Selingkuhan
Akhir pekan ini Pram meminta Mira untuk berkunjung ke rumahnya untuk dikenalkan pada orang tua pria itu. Mira memakai dress putih selutut dengan motif bunga-bunga kecil, karena tubuhnya masih ramping, dress itu masih cantik menempel pada tubuhnya.
Menggerai rambut panjangnya, setelah ia catok dan beri gaya sedikit bergelombang. Memakai bedak tetapi tidak terlalu tebal agar menimbulkan kesan natural alami, bibir ia poles liptin merah muda tipis, ia tampak cantik. Setidaknya menurutnya sendiri.
Pram menjanjikan akan menjemput jam sepuluh pagi, sejak jam delapan Mira telah bersiap-siap, menjejerkan pakaiannya di kasur, memilih yang terbaik. Meskipun sudah mendapatkan hati Pram sepenuhnya, Mira juga ingin meluluhkan hati mertuanya kelak.
Mira terkikik kecil, bagaimana bisa ia melupakan satu hal penting tersebut, mertua. Ah, melihat karakter Pram yang baik, Mira pikir ia terlalu berlebihan bila sampai memikirkan yang tidak-tidak tentang mertuanya.
Mira mengambil satu buah panshoes berwarna putih, memasukkan kakinya ke dalam lalu segera membukakan pintu ketika mendengar suara klakson motor Pram.
"Sudah siap?"
Mira mengangguk, Pram membantu memakaikan helm, Mira merasa ada yang aneh dengan dirinya. Pram memang sering peduli padanya, melakukan hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatian Mira, biasanya terasa biasa, kini jantung Mira berdebar tidak biasa, ia bahkan menahan napas ketika jarah wajahnya dengan Pram sangat dekat.
"Ayo naik, Mama sudah menunggu di rumah."
Mencoba mengabaikan reaksi berlebihannya, Mira segera naik ke boncengan Pram. Ternyata selama ini jarak rumah Pram dengan kontrakan tidak sejauh yang Mira bayangkan selama ini. Mereka hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di depan rumah bercat biru muda dengan pohon mangga dan rambutan sangat rimbun di halaman depan membawa hawa sejak ketika Pram menuntunnya untuk masuk.
Pram memang tidak sekaya Jonathan, Mira tidak berekspektasi besar dari awal. Kesederhanaannya setiap hari membuat Mira bisa mengira-ngira keluarganya seperti apa.
Memasuki ruang tamu interior di dalamnya penuh dengan frame foto dengan ragam ukuran dan bentuk, sepertinya mereka gemar mengabadikan momen terlihat dari foto keluarga dari masa ke masa, mulai dari Pram masih bocah hingga dewasa kini.
Mira juga akhirnya tahu kalau Pram merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara, Pram memiliki dua kakak perempuan dan satu adik perempuan, benar, Pram satu-satunya anak laki-laki di keluarga mereka.
Pram membawa Mira ke dapur di sana seorang wanita paruh baya dengan rambut sudah dipenuhi oleh uban sedang sibuk mengaduk adonan tepung.
"Ma," kata Pram membuat wanita tersebut tersentak lalu menoleh. "Ini Mira, calon Pram."
Diperkenalkan begitu, Mira bersemu merah. Wanita tersebut menyunggingkan senyum begitu lebar lantas mengayunkan tangan ke hadapan Mira, mengerti maksud tersebut Mira cepat menyambut uluran tangan itu.
"Siang Tante, saya Amira Rahma."
"Aduh, ayu sekali kamu, nak." Mama Pram membawa Mira dalam dekapan.
"Pinter kamu cari cewek Pram, nggak sia-sia lama mencari, sekalinya dapat eh rupanya mirip bidadari begini."
Mira semakin tersipu malu, perempuan itu berharap wajahnya tidak semerah tomat sekarang. Sedangkan Pram tersenyum bangga akan pujian dari sang Mama.
"Kamu duduk dulu, ya, nak. Maaf Mama selalu ini dulu."
Mendengar pernyataan itu, Mira tidak enak kalau membiarkan Mama Pram bekerja sendirian, "Mira bisa bantu, Tante, kebetulan Mira sedikit tahu cara buat kue."
"Haduh, aduh. Nggak usah, Nak. Nanti jadi ngerepotin." Mama Pram mengibaskan tangannya, lalu lanjut membagi adonan. "Panggil Mama aja sayang, kamu kan bentar lagi jadi bagian keluarga Mama."
Pram mengangguk mengisyaratkan tidak apa-apa, untuk Mira tidak membantu ibunya juga untuk Mira boleh memanggil mamanya dengan sebutan "Mama".
Akhirnya Mira di bawa ke ruang keluarga, kata Pram di sana lebih nyaman sambil menunggu Mama Pram selesai dengan kegiatannya.
"Assalamualaikum," salam seorang pria paruh baya yang Mira yakini adalah Papa Pram masuk sambil membawa sebuah nangka matang. Wanginya begitu menyengat, tetapi Mira tidak risih karena ia sangat suka nangka.
"Walaikumsalam," balas Mira dan Pram bersamaan batal duduk di sofa kemudian menghampiri Papa Pram.
"Sudah sampai kamu, nak. Kenapa cepat sekali, Pram. Papa belum siap-siap!" ketus Papa Pram.
Pram nyengir, "kontrakan Mira dekat, Pa."
"Saya Amira Rahma Om--"
Pangestu, papa Pram, menggeleng. "Panggil Papa aja, Nak." Ternyata suami istri sepakat menyarankan Mira agar memanggilnya Papa-Mama saja.
