Pilihan terbaik

"Habis telepon sama siapa?" seru sebuah suara dari belakang, membuat Jo sedikit tersentak, tetapi kemudian bisa mengubahnya dengan cepat. Senyumnya terbit begitu melihat secangkir teh yang dibawa Alana.

Pria itu lebih menyukai teh ketimbang kopi, minuman hitam itu mempunyai reputasi jelek dalam hidup Jo, kala dulu ia pernah membangkitkan penyakit mag-nya dan membuat ia harus berbaring di rumah sakit sampai seminggu. Dari sana, Jo tidak pernah lagi meminum minuman itu. 

Menerima teh yang berada dalam cangkir keramik putih berukuran sedang. Alana duduk di samping Jo, pada kursi kosong yang memang pria itu siapkan untuk Lana.

"Bukan siapa-siapa." Rahasia itu akan ia jaga sampai mati, tidak berniat sedikitpun memberi tahu. "Alana, aku mencintaimu."

Alis Alana bertaut, meski tahu suaminya itu memang kerap mengatakan perasaannya tanpa sungkan, tetapi mendengarnya saat ini sangat janggal di telinga perempuan itu.

Udara dingin sehabis hujan menembus kulit yang tidak tertutup kain. "Udara dingin buat kepalamu rusak?"

"Astaga, Alana. Padahal aku hanya mengatakan perasanku." Ada kekehan kecil di akhir kalimat itu.

"Tapi .... Ah, sudahlah." Mendebatkan hal yang sepele adalah hal yang dihindari Alana, maka ia memilih tidak menghiraukan itu lagi. "Oh, ya. Makasih untuk makan malamnya, Jo."

"Sama-sama sayang."

"Malam ini dingin banget, kita tidak masuk dalam saja? Lagi pula sudah mau tengah malam. Aku juga mengantuk."

Satu lagi rutinitas baru yang Alana nikmati semenjak menikah dengan Jo. Makan malam atau dinner setiap bulan, minimal sekali. Bayi mereka dititipkan pada kakak kandung Alana yang rumahnya enggak jauh dari tempat tinggalnya. 

Makan malam itu berjalan seperti biasanya, penuh cinta dan menghangatkan hati. Hanya saja, cuaca akhir-akhir ini yang tidak menentu membuat mereka sedikit kebasahan saat keluar dari restoran menuju mobilnya. Untungnya rejeki mereka semakin lama semakin meningkat, membuat mereka bisa membeli sebuah mobil yang menaungi keluarga baru Alana dari hujan dan panas ketika berpergian.

Jonathan bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan tekstil, posisi itu baru ia dapatkan setelah lima tahun mengabdi. Sekitar satu tahun pasca menikahi Alana. Uang gaji Jo sangat cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun, meski begitu Alana tetap bekerja, bukan karena untuk menyokong ekonomi rumah tangganya, tapi memang hobi; yaitu berjualan online. 

Pundi-pundi rupiah mereka sangat-sangat berkecukupan. Jo sempat menawarkan untuk membeli satu lagi mobil, soalnya mobil selalu dipakai oleh pria itu, membuat Alana acap kali harus memesan kendaraan online. Tapi Alana tidak menerima usulan tersebut, garasinya terlalu sempit untuk menampung satu lagi mobil, juga ia tidak sesering itu keluar rumah.

Betapa Alana sangat bersyukur dengan rumah tangganya ini.

"Aku masih butuh udara segar, kau duluan saja."

Ucapannya menyentak kesadaran Alana dari lamunan tentang rumah tangganya. "Ya, sudah. Lagi pula aku pikir Fatia sudah kangen bundanya setelah ditinggal tiga jam di tempat bibinya."

"Nanti aku menyusul."

Alana memiliki semua kriteria seorang istri impian. Pandai memasak, tidak cengeng, ahli mengurus rumah, ibu yang baik juga partner tidur yang ahli--yah, meskipun perempuan itu sedikit cemburu, ya, sedikit. Tidak ada alasan bagi Jo untuk tidak menyukainya, hanya saja menyukai belum tentu mencintai.

Acap kali menyatakan ia mencintai Alana, Jo merasa ada kebohongan besar yang ia katakan. Jelas, meski sudah dua tahun dan sudah memiliki anak bersama perempuan itu, hatinya masih belum bisa pindah dari Amira--cinta pertamanya.

