Langkah pertama
Pertama kalinya Amira kesusahan memilih pakaian untuk ia pakai saat jalan bersama pria lain selain Jonathan. Biasanya bila berpergian dengan laki-laki lain, ia bisa dengan mudah mengambil sebarang baju dan celana, tidak peduli seperti apa tampilannya, yang penting nyaman.
Namun, Mira tidak mau seperti itu untuk Pram. Yang satu ini spesial, pria paling baik hati yang pernah ia temui, meski tidak menyukainya layaknya menaruh perasaan pada lawan jenis, ia menghargai kehadiran Pram dalam hidupnya sebagai penolong.
Tawaran jalan-jalan ke wahana permainan di pusat kota yang ditawarkan Pram, begitu menarik. Rok pensil pendek memang membuatnya menarik, tetapi tidak ia pilih kali ini, melainkan celana jeans pendek, dan baju turtle neck yang ngepas di badan.
Mira menatap pantulan dirinya di cermin. "Tidak, celana pendek ini membuatku kelihatan seperti wanita murahan." Ia segera mengambil celana jeans yang panjang.
Tersadar sesuatu, Mira tertawa pahit, "ya, sebenarnya aku memang perempuan murahan," katanya pelan.
"Murah sekali mau tidur dengan suami orang, lalu dicampakkan begitu saja. Dasar pelacur."
Sesak kembali menguasai dadanya, sudah ia coba untuk tidak memikirkan hal ini sejak bangun, tetapi layaknya jelangkung, Jo selalu muncul di benaknya tanpa di undang.
"Tidak Amira, sudah cukup sedihnya. Hari ini kau harusnya bersenang-senang."
Bunyi klakson motor Pram terdengar, sangat bertepatan ia sudah siap berangkat. Sebelum keluar, ia mengambil tas selempang kulit yang tergantung di dekat pintu kamar. Lalu berjalan penuh semangat keluar.
"Hai, Amira!"
Mira menghentikan langkahnya ketika melihat Pram.
Ia terpesona pada penampilan pria itu. Tampak sangat lain dari biasa ia temui di kantor ataupun penampilan Pram semalam.
Pram sangat tampan kali ini.
Pria itu mengenakan celana jeans berwarna senada dengan milik Mira, bajunya kaos putih biasa, dibalut jaket denim berwarna biru lembut, saat Pram membuka helmnya Mira tidak menemukan kaca mata yang selama ini melekat di wajahnya.
"O .. oh, halo, Mas..." entah mengapa ia tiba-tiba jadi gugup.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?"
Mira menyinggung senyum lebar, "sudah sepenuhnya baik!" Ia berujar penuh semangat untuk meyakinkan Pram.
"Alhamdulillah, bagus. Aku sebenarnya sedikit khawatir sama kesehatan kamu."
"Mira udah sehat, Mas. Berkat bubur buatan Mas," Kata Mira sambil memasang helm mandiri, tindakan itu membuat Pram kecewa karena tidak punya momen untuk membantu memakaikan helm seperti yang dilakukan oleh pria di film-film pada kekasihnya.
"Buatan Mama lebih tepatnya."
Tidak menunggu waktu lama, dengan motor matic yang baru Pram servis Minggu lalu, dia sejoli itu melaju membelah jalanan.
Angin menyapu wajah Mira yang tidak tertutup kaca helm, sengaja. Mira tidak suka terlalu sesak, ia menyukai deru angin yang menabraknya. Segar...
Sama seperti ia menyukai perjalanan sore itu ke vila bersama Jo.
Sialan!
Lagi-lagi, pikir Mira. Mengapa ia sulit sekali menghilangkan Jo dari kepalanya, juga kenapa kenangan manis yang selalu mengusiknya. Bukankah jelas-jelas terakhir kali mereka bertemu, Jo membuangnya.
Karena kesal, Mira refleks memeluk erat pinggang Pram. Ia sekarang bersama Pram, tidak boleh ada Jo lagi yang ia pikirkan.