Pengestu pamit ke belakang sebentar, sama seperti istrinya ia ingin bersiap-siap dulu dan menyiapkan beberapa hidangan. Selang tiga puluh menit kini Pangestu dan Liliana, istrinya sudah selesai dengan kegiatan masingmasing. Di hadapan Mira kini tersaji banyak makanan termasuk nangka matang yang amat menggoda, ia ingin langsung memakannya tetapi harus jaga image jadi ia tahan diri sampai disuruh makan untuk ketiga kalinya.
"Ayo, sayang dimakan," bujuk Liliana kini sudah ketiga kalinya, akhirnya Mira mengambil nangka itu juga.
"Kata Pram, kalian berencana menikah secepatnya ya?"
Mira yang sedang menikmati nangkanya tersedak dengan keterusterangan Pangestu, ia baru sebentar menikmati kini tidak bisa lagi karena pembahasan langsung serius.
"Mama sih enggak keberatan, malahan senang akhirnya putra satu-satunya saya akan segera menikah." Liliana terlihat santai sambil menyodorkan sepotong kue ke depan Mira yang gadis itu terima dengan sungkan.
"Tapi menurut Papa, terlalu kecepatan, Pram bahkan baru mengenali kamu hari ini."
Mira menatap Pram untuk membantu menjawab karena perempuan itu sibuk dengan makanan yang dijejali calon mama mertuanya.
"Pram sudah yakin sama Mira, Pa. Buat apa mengulur waktu lagi, Minggu depan kita bisa langsung ke rumah Mira untuk lamaran, Pa."
Kemarin Mira dan Pram sudah membicarakan tentang hal ini sebelumnya, Mira takut kalau semakin lama ditunda maka perutnya akan membesar dan orang-orang akan tahu ia hamil di luar nikah.
"Mira mau menikah dengan, Mas. Tapi harus secepatnya, Mas."
Perkataan Mira disetujui oleh Pram, Pram juga belum memberitahu keluarganya perihal kejadian malam itu. Biarlah itu jadi rahasia di antara mereka berdua, menurut Pram yang penting ia sudah bertanggungjawab atas perbuatannya, Mira sendiri tidak peduli asal anaknya lahir punya ayah.
"Kamu nih kayak kebelet banget menikah, mengurus pernikahan tidak semudah itu."
Liliana mencium akan ada bau perdebatan pun segera menengahi. "Biar saja toh, Pa. Lagipula Pram tadi malam kan udah bilang kalau punya uang simpanan, masalah biaya sudah aman, berarti yang lain aman."
"Nikah bukan tentang uang, Ma." Pengestu terlihat tidak suka dengan cara istri dan anaknya yang menganggap mudah pernikahan.
"Pa, Pram sudah yang akan siapkan semuanya," ujar Pram memohon.
Pangestu beralih pada Mira yang baru saja selesai memakan sepotong bolu, "Mira sendiri memang sudah siap menikah secepatnya, Nak?" tanyanya lembut.
"Insha Allah, siap, Pa," jawab Mira mantap.
Pangestu terlihat tidak punya alasan lagi, "Baik setidaknya tiga bulan ini, berikan waktu kita untuk mempersiapkan semuanya."
Mira membulatkan mata, tiga bulan berarti usia kandungannya nanti empat bulan. Ia menghitung-hitung bagaimana bentuk perutnya diusia empat bulan.
"Papa...."
"Itu sudah paling cepat, Bagus Aji Pramana..." Pangestu seperti telah mengetuk keputusan final. Pram tidak bisa mengelak lagi.
Ia menatap Mira dengan tatapan memelas,. perempuan itu juga mengendurkan bahunya pasrah. Empat bulan mungkin perutnya masih belum kentara.
"Alhamdulillah tiga bulan lagi anak Mama akan menikah!" Liliana bersorak, lalu mengelus punggung Mira.
Sebuah ketukan menginterupsi perbincangan mereka, tanpa menunggu orang rumah keluar, seorang wanita masuk dengan santai lalu berhenti kaget melihat kehadiran Mira di ruang keluarga. Wanita itu bingung kenapa mereka ada di sana, sedangkan biasanya tamu dijamu di ruang tamu.
Wanita itu sadar Mira bukan sekedar tamu biasa, matanya lekat memandangi Mira membuat Mira salah tingkah sendiri.
"Lia ini Amira, calon istri Mas mu."
Wanita bernama Lia itu terlihat terkejut, tetapi begitu Liliana menyuruhnya untuk menyalim Mira Lia tetap menurut.
"Liani Pramesti, adik Mas Pram," kata Lia mengenalkan diri.
Mira juga melakukan hal yang sama, mulanya Mira pikir tatapan Lia hanya sekedar penasaran tapi mulai risih karena setelahnya Lia terus melihat dirinya dengan tajam dan penuh selidik.
Perbincangan mengenai pernikahan sudah difix kan lalu beralih pada obrolan santai.
Sepanjang itu Mira sangat-sangat tidak nyaman dengan pandangan Lia terhadapnya. Sampai di akhir juga Lia tetap melihatnya dengan tatapan tajam.
"Ma, Pa, Pram izin mengantar pulang Mira ya, takut kemalaman."
Pram membawa Mira ke depan, karena ada ketinggalan pria itu izin masuk kembali untuk mengambil kunci motornya. Di sanalah Lia mulai bersuara.
"Kau! Aku tahu kau siapa." Ucapan Lia terdengar kasar, ada sirat marah yang Mira dengar.
"Berani-beraninya kau jebak Mas ku, dasar pelakor!"
Mira membeku di tempat, ia bahkan tidak bisa membalas ucapan Lia, kerongkongannya terasa kering, mulutnya tercekat.
Siapa sebenarnya Lia? Mengapa ia mengatakan hal seperti itu pada Mira?
****
Tap bintang dan tinggalkan komentar yaww
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top