Bahkan untuk hari ini. Saat ia sudah bertekad memutuskan hubungannya dengan Amira, hatinya masih ada pada perempuan itu, belum juga bisa berpindah pada Alana.

Tindakan jahat nan egois yang barusan ia lakukan juga melukai perasaannya. Jo tahu di sana, di kontraknya Mira pasti marah dan menangis akibat ulahnya. 

Hatinya sedari tadi mengatakan bahwa ia harus pergi ke sana dan mengatakan bahwa yang barusan ia ucapkan tidak sungguh-sungguh. Bahwa seharusnya yang ia lakukan adalah menceraikan Alana dan menikahi perempuan itu dengan segera, seperti impian mereka. 

Hanya saja, pikiran laki-laki itu lebih menguasainya. Membuat ia hanya bisa duduk bergeming di sana, tidak sedikitpun menyentuh teh buatan Alana tadi, ia memandang ke depan pada pagar hijau rumahnya dengan gamang.

Kalau ia memilih menuruti hatinya, akan lebih banyak orang yang ia lukai. Alana, Fatia, keluarga Jo, keluarga Alana dan teman-temannya. Juga orang-orang yang selama ini percaya bahwa tidak ada yang salah dari hubungan Jo dan Alana. Betapa akan banyak yang membencinya, akan banyak hati yang ia patahkan.

Lagipula siapa Jo bisa segeois itu? 

Mira pantas mendapatkan cinta dari pria yang lebih baik darinya. Yang mau memperjuangkannya mati-matian tanpa melukai hati yang lain. 

Jo harap dengan melepaskan Mira, ia tidak akan membuat perempuan itu menderita semakin lama. Pria itu berpikir sudah saatnya berhenti main-main, mereka sama-sama sudah besar, masa depan tidak sebercanda itu. 

Ia sekarang ingin mencoba mencintai Alana sepenuh hati, menjadi ayah Fatia dengan sungguh-sungguh. 

Yah, harapan itu terlihat indah pun sangat baik. Meski sekarang ia seperti anak lajang galau karena dari kedua matanya yang baru saja mengedip sebuah aliran air mata tercipta. Bagaimanapun ia juga tidak bisa mencegah hatinya terluka, melepaskan Mira sama saja melepaskan separuhnya jiwanya. Entah bagaimana caranya ia bisa sekuat itu ketika menelepon Mira dan mengatakan mereka harus putus.

Perempuan yang ia cintai mati-matian. Perempuan yang pertama kali mengetuk pintu hatinya, lalu untuk waktu yang lama ini berdiam di sana sebagai tuan rumah dan ratu di hidupnya. Kini dengan jahatnya ia suruh keluar, meninggalkan goresan panjang nan lebar dalam hati.

Tekadnya sudah bulat, sesakit apapun semuanya harus berakhir di sini.

Kisahnya dengan Mira harus berhenti. Membiarkan mereka mereka melangkah pada jalan yang berbeda dan menjalani hidup yang lebih baik lagi. Tanpa ada perasaan bersalah setiap harinya.

Jo ingin meleburkan diri dengan hati lain, sementara Mira sibuk menata serpihan hatinya di sana.

Mulai sekarang ia ingin mengundang hati Alana dalam dirinya dan menjadikan perempuan itu ratu di sana. 

"Maafkan aku Amira .... Aku tidak bisa mengkhianati Alana, dan membiarkan istriku yang baik itu terluka jika mengetahui hubungan terlarang yang kita lakukan. Maafkan aku ...."

Ia mengusap wajahnya, meneguk teh yang sudah dingin dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Menyusul Alana yang sedang menidurkan Fatia setelah memberinya ASI.

Pada proses menuju mimpi, ia memeluk erat Alana dalam balutan selimut yang menyelimuti keduanya, lalu mengucapkan selamat malam. Dan untuk terakhir kalinya dalam hati ini mengatakan bahwa ia mencintai Alana. Berharap kalimat itu mengubah hatinya untuk benar-benar bisa mencintai Alana.

***

Yeah. Bagi Jo apa yang dilakukannya adalah yang terbaik.

Yuhuuu akan seperti apa kisah ini? Tungguin aja ampe selesai yaaa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top