Yang Tak Tertulis dalam Laporan
Pemandian air panas ini tak sebagus bayanganku.
Terlalu banyak orang, terlalu sedikit ruang di kolam. Ditambah sekarang musim liburan. Secara rasio, kepadatannya melebihi Jakarta. Oke, mungkin aku lebai. Namun, orang paling ekstrover sekalipun bakal risih kalau harus berenang berdesak-desakan dengan orang asing di tempat terbuka. Apalagi aku.
Tahu begini, apa bedanya dengan wahana kolam renang di dekat rumah? Pemandian air panas harusnya jadi tempat beristirahat yang santai dan tenang. Aku bertaruh ada pengunjung yang tidak hanya mandi, tapi juga kencing sembarangan. Daki mereka juga luntur ke mana-mana. Airnya sampai keruh begitu.
"Grey, nggak ikut mandi?" tanya Ibu.
Aku menggeleng tegas. Ibuku meringis, mencoba tersenyum, tapi aku tahu beliau juga jijik.
Ekskul jurnalistik (baca: Klub Jurik) memberiku tugas untuk mencatat pengalaman saat liburan. Sampai sekarang aku belum menulis apa pun soal kondisi tempat ini. Mau jujur, nanti pencemaran nama baik. Mau bohong, bingung juga. Jika saja pengunjungnya tak sebanyak ini, pemandian ini lumayan nyaman. Dulu aku dan Ibu pernah mengunjungi tempat ini saat sepi.
Haruskah kutulis pengalamanku pada kunjungan sebelumnya? Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sarana dan prasarana telah jauh berubah. Alin, si editor cerewet, juga menyuruhku merekam dan memotret. Dia pasti bakal ngomel-ngomel kalau tulisanku tak sesuai dengan hasil jepretan.
Ada satu fasilitas baru yang belum pernah kulihat: kamar mandi eksklusif. Maksimal hanya dua orang yang boleh masuk bersamaan. Namun, kebanyakan peminatnya adalah orang-orang tua berpenyakit kulit.
Kuajak Ibu keluar. Meski airnya terus mengalir dan tampak lebih bersih daripada kolam di luar, pikiranku tetap kotor. Bukan, bukan kotor yang itu. Sudahlah. Internet membuat arti kata yang harfiah tetap terasa ambigu.
Kami berjalan menyusuri mata air panas, menjauh dari pusat pemandian. Makin tinggi undak-undakan yang kami pijak, makin sedikit wisatawan yang kami temui. Pohon-pohon pinus tumbuh berjajar di sepanjang jalan setapak. Getahnya ditampung batok-batok kelapa yang terpasang rapi di bagian batang.
Di sini lebih tenang. Sejauh mata memandang, hanya ada hutan homogen, perbukitan, dan gunung yang masih tertutup awan. Tak ada yang istimewa, yang membuatku takjub hingga lari setengah telanjang sambil mengatakan, "Eureka!". Namun, ini berlipat-lipat lebih baik daripada lautan manusia di bawah. Alam tak butuh kata-kata manis dan kosmetik mahal untuk menjadi indah.
Kupotret setiap monyet dan lutung yang kutemui. Kuunggah dan kusebut akun instagram Red dan Alin, sambil mengklaim telah menemukan saudara mereka.
Di atas bukit, terdapat tanah lapang yang cukup luas untuk area perkemahan. Sisi-sisinya dipagar dengan terali besi yang diselimuti tumbuhan rambat berduri. Sebuah vila megah menjulang di latar belakang. Sesosok cewek pendek mengintip dari balik pintu gerbang.
"Grey?"
Aku pura-pura tak dengar.
"Grey!"
Dia malah tambah antusias.
Aku pun lari. Tak salah lagi. Dia Poppy Puspitasari. Cewek yang secara langsung dan tak langsung menyeretku dalam berbagai masalah di sekolah. Entah kenapa dia di sini. Aku tak peduli.
