Senja dan Amanda b.
"Saya Kemilau Senja, panggil saja Senja." Pria itu mengucapkannya tanpa tersenyum dan tanpa meminta Amanda berjabat tangan pula. Nada bicaranya juga dingin.
Kemilau Senja .... O, jadi namanya Senja. Cakep juga.
Amanda bergumam dalam hati sambil memperhatikan Senja lagi. Sosok Senja memang menggoda. Sayang, ia tipikal pria yang cuek.
"Senja, kamu baca ini sendiri!" Amanda pun berlagak sombong dengan memberikan isi kotak yang tadi ia baca.
Senja menerima kotak itu sambil melirik Amanda menyilangkan tangannya di depan dada sambil memalingkan wajah. Hanya dengan sekilas melihat saja, ia bisa membaca karakter Amanda.
Ini cewek sombong banget. Kayaknya orangnya hedon dan manja.
Senja mengeluarkan kertas dari dalam kotak. "Selamat datang di My Roommate." Ia lanjut membaca tulisan itu. Sudah dipastikan ia berada dalam acara yang ditayangkan oleh MND TV.
"Jadi kita cuma berdua?" tanyanya karena hanya menemukan Amanda. Ada ciri khas mereka berdua sebagai peserta. Sebuah gelang berwarna keperakan melingkar di pergelangan tangan kiri mereka. Menilik bentuknya, sepertinya alat pelacak dan pendeteksi tubuh apakah sedang dalam keadaan baik atau tidak.
"Iya. Cuma kita berdua satu rumah dan satu kamar." Amanda tidak menemukan kamar lain selain kamar yang ia tiduri bersama Senja tadi.
"Nanti saya tidur di luar." Senja tentu pria yang punya harga diri. Ia tidak akan mau tidur satu kasur dengan seorang gadis yang baru sekali ia kenal. Pacar saja bukan!
"Males banget gue satu kamar sama lo," gumam Amanda pelan karena kesal dengan sikap Senja yang terus-menerus dingin. Baru kali ini ada pria yang cuek terhadapnya.
"Kamu bisik-bisik apa?" tanya Senja yang sedikit mendengar ucapan Amanda.
"Enggak, kok. Nggak usah formal gitu ngomongnya, lo gue aja." Senja sepertinya seumuran dengannya, masa memakai bahasa formal? Ia risih.
"Ehmm, kenalkan gue Amanda. Amanda Manuela Dermawan. Anak pemilik stasiun televisi yang mengadakan acara ini." Amanda mengulurkan tangannya dan berlagak sombong karena punya stasiun televisi. Ia juga anak satu-satunya, otomatis semua harta akan jatuh padanya selaku anak tunggal. Siapa yang tidak akan sombong jika terlahir di keluarga kaya raya? Amanda pikir status Senja jauh di bawahnya.
Sialnya, Senja hanya melirik tangan itu tanpa berniat membalas. Benar prediksinya. Amanda sombong karena terlahir dari keluarga kaya raya.
"Eh jabatan tangan gue nggak dibales, dong," gumam Amanda yang sadar jemari lentiknya sama sekali tak disentuh oleh Senja.
"Saya nggak tanya kamu asalnya dari keluarga mana," sahut Senja sinis. "Mana mungkin anak pemilik stasiun televisi ikut acara beginian?"
Setelah mengucapkan itu, Senja berpikir ulang. Ada sebuah keanehan yang harus ia selidiki. Secara logis, mana mungkin orang kaya mau ikut acara berhadiah.
"Ada kok yang ikut. Ini buktinya gue ikut." Amanda menunjuk dirinya sendiri.
"Kenapa kamu ikut? Bukannya diam di kantor dan menikmati uang papamu lebih enak?" Senja mengangkat satu alisnya sambil melirik sinis. Ia curiga jangan-jangan Amanda cuma penipu.
Ish! Songong banget ini cowok. Pake ngeremehin gue segala.
Amanda jelas kesal karena tuduhan miring itu. "Gue lagi pengen sesuatu dan papi ngasih syarat ikut acara ini."
Ia pun balas menatap Senja dengan sinis. "Kalo lo, kenapa ikut acara ini? Butuh duit hadiahnya?"
"Enak saja. Saya tidak butuh uang!" Jelas Senja langsung menggelengkan kepalanya.
"Lalu?" Amanda menjadi penasaran dengan sosok Senja yang dingin ini.
"Saya ingin kebebasan."
"Bebas ke kelab malam dan gonta-ganti pasangan gitu?" tebak Amanda.
"Bukan lah. Memangnya kamu? Bebas ala saya itu tidak terjun ke dunia bisnis lagi. Saya ingin berpindah-pindah tempat dan tinggal dekat alam. Saya tidak suka nuansa perkotaan." Senja menjelaskan dari A-Z.
"Ooooo ...." Amanda menjawabnya hanya dengan satu kata.
Kring .... Kring ....!
Terdengar lagi bunyi yang menarik perhatian mereka berdua. Untung ada suara itu. Kalau tidak, mungkin keduanya berakhir dengan adu mulut paling sengit lantaran ego mereka sama-sama tinggi.
"Eh itu bunyi apaan?" tanya Amanda penasaran. Ia ingin tahu apakah ada tugas atau penjelasan lain.
"Sepertinya dari jam digital itu." Senja menunjuk jam berbentuk persegi empat yang menempel di dinding. Bila diperhatikan hanya terlihat seperti jam biasa. Namun, layar jam itu menayangkan sederet tulisan. Kemungkinan sebuah tantangan atau tugas yang harus mereka kerjakan. Pasti panitia sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka berdua.
