Bulan Biru
***
Blue moon, you saw me standing alone
Without a dream in my heart
Without a love of my own
...
Bulan biru. Bulan sendu. Bulan para perindu.
Seorang hansip duduk di pos ronda sendirian. Ditemani kopi, gitar tua, dan cahaya rembulan. Semalaman suntuk ia berpatroli. Menjaga mimpi dan properti para warga di desa ini.
Ah, mimpi. Masa mudanya sebentar lagi lewat, tapi tak satu pun impian hinggap di hati. Lama-lama ia berpikir ini memang sudah takdir. Menjadi saksi pernikahan kawan-kawannya tanpa punya cinta sendiri, hingga masa tugasnya berakhir.
***
Blue moon, you knew just what I was there for
You heard me saying a prayer for
Someone I really could care for
...
Bulan melihatnya salat malam di pos ronda. Khusyuk berdoa, menanti kekasih yang tak kunjung tiba.
Bulan pun iba. Tiap malam ia menyaksikan lika-liku sang peronda. Hidupnya seret, rezekinya mengkeret, padahal sudah bertahun-tahun dikerjain kerja. Pengabdiannya pada negara tidak tanggung-tanggung, walau "hanya" setingkat desa. Maling dan begal langsung ciut melihat dia. Tak ada warga yang tidak menaruh hormat padanya.
Doanya didengar Bulan. Bulan turut menyampaikan salam kepada Tuhan, berharap Yang Maha Pengasih lekas mengabulkan.
***
And then there suddenly appeared before me
The only one my arms will hold
...
Suatu malam, seorang gadis bergaya trendi berjalan celingukan di dekat pos ronda. Ketika ditanya, ia tengah mencari kediaman Pak Lurah. Sang hansip pun mengantarnya ke sana.
Di rumah Pak Lurah, hansip itu baru sadar. Gadis itu adalah adik kelasnya waktu SMP dulu. Namanya Susi, keponakan Pak Lurah. Ia pindah ke Jakarta bersama orang tuanya usai lolos audisi menjadi penyanyi idola.
Hansip itu pangling. Banyak yang berubah. Gadis yang dulu polos dan agak dekil, kini sudah pandai berdandan tanpa terlihat norak. Gadis secantik dia, kalau di sini pasti sudah dipinang. Sudah menikah dan punya anak dua.
Malam-malam berikutnya, Susi sering main ke pos ronda. Cuma sang hansip satu-satunya orang yang masih nyambung diajak bicara. Teman-teman lamanya telah merantau jauh atau sibuk mengurus keluarga.
Susi banyak bercerita soal kehidupan kota. Tentang alasannya kembali pulang. Orang tuanya telah lama cerai, membuatnya sempat terjerat pergaulan bebas dan narkoba. Lalu pamornya redup. Ia ditipu, dirampok oleh laki-laki bajingan yang dulu menjanjikannya bahagia.
"Enak ya, di sini," kata Susi. "Lebih damai, enggak banyak drama."
"Sebenarnya sama saja," balas sang hansip. "Pemabuk, penjudi, tukang selingkuh, di mana-mana ada. Bulan lalu ada tuh maling yang menyamar jadi kuntilanak. Belum pernah lihat kuntilanak naik motor, kan?"
Susi tertawa. Sinar lampu memantul di lensa kontaknya yang biru.
"Karena orangnya lebih sedikit, jadi kelihatan lebih tenang," lanjut sang hansip.
"Begitu juga bagus."
Susi meminta sang hansip memetik gitar. Ia ingin menyanyi. Meski kini nyaris tak punya apa-apa, suaranya adalah aset berharga yang masih ia miliki.
***
I heard somebody whisper, "Please adore me"
And when I looked, the moon had turned to gold
...
Bulan demi bulan berlalu. Susi dan sang hansip merintis karier sebagai duet vokalis-gitaris baru. Mengisi acara sunatan dan pernikahan dari desa ke desa, hingga kafe-kafe di ibukota kabupaten dan kota madya.
Upahnya memang tak sebanyak di kota besar. Namun di sini, Susi lebih bebas berkembang. Bila ada waktu luang, ia suka mengunggah cover lagu di kanal Youtube mereka berdua. Sesekali mereka juga merilis dan memperkenalkan lagu orisinal gubahan sendiri.
Satu lagu mereka sempat naik di dunia maya. Susi pun mendapatkan kembali tawaran dari agensi-agensi besar. Namun, ia tolak semua.
Sang hansip pun bertanya, "Kenapa kamu tolak? Kan bagus buat prospekmu ke depan."
"Mereka cuma mau aku doang, enggak sama Mas," jawabnya kesal. "Mereka pikir Mas cuma pegawai magang yang gampang digantikan."
Sang hansip memaklumi. Sejak diajak duet, ia ikut ketiban rezeki. Namun dibandingkan suara Susi, teknik bermain gitarnya tak begitu istimewa. Wajar jika agensi-agensi besar hanya mengundang Susi.
"Padahal, selama ini Mas yang selalu menjagaku. Berkat Mas, aku bisa bangkit tanpa takut terjerumus lagi."
Sang hansip tersipu. Ia baru tahu Susi memandangnya setinggi itu.
"Apa kamu enggak risih? Aku cuma hansip, sedangkan kamu—"
"Harusnya aku yang nanya gitu. Kenapa Mas mau bergaul sama cewek yang udah rusak kayak aku?"
"Hus, siapa yang bilang kamu rusak?"
"Itu, ibu-ibu desa. Banyak juga cowok yang ngulik-ngulik masa laluku terus ngatain aku lonte."
"Abaikan mereka. Kan kamu sekarang udah nggak gitu."
"Halah, ngomong sih gampang," gerutunya. "Emang, Mas mau nikahin aku?"
Sang hansip tersentak. Bukannya ia tak mau. Sejak awal ia sudah menaruh hati pada Susi. Tabungannya kini cukup banyak untuk pesta pernikahan yang sederhana, belum termasuk tabungan Susi. Ia hanya tak menyangka gadis itu bakal menantangnya duluan.
Ia juga tidak tuli. Banyak fitnah beredar gara-gara mereka berdua ke mana-mana tanpa ikatan pernikahan. Ia ingin melamar Susi, tapi takut ditolak. Takut tidak direstui.
Akan tetapi, kini ia sadar. Tak ada gunanya menunda-nunda.
Usai berdoa meminta petunjuk, sang hansip memantapkan diri untuk meminta restu Pak Lurah. Di luar dugaan, Pak Lurah menerimanya dengan senang hati. Lagi pula, beliau yang paling tahu sepak terjangnya selama mengabdi untuk desa ini.
Hambatan kecil justru datang dari keluarganya sendiri. Mereka agak ragu dengan latar belakang Susi. Namun berkat bantuan Pak Lurah, rintangan tersebut pun berhasil ia lalui.
Susi tersenyum lega. Sinar bulan nan keemasan terpancar dari kedua matanya.
***
Blue moon
Now I'm no longer alone
Without a dream in my heart
Without a love of my own
***
[A/N] Tiga hari, tiga kali streak cerpen romance. Maaf buat yang nggak suka genre ini. xD
Btw, ada yang penasaran siapa sosok Mbak Susi? Nih, fotonya.
Credit to ZDCreation on Twitter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top