Lama berputar-putar, tenagaku habis. Poppy berhasil meraih lenganku. Aku mungkin lebih cepat, tapi staminanya jauh lebih kuat.
"Kamu kenapa lari?" tanyanya.
"Suka-sukaku, lah. Kau sendiri yang repot-repot ngejar."
"Ih, kan kamu yang pertama lari. Ya aku kejar dong." Ia menggembungkan pipi.
Sementara itu, ibuku berjalan tergopoh-gopoh menyusul kami.
"Kamu ini ya. Sudah SMA tapi masih kayak anak TK. Ketemu teman bukannya nyapa malah main kabur aja," tegur Ibu sambil menatapku.
"Hai, Tante. Apa kabar?" tanya Poppy. Ia dan Ibu saling berbasa-basi. Rupanya Poppy juga tengah liburan bersama keluarganya di vila megah itu. Di mana ada Poppy, di situ ada sepupu cowoknya yang menyebalkan. Rendy Prakoso. Taraf menyebalkan Rendy sama dengan Poppy dikali dua. Aku memberi Poppy sedikit nilai plus karena dia imut.
Kebetulan yang mengerikan. Seakan-akan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Usai mendengar cerita ibuku, Poppy berkata, "Oh, berarti kalian udah masuk kolam pemandian?"
Aku dan Ibu saling lirik. Lalu kubalas, "Boro-boro. Bisa dapat parkiran pun untung."
"Pfft, lagian kamu datang pas lagi ramai-ramainya. Untung kamu ketemu aku. Yuk masuk. Kami juga punya kolam air anget langsung dari sumbernya lho. Nanti motor kalian biar ajudan Papi yang ambil."
"Waduh, gimana ya. Saya jadi—"
"Tidak mau," potongku sebelum Ibu selesai bicara. Beliau melirik tajam. Jelas-jelas Ibu ingin sekali mandi air hangat di tempat orang kaya sekaligus bosnya, tapi tidak enak kalau berterus terang. Sebaliknya, aku lebih baik pulang daripada menikmati properti keluarga Prakoso. Jangan tanya kenapa.
Poppy tertunduk lesu. Sesekali matanya curi-curi pandang. Aku tahu ia hanya pura-pura sedih agar Ibu ikut membujukku, dan dia berhasil. Ibu beberapa kali menyenggol pinggang dan menginjak kakiku.
"G-Grey yakin nggak mau mampir?" tanya Poppy sekali lagi. "Ada K-Karina juga lho."
"Karina? Buat apa dia liburan bersama kalian?"
Gadis itu hanya memalingkan muka sembari menggigit bibir. Tak ada tanda-tanda kebohongan. Namun, muncul sedikit raut penyesalan.
***
Akhirnya kami pun mampir. Ibuku larut dalam percakapan dengan kolega-koleganya di kantor, yakni orang tua Rendy dan Poppy. Aku duduk di balkon lantai dua, melihat orang-orang menunggangi kuda.
Grup chat Klub Jurik penuh dengan foto-foto liburan. Terutama Red dan Alin. Keduanya bertamasya di tempat wisata outbound. Alin mencoba berbagai permainan seperti flying fox, bungee jumping, hingga arung jeram, sementara Red cuma jadi kamerawan. Si pengecut. Aku sengaja tak ikut agar ia bisa lebih dekat dengan Alin, tapi dia sendiri tak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Red pula yang menyarankanku pergi ke pemandian. Aku jadi curiga ia tahu keluarga Poppy berlibur di sini.
Kuhubungi Red via panggilan video. Ia dan Alin sedang makan siang.
"Gimana bulan madumu sama Alin? Kenyang?" tanyaku.
[Ssst! Grey, jangan keras-keras. Kenapa sih tiba-tiba? Nyesel ditinggal sendiri?]
"Mending kalau sendiri. Kau tahu kan keluarga Poppy juga ke sini? Ngaku."
Red tertawa.