"Ayo baca dulu," ucap Senja.
"Hai Amanda dan Senja. Tantangan pertama akan dilaksanakan nanti siang. Silahkan sarapan dan beres-beres rumah dulu. Semuanya harus dikerjakan bersama. Selamat menikmati!"
"Sarapan? Emang sarapan apa? Ada roti dan susu tidak, ya?" Si anak manja Amanda tidak doyan daging dan sayur saat sarapan. Sudah kebiasaannya setiap pagi menyantap roti yang diolesi oleh selai rasa apapun.
"Coba lihat ke dapur," ajak Senja yang langsung menderap ke dapur
"Semoga sarapannya dikasih yang enak!" Ini adalah harapan Amanda yang pertama saat tinggal di sini.
"Cuma ada telur dan beras. Sepertinya hanya cukup untuk sekali makan saja." Senja sudah memeriksa kulkas dan yang ia temukan hanya dua butir telur dan beras saja.
Amanda langsung kecewa. Ia tidak terlalu suka nasi. Jika terpaksa makan juga, seringnya nasi merah. "Emmm, tapi aku nggak bisa sarapan nasi. Nanti suka sakit perut, uh."
"Kamu makan saja telurnya." Ini saran dari Senja.
"Diapain? Dimasak?" tanya Amanda bingung. Masa ia harus memasak sendiri?
Pertanyaan itu kontan membuat kening Senja berkerut. Songong banget ini cewek.
"Iya! Masa sih dimakan mentah!"
"Gue nggak bisa masak, Senja." Amanda tidak bisa apa-apa kecuali bersenang-senang. Ia selalu dibantu oleh pelayan.
Tentu saja kamu nggak bisa masak. Dasar cewek manja! gerutu Senja dalam hati. Senja berbeda 120' dengan Amanda. Ia bisa masak, bisa bela diri, bisa naik gunung dan segalanya. "Ya udah, saya yang masak."
"Jago juga ternyata." Amanda sedikit mengagumi Senja saat melihat pria itu berkutat di dapur. Sosoknya terlihat seksi bak Chef Juna saat masak.
Beberapa waktu kemudian, sarapan mereka pun siap.
"Ayo makan!" ajak Senja sambil menunjuk meja makan. Tidak tersedia banyak bumbu sehingga ia hanya bisa mengolah telur menjadi telur dadar.
"Emmm .... Gue makan telurnya aja. Nasinya buat lo semua." Amanda menggeser piring yang berisikan nasi.
"Makan juga nasinya. Kalau enggak, nanti kamu cepet laper," kilah Senja. Mana mungkin kenyang kalau hanya makan satu telur dadar saja?
"Nggak papa. Gue nggak bisa makan nasi pagi-pagi soalnya. Gue bisa akan bolak balik ke kamar mandi buat kalau jam segini udah makan nasi."
Senja tidak menjawab. Ia mengunyah nasi tanpa memedulikan Amanda. Kini, gadis itulah yang dibuat penasaran.
"Jadi gimana ceritanya bisa tiba-tiba mau ikut acara ini?" tanya Amanda setelah beberapa saat berdiam diri. Ia sampai menghentikan kegiatan mengunyah telur dadar.
"Kamu tau kan alasan saya karena ingin bebas. Ayah minta saya pulang hari itu karena empat hari saya ke Bromo." Saat itu Senja baru turun gunung. Ayahnya menelepon untuk bilang ada hal yang genting. Saat ia datang, ternyata tidak penting.
"Beliau menawarkan saya untuk tidak bergabung dengannya lagi di perusahaan dan bebas pergi ke mana saja, termasuk menjadi fotografer." Awalnya jelas Senja menolak, tapi setelah berpikir panjang dan mengingat ia tidak mau terjun di perusahaan lagi, ia pun sepakat untuk ikut acara ini.
"Kalau saya memenangkan acara ini bersama partner saya, dia bilang keinginan itu akan dikabulkan," jelas Senja lagi.
"Jadi fotografer cewek seksi, ya?" tanya Amanda polos. Bukankah pekerjaan fotografer memotret objek mereka? Tidak mustahil suatu saat pria itu mengambil gambar orang bugil, sedang melakukan adegan dewasa, atau hal lain.
"Enak saja. Alam lah!" protes Senja. Jelas ia tidak suka memotret hal yang aneh-aneh, cukup alam dan semua ciptaan Tuhan yang indah.
"Apanya yang mau difoto?" Amanda sedikit meremehkan profesi tersebut karena menjadi bos jelas lebih enak.
"Hewan, pemandangan, dan masih banyak lagi Favoritku lautan dan terumbu karang."
"Ooo ...." Amanda tidak berniat bertanya lebih lanjut. Telur dadarnya telah habis. "Ini piring bekas pakainya dikemanain?"
"Dicuci dan keringkan, simpan lagi ke tempatnya." Senja saja setelah makan selalu mencuci piring sendiri. Ia tidak mau merepotkan ART. Karena terbiasa naik gunung, segalanya diurus sendiri. Mulai dari masak hingga mencuci peralatan bekas pakai.
"Cuci? Seumur hidupku gak pernah yang namanya cuci piring. Nanti semua nail artnya bisa rusak. Yang ada juga kulit tanganku pecah-pecah akibat kena sabun pencuci piring," kilah Amanda.
"Lalu kamu bisanya apa?" tanya Senja sambil melirik Amanda sinis. Anak manja memang tidak serba bisa.
"Tidak ada, hanya menghamburkan uang," sahut Amanda santai.
Benar, prediksi Senja tidak ada yang meleset. "Astaga! Partnerku payah sekali!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top