1. Buku Sihir Calon Arang
Bunyi gemuruh bersahut-sahutan samar di balik tirai hujan yang sangat deras. Kilat menyambar beberapa kali, menyisakan terang sekilas, kemudian pekat yang absolut. Sesekali angin kencang bergulung-gulung membawa terbang dedaunan dan ranting pohon yang rapuh, bersatu dalam gempuran hujan yang sepertinya akan turun semalaman.
Dahayu menggigil dihantam hujan dan angin, matanya masih terpejam. Tubuhnya yang tertelungkup terkulai lemas di atas tanah berlumpur. Ia menggeliat pelan, berusaha menekuk tubuhnya untuk menghalau dingin barang sejenak. Namun, gadis itu tak berdaya, tubuhnya terasa kaku dan kebas.
Gadis itu membuka matanya susah payah. Gempuran hujan membuat kelopak matanya terasa berat. Gadis itu mengerjap ketika perih menghalau pandangannya.
Dahayu kembali menutup kelopak matanya, lalu membuka lagi, berkali-kali. Namun sia-sia, tidak ada visual yang dapat ditangkap dengan jelas oleh retinanya. Yang terlihat hanyalah gelap.
Saat kilat tiba-tiba menyambar salah satu sudut jurang, barulah Dahayu dapat melihat dalam temaram, siluet pepohonan besar, dedaunan basah, serta jalanan hutan yang sebagian besar terendam air. Ia mengerang tanpa suara begitu segenap kesadarannya terkumpul. Tubuhnya terasa remuk dan hancur. Rasa sakit dan nyeri di mana-mana seolah membelenggu pergerakannya.
Dahayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Gadis itu mengumpulkan sisa tenaga dan semangat hidup yang ia punya, lalu menyeret tubuhnya susah payah dengan bertumpu pada kedua lengan yang ditekuk. Ia tidak tahu hendak ke mana, barangkali ada sedikit peruntungan untuk menemukan jalan keluar jika Dahayu terus bergerak.
Gadis itu mulai terisak saat jalan keluar yang diharapkan tak kunjung ia temui. Sementara rasa sakit dan dingin semakin kentara menggerogoti tubuhnya. Ia nyaris tak sanggup bergerak lagi. Kesadarannya hilang datang silih berganti. Bau anyir darah yang menusuk penciuman seolah mengukuhkan keadaannya yang sangat mengenaskan. Mual menyesak di tenggorokan. Perlahan tapi pasti, Dahayu mulai frustrasi.
Apa aku akan mati sebentar lagi? Sungguh aku tidak sanggup ....
Ingatan terakhir mulai berkelebat di kepala. Detik-detik sebelum kengerian ini menimpanya. Kapal penyeberangan yang membawa mereka menuju Bali, teman-teman sekelasnya yang tidak begitu peduli akan keberadaannya, lalu bus pariwisata yang tiba-tiba berhenti karena harus mengganti ban. Ia yang sedang termangu menatap jendela mendadak diseret paksa ke sebuah tempat sepi. Seringai terakhir Emily, Gladys dan Silviana yang selalu membuat hari-harinya di SMA bagaikan di neraka, akan selalu ia ingat sebelum tubuhnya melayang jatuh ke dalam kegelapan jurang.
Seketika hati Dahayu mendidih. Sesuatu di dalam kepalanya membara. Ia tak boleh kalah. Tidak sekarang. Ia harus membalas ketiga gadis biadab itu.
Kilat kembali menyambar. Sekali lagi, terang menghampiri jurang kelam itu. Memori buruk itu seketika terusir dari pikirannya. Iris mata Dahayu menangkap siluet buku tebal yang memancarkan cahaya ungu, tak jauh dari posisinya. Entah dari mana asal buku itu. Bahkan, saat kilat telah berlalu, cahaya ungu itu masih tertinggal, berpendar dalam gelap.
Apa itu?
Jujur ia takut. Namun, pendar cahaya itu adalah satu-satunya benda yang dapat dijadikan penerangan. Ia harus memilikinya, bagaimana pun caranya. Berbekal harapan yang lebih besar daripada rasa takut, Dahayu mengulurkan lengannya.
"Aaarrkkkkhhh!"
Sedikit lagi. Jari-jemarinya nyaris menyentuh benda itu. Dahayu memaksa lengannya mengulur lebih jauh saat nyeri menyerangnya. Gadis itu menjerit jeri, suaranya tertelan hujan yang menderu semakin lebat. Akhirnya buku tebal bercahaya itu berhasil ia raih.
Dahayu terpana sesaat. Jari-jemarinya yang penuh luka menyentuh cahaya keunguan pada sampul kitab yang sekeras kulit kayu itu. Matanya memicing dalam temaram cahaya, berusaha melihat sebuah gambar timbul yang terpatri sana.
Tiba-tiba sebuah bola cahaya berwarna serupa melompat keluar dari buku tebal yang mendadak terbuka. Cahayanya menari-nari di tengah tirai hujan, membentuk siluet sesosok manusia tanpa wajah yang kentara. Sosok itu tak menjejak tanah, tak juga tersentuh hujan. Sepasang mata merah menyalanya terbuka pelan. Mata tanpa bola itu menatap lurus pada Dahayu.