[Kau ketemu Poppy? Bagus dong. Masalahnya apa?]
"Masalahnya aku belum bertemu kau. Kalau ketemu, kutonjok mukamu."
Alin ikut menimbrung.
[Poppy yang pertama nanya Grey bakal liburan ke mana. Tahu sendiri kan, aku nggak bisa bohong semulus kamu. Tapi kalau mau berantem, ayo.]
"Betul sekali!" Poppy berteriak di dekat telinga. Ia merangkul dan mendekatkan wajahnya ke layar ponselku. Cepat-cepat kuputuskan sambungan. "Ih, Grey peliiit!"
Aku tak menggubris. Ia datang bersama Gita dan Rendy. Ketiganya memakai helm beserta pelindung siku dan lutut. Poppy mengajak kami berkuda. Namun, ada yang kurang.
"Mana Karina?" tanyaku. Biasanya ia sepaket dengan Gita.
"Masih nggak enak badan," balas Gita. "Biasa. Mabuk darat."
"Ayo cepetan! Nanti keburu gelap!" seru Poppy. Ia dan Rendy sudah menunggangi kudanya masing-masing.
Aku satu-satunya yang tak bisa mengendarai kuda. Pilihanku antara membonceng Gita, Rendy, atau Poppy. Gita mustahil. Ia benci disentuh cowok. Bisa-bisa ia panik dan membuatku terlempar dari punggung kuda. Rendy maniak kebersihan. Saat bersalaman denganku saja, ia langsung mengelap tangannya dengan tisu basah. Satu-satunya pilihan adalah membonceng Poppy. Kalau kutolak, ia bakal mengadu ke ibuku.
Rombongan kami melangkah naik turun mengitari bukit. Rendy memimpin perjalanan, Gita nomor dua, menyisakan aku dan Poppy di posisi buncit.
Ini kali pertama aku menaiki kuda. Jujur, aku bingung harus memegang apa. Postur gadis di depanku agak meragukan untuk dijadikan pegangan. Salah-salah malah kena bagian yang (tidak) diinginkan.
"Grey, maaf ya udah ganggu waktu liburanmu," ucap Poppy.
Sebenarnya, ini tak seburuk yang kupikirkan.
"Kamu nggak benci aku, 'kan?"
"Jangan salah paham. Aku cuma menganggapmu berbahaya. Meski kau seimut beruang, aku tak seharusnya mendekatimu tanpa pawang."
"Yah. Sama aja dong."
"Tak usah diambil pusing. Aku lebih benci diriku sendiri."
Poppy terkekeh. Tawanya mirip decitan kaca ketika dilap.
"Seandainya aku nggak melakukan semua yang pernah kulakukan, apa kamu bakal jatuh cinta sama aku?"
"Mungkin. Atau bisa jadi kita tak pernah saling mengenal."
Kami beda status, beda hobi, dan beda pergaulan. Satu-satunya yang menghubungkan kami hanya sebuah rahasia busuk yang tak pantas kuceritakan.
***
Pulang berkuda, aku dan Rendy memasuki kolam air panas vila. Kami "mandi bareng", walau hanya di atas kertas. Faktanya, aku dan Rendy terpisah sejauh lapangan futsal dari gawang ke gawang. Bagian tengah kolam dibatasi dinding dari bebatuan setinggi dengkul sehingga air kubanganku tak tercampur dengan milik Rendy.
Ia sempat mencoba bercakap-cakap, termasuk menawariku bergabung dengan kepengurusan OSIS yang ia pimpin. Namun kutolak. Selebihnya, aku tak begitu mendengarkan. Bukan cuma jauh. Bunyi pancuran air hangat juga agak mengaburkan suaranya.
Ibu menyuruhku turun bukit untuk membeli oleh-oleh. Beliau sendiri tampak sibuk menghadapi tawaran keluarga Prakoso untuk menginap. Sebentar lagi petang. Kabar tentang pembegalan di kawasan hutan pun jadi pertimbangan.
