Pukulan Mundur

"Mira, kamu tahu kan berita penemuan tespek itu jauh sebelum malam itu?"

Mira memejamkan mata, entah kenapa ia mendadak tidak bisa mengontrol emosi. Air mata mulai jatuh ketika ia berkedip.

"Haruskah Mira jujur, Mas?"

Melihat reaksi dari perempuan itu, Pram merasa gentar, ragu apakah ia benar-benar sudah siap menerima semua kenyataan tentang hubungan mereka.

Namun, tekadnya sudah bulat. Ia sudah serius ingin membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan, seharusnya mereka bisa terbuka. Pernikahan bukan mainan, itu ritual sakral mengikat janji sehidup semati.

"Sebenarnya...."

Bunyi nada dering berbunyi lantang, karena situasinya tadi hening hadirnya suara keras membuat keduanya sedikit terkejut. Pram merogoh benda bergetar di saku celananya, ia melihat nama adiknya pada kontak penelepon.

Karena tidak mau pembicaraan serius ini diganggu, ia kemudian memilih untuk menolak panggilan itu, lantas kembali memberikan Mira menjelaskan kebenarannya. Saat bibir Mira terbuka suara dering lagi-lagi mengganggu.

"Diangkat dulu, Mas. Siapa tahu penting."

Mira berkata begitu bukan karena ingin kabur, tetapi mungkin saja benar berita penting, ia tidak mau menyesalinya jika jadi alasan Pram ketinggalan berita penting. Pram akhirnya mengikuti saran Mira karena kini sudah ketiga kali ia ditelepon.

Mira mengusap matanya, menghapus jejak air mata yang sempat mampir. Sedikit lega memiliki beberapa waktu untuk menyusun kata penjelasan.

Melihat kondisi, ia memilih untuk jujur saja. Sejauh ini kebohongannya hanya mebawa masalah, semakin ia sembunyikan semakin ketahuan jadi daripada ketahuannya nanti lebih baik sekarang ia jujur.

Apapun keputusan Pram nanti, mungkin akan melukai hatinya. Ia akan menerima.

"Halo, Lia? Ada apa?"

Penelepon di seberang sana tidak langsung menjawab karena sedang menahan tangis yang membuat ia kesusahan bicara. "Mas ... mama, Mas..."

Tubuh Pram membeku, perasaannya mulai tidak enak. "Mama kenapa Lia? Ngomong yang jelas!" ujarnya marah.

"Dateng ke rumah sakit sekarang, Mas."

Pram menutup matanya, lalu menutup panggilan. Ia bergegas mengambil jaketnya yang sempat ia buka dan tarus di meja, ketika mengambil ia melihat Mira melihatnya keheranan.

"Aku harus pergi sekarang, Mama masuk rumah sakit, Mir."

"Astagaaa." Mira menutup mulutnya dengan telapak tangan karena terkejut.

Mira tidak sempat merespon apapun setelah keterkejutannya, ia hanya bisa menatap kepergian Pram dengan hati yang gusar. Khawatir terjadi apa-apa pada wanita yang ia temui beberapa waktu yang lalu itu.

Sekitar lima menit Mira habiskan melamun setelah kepergian Pram, di sana masih terduduk tidak berpindah posisi barang sejengkal pun. Ia tidak tahu harus bersyukur atau sedih, bersyukur setidaknya ia tidak harus menjelaskan kebohongan nya sekarang, sedih setelah mendengar kabar Mama nya Pram.

****

"Baik, Pak. Tidak apa-apa," ucapa Mira sambil mematikan sambungan telepon. Ia baru saja ditelepon oleh supir ojek online. Karena kali ini Mira lembur, ia memilih untuk naik ojek online saja, hitung-hitung sebagai hadiah telah bekerja keras hari ini.

Seharian tanpa kehadiran Pram membuat harinya lebih berat. Gosip-gosip di kantor semakin lantang terdengar, tidak lagi berbisik mereka bahkan mengatakan langsung pada Mira, meskipun selalu bersembunyi dibalik kata "cuma bercanda" sambil tertawa-tawa.