Hantu?!
Dahayu melotot ngeri. Andai saja kakinya bisa digerakkan, ia pasti sudah lari terbirit-birit detik itu juga.
Makhluk itu kini menyeringai padanya. "Terima kasih telah membebaskanku, Wahai Manusia!" sapanya dengan suara parau yang menggelegar.
Tubuh Dahayu gemetar. Tangis lirih mulai mengalun dari mulutnya. "Jangan bunuh aku. Tolong ... jangan bunuh aku!"
Makhluk dengan tubuh cahaya berwarna ungu itu tertawa terbahak-bahak. "Perkenalkan ... namaku adalah Jayashree. Aku adalah penunggu Buku Sihir Calon Arang. Aku terbebas karena terkena tetesan darahmu!" lanjutnya, mengabaikan tangisan Dahayu.
"A-apa? Buku Sihir Calon Arang? Darah?!" ulang Dahayu di sela-sela tangisnya. Bahunya berguncang. Gadis itu melihat sekilas pada buku yang terpampang di hadapan, kemudian kembali beralih pada makhluk yang mengambang di antara tirai hujan. Seumur hidup, Dahayu tak pernah bertemu hantu, jin atau yang sebangsanya. Namun, barangkali makhluk ini dapat digolongkan ke sana.
"Manusia, dengarkan aku baik-baik! Kau bisa mengajukan tujuh permintaan pada tujuh halaman kosong di buku sihir itu. Caranya teteskan darahmu pada tiap halamannya sambil ucapkan mantra 'dados rencang kulo, kancani kulo, melu ning donyaku', kemudian sebutkan keinginanmu sebelum makhluk yang muncul dari dalam kitab menghilang. Jangan khawatir, makhluk-makhluk yang keluar dari kitab itu tidak akan menyerangmu. Apa pun yang kau inginkan pasti akan terkabul. Apa pun!" ucap Jayashree lantang, menantang bunyi hujan deras yang tak kunjung reda.
"Pe-permintaan apa pun?!" tanya Dahayu terbata-bata, seolah tak percaya. Tiba-tiba tubuhnya didera rasa sakit yang teramat. Gadis itu mengerang lirih. Tubuhnya menggeliat gusar menahan nyeri yang semakin kentara.
"Benar. Apa pun!" Seringai mengerikan terpatri pada mulut Jayashree yang serupa lubang hitam. Makhluk itu memberi jeda pada ucapannya. "Tapi kau harus menyetujui sebuah kesepakatan. Setelah semua keinginanmu terwujud, jagalah buku sihir itu sampai aku sendiri yang datang menjemputnya!"
Dahayu bergeming. Netranya masih terpaku pada makhluk astral itu. Namun, pandangannya tak lagi fokus. Kesadarannya mulai terganggu. Gadis itu hanya mampu mengedip lemah sebagai tanda setuju.
"Bagus! Tapi kau harus ingat, segala sesuatu yang fana akan segera hilang, sementara yang abadi akan tertinggal sepanjang usia," imbuh Jayashree memberi sebuah pesan perpisahan.
Perlahan-lahan sosok itu semakin samar, kemudian menghilang seolah ditelan tirai hujan. Jurang itu kembali temaram.
Tatapan Dahayu mulai meredup. Napasnya tersengal. Rasa sesak menghantam dadanya.
Aku harus bertahan. Aku harus hidup. Aku harus membalas mereka!
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Dahayu membalik halaman Buku Sihir Calon Arang yang dimaksud Jayashree. Netra sayunya menangkap deretan tulisan timbul bercahaya keemasan yang sama sekali tak ia mengerti. Gadis itu terus membalik halaman demi halaman hingga terpampang bagian buku yang hanya berisi lembaran kosong.
Dahayu menyentuh permukaan salah satu halaman kosong kitab itu. Setetes darah segar menitik pada halaman yang kuning kecoklatan. Tetesan darah pekatnya sontak menghilang tanpa bekas seolah terhisap masuk ke dalam halaman buku.
"Dados rencang kulo, kancani kulo, melu ning donyaku ...."
Dahayu terkesiap.
Asap tipis perlahan muncul dan membumbung tinggi keluar dari halaman kosong itu. Asap aneh yang tak terpengaruh tirai hujan itu bergerak di udara membentuk siluet besar seperti harimau.
Dahayu sama sekali tak mampu menebak makhluk apa itu. Yang jelas, makhluk serupa harimau itu mengaum keras hingga membuatnya segera tersadar dan cepat-cepat menggumamkan keinginannya sebelum asap itu menghilang.
Tolong, sembuhkan seluruh lukaku dan bawa aku pulang ke rumah.
Pandangan Dahayu perlahan meredup. Tubuhnya menggigil hebat. Dingin dan rasa sakit mendera tubuh hingga kesadarannya seketika menguap, berganti gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top