Di satu sisi, Mira tidak sadar telah membuat Pram deg-degan setengah mati.
Perempuan yang ia sukai memeluknya. Tidak cukup fakta bahwa mereka untuk pertama kali jalan bersama, kali ini ia dipeluk.
Pram berpikir apakah ini tanda-tanda bahwa ia berjodoh dengan Mira. Senang sekali hatinya.
Ia berharap perjalanan ini amat panjang agar bisa lebih lama dipeluk Mira.
***
Kejadian hampir ketahuan kemarin membuat Jonathan harus bergerak lebih hati-hati sekarang. Ia harus segera menghilangkan jejak Mira di hidupnya agar tidak ketahuan.
Meskipun sudah memutus hubungan dengan selingkuhannya itu, Jo tetap tidak mau ketahuan. Alana hanya boleh mengenalnya sebagai pria baik-baik, suami yang setia, ayah yang bertanggung jawab.
Karena toh, semua kebusukannya telah ia akhirnya, Jo berpikir tidak perlu jujur pada satu hal penuh dosa itu.
"Sini, biar aku yang bawa tasnya," Jo merebut tas hitam berisi perlengkapan bayi, milik Fatiah dari tangan Alana.
Hari ini, untuk menyenangkan hati istrinya selepas pertengkaran hebat itu, Jo mengajaknya untuk jalan-jalan ke taman hiburan.
Sudah lama sekali mereka tidak melakukannya. Terakhir kali, saat Fatiah masih berumur tiga bulan dalam perut Alana.
"Terima kasih Jo, Alana rewel banget kali ini. Kayaknya ia semangat sekali jalan-jalan," seru istrinya sembari menggendong bayi mungil mereka yang kini bergumam dan bergerak risak di gendongan sang ibu.
"Dia mirip banget kayak kamu, Al."
Alana tertawa, "Yailah, aku ibunya! Kalau gak mirip baru bahaya."
Jo ikut tertawa, ia senang Alana kini bersinar, semalaman ia tidak bisa tidur karena istrinya masih muram meskipun ia telah memberikan alasan bohong penuh keyakinan.
"Yok, Mas cepat. Aku males ngantri kalau datangnya kesiangan."
Jo mengangguk dan membuka pintu mobilnya untuk Alana, setelah selesai menyimpan tas di kursi belakang.
"Let's go, holiday!"
***
Satu orang berpikir bisa melupakan bila dengan pergi jalan-jalan bersama pria lain, satu lagi berpikir sudah menyelesaikan masalah dan kini tinggal bersenang-senang.
Sebuah nasib mempertemukan mereka kembali.
Amira bersumpah serapah melihat Alana, istri Jo, berada sebaris dengan dia saat mengantri membeli teh Thailand.
Mira membuang muka berulang kali saat Alana itu tetap saja memandangi ia dengan tatapan menyelidik.
"Mbak yang hari itu datang ke rumah, kan?"
Habis sudah, batin Mira. Ia tetap ketahuan.
"Eh?" Kata Mira pura-pura lupa.
"Kamu yang nyariin Jonathan, aku istrinya," Alana coba mengingatkan Mira.
"Wah, iya, ya? Kebetulan banget ketemuan di sini, Mbak." Percuma saja berpura-pura lebih lama, ia tetap ketahuan pikir Mira, sekarang ia hanya harus melarikan diri secepatnya.
"Iya, saya ke sini sama Jo. Itu dia di sana," Alana menunjuk ke arah Jo dan bayi mereka duduk di sebuah kursi besi di bawah pohon.
Mira sesungguhnya sangat ingin mengabaikan Alana, ia juga tidak Sudi melihat Jo lagi. Tapi, ia tidak enak, akhirnya tetap melirik sebentar. Sayangnya sebentar pun tetap memberikan efek samping besar pada hatinya.
Ia cemburu.
