu. "Enggak ada yang bakal percaya kalau aku bilang begitu," sahutnya.

"Aku percaya!" bantah Ryo tegas. Tatapannya tajam dan begitu yakin.

Dahayu membuang pandangannya, menghindari kesungguhan pada netra itu. "Aku nggak peduli. Hidupku kayak sampah!" gumamnya pelan, lebih kepada diri sendiri. Air mata kembali terbit di pelupuk matanya.

"Tapi aku peduli, Yu. Kamu selalu bisa cerita sama aku," ucap Ryo lirih.

Dahayu menatap sengit pada sahabat kecilnya itu. "Tapi kamu nggak bisa nolong apa-apa. Jadi jangan sok peduli sama hidup aku, Ryo!" sungutnya.

Ryo menggeleng pelan, frustasi akan sikap sahabatnya. "Kamu nggak pernah bilang ke aku kalau kamu butuh pertolongan, Yu. Harusnya kamu ngomong," sesalnya.

Dahayu menatap netra Ryo tak percaya. Namun, gadis itu hanya mampu menggeram, tanpa mengucapkan apa-apa.

"Aku capek! Aku mau istirahat!" ucap Dahayu akhirnya.

Ryo mengangguk pelan. Tanpa kata, ia undur diri dari ruang tamu kediaman keluarga Marcus. Punggungnya menghilang di balik pintu.

* * *

Dahayu menutup pintu kamarnya dengan bantingan keras serta melemparkan tas sekolahnya ke atas ranjang. Beruntung tidak ada protes dari luar kamar karena sepertinya paman, bibi dan Mayang sudah terlelap di kamar mereka masing-masing.

Gadis itu menangkap pantulan dirinya di cermin berukuran setengah badan yang tergantung tepat di dinding yang berseberangan dengan pintu kamar. Rambut pendeknya yang sebatas telinga terlihat berantakan. Demikian juga dengan seragam putih abu-abunya yang tak lagi menyusup rapi pada pinggang roknya. Namun, tidak terlihat bekas tanah maupun darah sedikit pun. Tak ada yang akan percaya jika ia mengaku baru saja selamat dari jurang kematian.

Sekali lagi, Dahayu memeriksa sekujur tubuhnya, barangkali ada bekas-bekas luka yang tertinggal. Namun, nihil. Ia tak menemukan apa pun. Rasa sakit dan nyeri dari tulang-belulangnya yang patah pun sama sekali menghilang.

Dahayu menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan takjub.

Gadis itu mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajah pada cermin. Netranya menyisir tiap jengkal bayangan wajah berekspresi datar yang terpantul di sana. Satu tangannya kemudian menyibak sedikit rambut yang jatuh menutupi kening sebelah kiri. Tanda bintang kecil kemerahan itu masih bertengger manis di sana seolah mengejeknya. Tanda lahir yang membuat hidupnya mengerikan. Tanda lahir pembawa sial.

Tanpa sadar, Dahayu menekan keras tanda itu dengan jarinya sendiri. Bibirnya mengatup kuat, hingga rahangnya beradu. Betapa ingin ia mengenyahkan tanda itu agar hidupnya jauh lebih baik.

Apa buku sihir itu bisa membantunya, mengenyahkan semua kesialan dari hidupnya?

Gadis berkulit kuning langsat itu berbalik dari cermin, lalu menghempaskan bokongnya pada tempat tidur. Matanya melirik pada tas sekolah yang setengah terbuka.

Dengan sigap Dahayu mengeluarkan sebuah buku tebal dengan pendar keunguan pada sampulnya. Jayashree bilang buku ini adalah Buku Sihir Calon Arang. Ia mencoba mengingat-ingat pelajaran sejarah di sekolah dan mencari nama Calon Arang dalam memorinya. Kening gadis itu berkerut. Rasanya sulit sekali untuk mengingat. Bagaimanapun, otaknya memang terlalu lemah dalam hal belajar.

Dahayu meletakkan kitab tebal itu di atas paha. Perasaannya campur aduk, harap dan cemas. Andai saja Dahayu tak selamat dari jurang itu, barangkali ia akan sulit mempercayai semua ini. Jari jemarinya menyusuri permukaan sampul buku yang terasa keras dan kasar seperti terbuat dari kulit kayu. Tak sedikit pun jejak usia tertinggal di sana. Namun, saat sampul itu terbuka, kertas kuning kusam dengan banyak bercak kecokelatan menunjukkan betapa usangnya buku itu. Buku sihir ini tak seperti buku mana pun yang pernah ia lihat.

Obsidian Dahayu mengamati sebuah ukiran wajah menyeramkan terpatri di permukaan sampulnya. Sebuah wajah perempuan dengan mata melotot, lidah menjulur dan rambut panjang yang berantakan. Gadis itu seketika bergidik. Bulu kuduknya meremang.

Dahayu menggeleng cepat berusaha mengenyahkan rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya. Gadis itu kembali membuka halaman demi halaman sambil berusaha untuk tak memedulikan wajah seram yang terus membayang di benaknya. Huruf-huruf asing berwarna keemasan terpatri di sana membentuk cetakan dalam pada permukaan kertas. Jari-jemari Dahayu meraba huruf-huruf timbul tersebut. Kilau cahaya keemasan muncul saat ia mengangkat jarinya. Begitu indah dan magis. Ia terperangah. Mulutnya refleks membuka penuh kekaguman.

Dahayu kembali membolak-balikkan halaman kitab hingga ia tiba pada lembar kosong tanpa tulisan. Gadis itu meraba-raba permukaan kosong berwarna kecoklatan yang terasa kasar saat bersentuhan dengan kulitnya. Namun, tidak ada apa-apa di sana.

Terdapat perbedaan mencolok dari halaman kosong paling awal dan lembar kosong selanjutnya. Permukaan kertas yang sebelumnya telah ditetesi darah terlihat lebih gelap dari pada yang lain. Sebuah pemikiran terlintas di kepalanya.

Gadis itu lantas meraba sekilas keningnya yang dihiasi tanda lahir. Dahayu menggigit bibir bawahnya seraya menimbang sesuatu.

Apakah kitab ini bisa menghilangkan tanda lahirku? Tapi aku tidak akan tahu jika aku tidak mencobanya, 'kan? Aku muak dengan semua kesialan ini!

Dengan cepat Dahayu meraih sebilah pisau kecil tanpa gagang dari laci di samping ranjang lalu mendekatkannya pada ujung jemari. Gadis itu menahan napas seraya menggores permukaan jarinya dengan mata pisau. Ia meringis, setitik darah segar menyembul dari permukaan jari telunjuk. Gadis itu lantas meneteskan darahnya pada salah satu halaman kosong Kitab Sihir Calon Arang.

"Dados rencang kulo, kancani kulo, melu ning donyaku."

Seulas senyum samar mengembang di bibirnya. Penuh pengharapan gadis itu bergumam lirih dalam hati. Tolong hilangkan tanda lahir di keningku ini, jadikan aku cantik!




Hai! Hai! Aku kembali dengan sebuah cerita fantasi irisan yang mengangkat mitologi Indonesia. Ceritanya tentang seorang gadis SMA yang melulu merasa sial dalam hidupnya tapi tiba-tiba ia menemukan buku Sihir Calon Arang yang dapat mengabulkan 7 keinginannya!! 🥺 Ayo yang gak tau siapa itu Calon Arang coba google dulu, kalo nggak nonton aja filmnya Susana deh😆🤭

Kalo suka dan tertarik, please vote dan tinggalkan jg jejak cinta kalian di sini biar aku gak rindu, ehh 🤭 Kritik dan sarannya juga diterima loh😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top