Kalau biasanya mereka segan pada Pram sebagai pegawai yang paling lama mengabdi, berbanding terbalik dengan Mira yang menjadi pegawai terakhir yang bergabung. Mana ia paling muda, akhirnya meskipun memiliki kedudukan yang sama tetapi dengan perbedaan umur yang kentara ia harus tetap menghormati rekan kerjanya yang lain.

Seharian telinganya panas, ocehan mereka begitu keras menembus earphone yang menyumpal telinga.

Akhirnya ia bisa pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya, besok mungkin bisa langsung ia setor kepada atasannya untuk diperiksa.

Sehabis memesan ojek lagi, karena yang pertama terpaksa ia cancel dengan alasan si supir berada jauh dan sedang terjebak macet. Meskipun tidak ada kegiatan yang terburu-buru, ia juga pengen pulang cepat hari ini. Mau merebahkan dir di kasur.

Sambil menunggu ia membuka kembali ruang percakapan di aplikasi chatting, membaca dua kalimat terakhir yang ia kirimkan hanya dibaca saja tanpa ada balasa.

Ini tumben sekali, biasanya Pram tidak pernah membiarkan chat nya berakhir di Mira, pasti pria itu selalu memberikan respon meskipun kadang kala hanya sebuah stiker.

Mamanya jatuh di kamar mandi, pingsan lalu dibawa ke rumah sakit. Untung saja tidak terjadi apa-apa, tetapi sekalian diperiksa mereka jadi tahu selama ini Mamanya punya penyakit Kardiovaskular.

Mira baru pertama kali mendengar nama penyakit itu jadi ia putuskan untuk mencari pengertiannya di browser.

Penyakit Kardiovaskular ialah penyakit jantung merupakan silent killer yang perlu diwaspadai. Bentuk yang paling umum adalah penyakit arteri koroner, yang melibatkan penyempitan atau penyumbatan arteri utama yang memasok darah ke jantung. Obstruksi dapat berkembang dari waktu ke waktu, atau dengan cepat, dan menyebabkan serangan jantung yang berpotensi fatal.

Perempuan itu tidak mencari tahu lebih dalam, sekiranya ia sudah paham bahwa penyakit tersebut cukup berbahaya sehingga Pram bahkan minta izin untuk menemani Mamanya pulang hari ini.

Maps di aplikasi ojek online nya mengatakan bahwa pengemudi akan sampai tiga menit lagi, Mira menggunakan itu untuk membalas pesan ibunya tadi siang yang tak sempat ia balas.

Ibunya bertanya kabar, hak yang setiap dua hari sekali selalu ditanyakan padanya. Ia selalu menjawab baik bahkan bila sebenarnya dalam kondisi buruk.

Sebuah klakson motor membuat ia mendongak, Mira rasa belum tiga menit tetapi ojeknya sudah datang saja.

Salah sangka, ia tidak mendapat ojeknya melainkan seorang wanita dengan motor matic yang amat familiar.

Lia.

"Aku pengen bicara sama kamu."

Mira menelan ludah susah payah, akibat pernyataan perempuan itu tempo hari, ia selalu takut bisa berhubungan dengan adiknya Pram ini.

"Anu, tapi ojek online saya sebentar sampai."

Lia berdecak karena sadar salah memilih waktu, tetapi ia tidak bisa melepaskan wanita itu begitu saja.

"Oke, kalau gitu aku bilangin di sini aja, lagi pula hanya sebentar," tukasnya dengan wajah datar.

"Jauhin Mas Pram."

Tiga kata itu bagaikan petir di siang bolong, begitu tiba-tiba menyambar. Mira menegang, tetapi tak mampu berbicara.

"Aku sudah bilang, aku takut kamu siapa. Kamu enggak pantas sama Mas Pram, dan lagi kamu pasti tahu tentang Mama yang sakit, kan? Kamu pikir bagaimana kalau Mama tahu siapa kamu sebenarnya? Itu tidak baik bagi kesehatan Mama."

Rasanya tubuh Mira di dorong ke jurang paling dalam. Lia memenuhi janjinya hanya bicara sebentar. Setelah pengemudi ojek online Mira sampai gadis itu pergi tanpa menunggu jawaban dari Mira, seakan pernyataan tadi adalah perintah mutlak.

***
Helo hay.

Sesuai janji, aku up hari ini. Walaupun di jam 5 menit sebelum berganti hari wkwk.

Vote dan komentar yaw

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top