Bisa-bisanya mereka kini bersenang-senang, padahal mereka telah menghancurkan dirinya berkeping-keping.
"Kalau mau, kita bisa bareng."
Mira cepat menggeleng, "Enggak Mbak, saya sama teman. Maaf." Ia menerima tahi tea pesanannya, lalu menunjukkan dua cup minumannya pada Alana.
"Saya sudah ditunggu, terima kasih sebelumnya."
"Tidak apa-apa, selamat bersenang-senang!"
"Mbak juga."
Tidak, Mira seharusnya tidak mengatakan itu. Ia seharusnya menyumpahi Alana supaya sial hari ini, mereka tidak pantas bahagia.
Mira melangkah pergi dengan cepat, menjumpai Pram dan mengajaknya pergi.
"Kenapa wajah kamu jadi kusut gini, Mir?"
"Enggak apa-apa, Mas. Mira cuma takut naik roller coaster."
Mereka kini memang sedang mengantri tiket untuk naik wahana tersebut.
"Kenapa enggak bilang dari tadi."
Pram langsung menarik Mira keluar dari antrian.
"Kita bisa cari permainan lain saja."
Mira sekarang merasa tidak enak, lagi-lagi ia berbohong. Padahal Pram bercerita ia ingin sekali naik rollercoaster, sudah lama ia tidak main wahana tersebut.
"Maaf ya, Mas. Kalau mau Mas bisa tetap main, Mira bisa nunggu di sini."
"Tidak bisa begitu, aku ngajak kamu ke sini untuk senang-senang bareng bukan untuk senang-senang sendiri."
Akhirnya pilihan mereka jatuh pada bianglala, ini masih siang. Jadi antrian untuk membeli tiket tidak sepanjang saat malam hari.
"Setelah sekali lagi putaran, kita bisa naik," jelas Pram. Menggandeng Mira mendekati pintu masuk.
Benar saja, hanya menunggu tiga menit, giliran mereka tiba. Mood Mira perlahan membaik melihat Pram dengan semangat membuka pintu untuknya menggantikan petugas di sana.
Tingkah pria itu amat lucu.
Tapi hal tersebut hanya berjalan sebentar, ketika pintu kemudian ditutup perlahan, ia melihat Jo dengan istrinya masuk satu bagan setelah bagan mereka.
Lalu semakin kacau saat tatapannya bertemu dengan Jo. Pria itu tampak kaget.
"Mir, kamu kenapa? Sejak tadi wajahmu kusut." kalimat Pram membuat Mira mengalihkan pandangannya.
"Kamu enggak suka juga naik ini?"
"Eh, nggak gitu Mas. Mira suka, kok. Cuma agak takut ketinggian aja."
Bohong lagi, Mir. Sampai kapan?
Pram berpindah tempat ke samping Mira. "Nggak usah takut, aku di sini. Semua aman." Tangannya digenggam lembut.
Sejenak Mira tertegun, apalagi saat Pram menatapnya penuh perhatian. Ia luluh. Pria baik ini manis sekali. Pikirnya.
Saat di puncak, Mira mengulas sebuah senyuman lebar, ada satu hal yang ingin ia lakukan untuk mengakhiri kondisi tidak nyaman yang sedari tadi mengusiknya.
Ya, saat posisi bagan mereka turun, ia bisa melihat Jo menatap ke arah mereka.
Ide dari mana tiba-tiba saja Mira memajukan wajahnya mendekati Pram yang masih setia menatapnya.
Lalu ia mencium bibir Pram, ia pikir hanya kecupan saja cukup untuk membalas Jo yang membuangnya. Tapi ia tidak menyangka, Pram malah membalasnya dengan ciuman dalam yang memabukkan.
****
Aku akan update kalau vote (bintang) di chapter ini sudah 50, dan komen 10.
Jadi kalau mau tahu kelanjutannya, kasih aku apresiasi berupa vote dan komen ya!
Salam
Cangtip1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top