2
Sidang perceraian Arka dan Kanaya berjalan mulus. Hakim dengan mudah mengabulkan gugatan cerai yang di ajukan oleh Arka pada Kanaya. Sampai Hakim mengetukan palu, Kanaya tidak pernah hadir sekalipun.
Arka menatap berkas-berkas yang ada di hadapannya, sekarang dia sudah menceraikan Kanaya secara hukum.
Di tangannya tampak selembar kertas yang menjadi bukti statusnya saat ini. Tetapi ada perasaan tidak tenang di lubuk hatinya atas ketidak hadiran Kanaya selama persidangan. Bahkan tidak ada seorang pengacarapun yang mewakili mantan istrinya itu.
"Kemana wanita itu?" Arka menggelengkan kepala mengusir bayangan Kanaya yang tiba-tiba berkelebat.
Arka memasukan kertas yang sedari tadi di pegangnya kedalam laci dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya yang sudah beberapa hari dia tinggalkan.
Pintu kantor Arka terbuka lebar dan seorang pria paruh baya melangkah masuk menghampiri.
"Ka, apa maksudmu dengan menceraikan Kanaya?" Tanpa basi-basi pria itu langsung bertanya pada Arka.
"Papa ... jadi Papa sudah tahu?" Ujar Arka gelagapan.
"Jawab dulu pertanyaan papa. Kenapa kamu menceraikan Kanaya?" Papa Arka kembali mengulangi pertanyaannya.
"Pa, aku sama sekali tidak mencintai Kanaya. Aku ingin bebas dan menikahi wanita yang kucintai," ujar Arka menjelaskan perihal perceraiannya.
"Cinta? Apa kamu pikir wanita yang bersamamu setiap hari mencintaimu?" Ujar Papanya dengan tatapan tajam.
"Kalau Wina tidak mencintaiku, mana mungkin dia ada bersamaku melewati semua ini," sahut Arka enteng.
"Melewati apa? Wanita yang baru kau temui, kau anggap sebagai orang yang menemanimu di saat susah huh," cibir sang papa.
Arka tidak menaggapi cibiran papanya. Wina memang baru di kenalnya beberapa bulan lalu. Tetapi Arka sudah merasa nyaman dan memantapkan hatinya untuk melanjutkan hubungannya meskipun dia tau bahwa itu salah. Karena Arka masih berstatus sebagai suami Kanaya saat itu.
Wina sangat cantik bila di bandingkan dengan Kanaya yang sederhana.
"Kau pikir keberhasilanmu selama ini karena kebersamaanmu dengan wanita itu? Asal kau tahu, Ka, rezekimu saat ini adalah rezekinya Kanaya. Kau lihat saja nanti hidupmu perlahan akan meredup dan rezekimu berkurang," ujar sang papa panjang lebar.
Arka mendongak dan menatap papanya tidak suka. ''Papa mendoakan anak sendiri seperti itu, bukannya berdoa yang baik-baik!" sahut Arka emosi.
"Papa bukan mendoakanmu yang jelek-jelek. Dengar Ka, ada pasangan yang membawa keberuntungan dan ada juga yang sebaliknya. Selama kamu menikah dengan Kanaya, bisnis kita berjalan lancar bahkan pemasukan bisa melebihi tahun-tahun sebelumnya," papa Arka menjelaskan maksud ucapannya tadi.
"Alah ... Papa masih percaya yang seperti itu. Itu cuma takhayul saja, Pa. Nggak ada yang seperti itu. Keberhasilan perusahaan ini karena kerja keras kita," sahut Arka menyangkal ucapan papanya.
Papa Arka mendesah lelah mendengar ucapan anaknya. "Terserah kamu saja, papa cuma kasihan melihatmu. Jangan sampai ada sesal di kemudian hari," setelah menasihati anaknya panjang lebar, papa Arka langsung berbalik dan meninggalkan ruangan anaknya.
Arka termenung memikirkan ucapan papanya. Ada perasaan takut di lubuk hatinya jika semua itu benar adanya apa mungkin seluruh usahanya akan hancur?
Arka menggelengkan kepalanya mengusir jauh-jauh pikiran buruknya.
***
Hari ini Kanaya keluar dari rumah sakit, di temani asistennya yang selalu setia berada di sampingnya.
"Mbak Warti tolong bereskan barang-barang saya ya," pinta Kanaya pada asistennya.
"Iya, Non," Warti segera membereskan pakaian dan barang pribadi Kanaya ke dalam tas. Setelah selesai keduanya segera keluar dari ruang rawat inap yang selama seminggu terakhir di tempati Kanaya.
"Saya nyari taksi dulu ya, Non. Non Kanaya tunggu di sini," Warti meletakan tas pakaian di samping bangku yang di duduki oleh Kanaya.
"Iya Mbak," ujar Kanaya lirih. Kondisi tubuhnya yang masih lemah membuatnya tidak bisa banyak bergerak. Kanaya bersyukur sekiranya bayi di dalam kandungannya masih bertahan.