Berbagai manisan tersedia di pusat oleh-oleh. Manisan pepaya, cermai, walangan ubi, berondong jagung ... terlalu banyak pilihan. Kubeli satu-satu, termasuk rambut nenek dan sekotak permen rokok.
Asap dari penjual jagung bakar di sebelah menerpa wajah, membuat mataku pedih. Kuusap mata, kuamati sosok gadis yang tengah menanti di depan tungku penuh bara.
"Karina?"
"Grey?"
Usai menuntaskan pesanan masing-masing, kami tak langsung balik ke vila. Pemandian umum sudah cukup sepi. Kucari bangku kosong di dekat taman bermain anak-anak.
Kucoba manisan pepaya yang baru kubeli.
"Kemanisan," ucapku.
"Pfft. Ternyata Grey bisa kemanisan juga. Kupikir lidahmu kebal rasa manis," sahut Karina.
"Kenapa bisa mikir gitu?"
"Di sekolah, aku jarang lihat kamu tanpa jajanan manis. Terutama es tung-tung."
"Hmm, mungkin karena di sini ada dirimu."
"Eh? Maksudmu—"
"Eh?"
Aku tersadar. Barusan mulutku mengucap hal pertama yang terlintas di benak tanpa pikir panjang.
Karina memalingkan muka. Pipinya memerah. Otot-otot mukaku ikut berkontraksi tanpa diminta.
"M-Mau main catur?" tawarku. Ia anggota klub catur, salah satu pecatur terbaik yang pernah kulawan. Ketika canggung, catur biasanya jadi pemecah keheningan di antara kami.
"Aku nggak bawa papan, hapeku juga masih dicas."
"Pakai hapeku."
Awal yang terjal. Namun, perlahan kami bisa nyambung juga. Sebelumnya sudah puluhan kali aku kalah. Kali ini pun sama. Selama kekalahanku dibayar oleh senyuman, ini cukup sepadan.
Kubilang Red pengecut karena tak ada kemajuan, tapi aku sendiri enggan melangkah. Seperti pion. Sekali maju, aku khawatir tak ada jalan kembali.
"Omong-omong, sudah baikan?" tanyaku.
"Masih agak pening, tapi nggak papa kok. Dari siang kupaksa merem, tapi malah nggak tidur-tidur. Akhirnya ke sini deh."
"Maksudku kau dan Poppy. Sejak bertengkar waktu liburan semester lalu, kupikir kau kapok diajak Poppy."
"Mmm ... mungkin? Bukan berarti kami saling benci, sih. Sifat kami aja yang nggak kompatibel. Lagian, aku cuma ikut orang tua Gita. Ke mana mereka liburan, aku tinggal nurut aja."
Karina menyerahkan ponselku. Giliranku melangkah. Walau sambil mengobrol, langkah caturnya masih terlalu cepat. Tak hanya itu, ia juga memaksa bidak-bidakku pada posisi zugzwang. Serba salah. Apa pun langkah yang kuambil, tak ada yang bisa menyelamatkanku dari kekalahan.
"Lagi pula." Ia menguap. "Aku juga nggak mau kalah, kali."
Kepalanya jatuh di samping pundakku. Ia tertidur. Wajar saja. Siapa pun akan bosan menungguku berpikir terlalu lama.
Aku bingung ke mana arah ucapannya barusan. Kalau soal catur, ia sudah mengalahkanku berkali-kali.
Kemungkinan besar, itu bukan hal yang bisa kutulis dalam laporan berita.
***
[A/N] Menghidupkan kembali OC lama yang mati suri. Kali ini, tanpa konflik pembunuhan maupun gimik misteri yang lain. Ternyata masih seru nulis dialog dan narasi Grey kalau nggak dibebani konflik berat.
Enjoy. Semoga aku nggak sekarat sebelum akhir bulan. >O<
DF Rost, 2 Februari 2024
Image by 3503898 from Pixabay
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top