"Kita pulang ya, Nak, istirahat di rumah," Kanaya mengelus-elus perutnya dengan lembut.
Sepuluh menit berselang Warti datang menghampiri Kanaya.
"Non, taksinya sudah menunggu di lobby," ujar Warti sambil meraih tas pakaian lalu membantu Kanaya berdiri. "Jalannya pelan-pelan saja, Non," lanjut Warti yang merasa kasihan pada majikannya.
Raut wajahnya yang gusar tak luput dari perhatian Kanaya. "Ada apa Mbak? Kok gelisah gitu,"
Warti menegang kaku mendengar pertanyaan Kanaya, beberapa kali dia menghembuskan nafas kasar.
"Tidak apa-apa," sahut Warti mencoba tersenyum manis demi mengelabui Kanaya.
Kanaya hanya bergumam tidak jelas.
"Selama saya di rumah sakit, apa Arka datang ke rumah?" Tanya Kanaya tanpa memperhatikan wajah Warti yang pucat pasi.
"Eh itu ...," Warti menggigit bibirnya sendiri karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana.
"Kenapa Mbak? Dia nggak datang ya?" Akhirnya Warti hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Selama di perjalanan dari rumah sakit menuju rumah, Kanaya dan Warti lebih banyak diam. Kanaya sibuk memikirkan kata-kata untuk di sampaikan pada Arka. Sedangkan Warti sibuk memikirkan cara menyampaikan berita yang kemungkinan besar akan membuat kondisi majikannya semakin down.
"Kita sudah dekat rumah, Non," ucapan Warti membuat lamunan Kanaya buyar seketika, dia melihat keluar kaca jendela mobil. Benar saja mobil yang di tumpanginya sudah berada di depan gerbang rumahnya sekarang.
Warti keluar terlebih dahulu dan mengeluarkan barang bawaan lalu dia segera membantu Kanaya turun dari mobil.
"Non Kanaya sebaiknya langsung istirahat saja ya," kata Warti lembut.
"Iya Mbak. Maaf kalau saya selalu merepotkan," ujar Kanaya merasa tidak enak hati.
"Nggak perlu seperti itu, Non, saya kan ada di sini untuk membantu Non Kanaya," jawab Warti dengan sopan.
"Terima kasih banyak ya, Mbak, kalau nggak ada kamu, entah bagaimana hidup saya," Warti tersenyum mendengar ucapan majikannya.
Setelah mengantar Kanaya ke kamar tidurnya Warti segera membongkar isi tas dan mengeluarkan pakaian kotor.
"Apa yang harus aku katakan pada non Kanaya ya?" Warti bermonolog. Sejak beberapa hari lalu dia memikirkan kata-kata yang pas dan tidak akan membuat Kanaya syok. Tetapi sampai saat ini hanya kebingungan dan perasaan tidak tega saja yang ada.
Selesai mencuci dan membereskan rumah Warti mengambil sesuatu dari dalam laci lalu membawanya menuju kamar Kanaya.
"Bismillah ya Allah semoga Non Kanaya kuat melihat semua ini, aamiin." Warti menghela nafas panjang sebelum mengetuk pintu kamar Kanaya.
"Iya Mbak, masuk saja!"
Setelah mendapat izin dari majikannya dia segera membuka pintu kamar dengan tangan gemetar.
"Non, maaf mengganggu," ujar Warti dengan suara bergetar. Keringat dingin tiba-tiba membanjiri seluruh tubuhnya.
"Ada apa Mbak?" Kanaya tersenyum manis melihat warti yang sedikit aneh.
"Sewaktu Non Kanaya masuk rumah sakit, ada paket ini datang ke rumah. Maaf kalau saya lancang karena langsung membukanya," ujar Warti sembari menyodorkan dua buah amplop berwarna coklat.
Kanaya segera menerima amplop dari tangan Warti dan memperhatikan salah satunya yang di beri logo stempel pengadilan agama.
Kanaya terkekeh begitu melihat isi amplop yang di pegangnya. Bulir-bulir bening tampak mulai berjatuhan membasahi kedua pipinya.
"Jadi ... Arka menggugat cerai saya ya, Mbak?!"
Warti mengangguk.
Kanaya membuka amplop coklat satu lagi. Helaan nafas dalam terhembus dari hidungnya yang mancung.
"Arka benar-benar menceraikan saya, Mbak," ujar Kanaya, suaranya terdengar parau dan dalam. "Lihat ini, dia sudah menandatanganinya," Kanaya menyodorkan selembar kertas pada Warti.
Warti mengambil kertas tersebut dan memperhatikannya lalu beralih menatap Kanaya yang menangis sesenggukan di atas tempat tidur.
Sah! Jadi cerai.
Jangan lupa vote dan komen ya gaes 🙂
Selamat pagi😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top