Jalan salah untuk masalah
Dokter bilang ibu hamil tidak boleh banyak pikiran, tidak boleh stress, harus banyak istirahat. Mira malah melakukan sebaliknya, ia sudah semalaman menangis, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 4 subuh, jelas-jelas tubuhnya lelah, ia ingin beristirahat, tapi tidak bisa.
"Ya Allah, aku sangat menyesal, ya Allah. Bagaimana ini? Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan."
Pertanyaan itu berulangkali ia lontarkan pada dirinya sendiri, meskipun hingga kini tak kunjung mendapatkan jawaban.
Ia meringkuk di kamar mandi, tubuhnya menggigil karena semalaman mengenakan pakaian basah. Entah apa yang ia pikirkan, kepalanya penuh. Ia sempat berencana ingin bunuh diri, Mira pikir itu jalan satu-satunya untuk melarikan diri dari masalah ini.
Namun, saat pisau ia arahkan ke pergelangan tangan, sekelebat bayangan orang tuanya lewat. Bagaimana perasaan mereka jika mendapatkan kabar anak mereka meninggal karena bunuh diri di perantauan, belum lagi mereka akan tahu kondisinya yang berbadan dua.
Selain itu, Mira menyentuh perutnya yang masih datar. Janin ini tidak bersalah, pikirnya. Hati kecilnya tidak sejahat itu untuk membunuhnya.
Mira ingin mempertahankan anaknya.
"Namun aku harus bagaimana, ya, Allah? Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Pilu ia masih menangis tersedu-sedu. Beberapa saat ia melamun, hingga sebuah dering telepon mengusiknya. Telepon genggam yang masih ada di tas selempang Mira, di atas tempat tidur. Ia menarik napas, beranjak bangkit, sebab ponselnya terus berdering meskipun sudah ia abaikan berkali-kali.
Mira rasa ada sesuatu yang penting, makanya ia ditelepon terus menerus.
Ternyata si penelepon adalah Jonathan. Amarah Mira meluapkan seketika. Ia angkat telepon itu.
"Berhenti menelepon, Jo. Sudah kubilang lupakan apa yang kau lihat tadi siang. Aku bisa mengurusnya sendiri."
"Mira, bagaimana bisa aku melupakan itu?" ada helaan napas berat di seberang sana, tampaknya Jo juga merasakan frustrasi yang sama. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Mira? Maafkan aku sungguh, aku tidak berpikir ini akan terjadi. Maaf Mira. Tolong jangan lakukan hal yang berbahaya, kalau kau mau aku akan bertanggung jawab."
"Enggak, Jo. Please, jangan masuk lagi ke kehidupan aku. Aku urus ini sendiri, tolong jangan hubungi dan temui aku setelah ini, tolong pergi dari hidupku, Jo. Aku mohon."
"Mira itu anakku, aku harus bertanggung jawab atas kalian."
Air mata Mira mengalir lagi, jika kondisinya Jo tidak beristri maka Mira rasa ucapan Jo barusan adalah angin segar. "Enggak, Jo. Cukup jangan temui aku lagi, sudah itu saja."
"Mira kumohon."
"Lupakan, Jo. Kau yang bilang bahwa kini kau fokus pada istri dan anakmu. Bahwa kita tidak memiliki masa depan. Kau benar, Jo. Tidak akan pernah ada kita."
Mira mematikan teleponnya dan mencabut kartu simnya dari ponsel.
"Aku bisa melewati ini. Ya, Mira kau pasti bisa." Kali ini Mira sudah bisa bangkit dari keterpurukannya.
Ia bergegas untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor. Waktu terus berputar meski hidup seberat apapun.
Ilham darimana, tapi mendadak Mira dapat pencerahan sejak usai bertelepon dengan Jo. Ia akan mempertahankan janin ini, tapi ia akan urus semuanya sendiri.
Pertama-tama adalah ia harus lari dari Jo. Maka ia harus pindah dari kontrakan ini.
***
Meskipun keadaan tampangnya sangat pucat dan lelah, ia bersemangat bekerja. Jarinya lincah mengetik. Ia beberapa kali mengintip jam tangannya. Menunggu seseorang yang biasanya jam segini menghampiri dirinya.
"Mira, kau mau susu cokelat panas?"
Mira bersemangat berbalik dan tersenyum. "Mau, Mas."
Pram melihat tingkah berbeda Mira, seperti ada yang salah dari gadis ini.
"Mas Pram, sibuk nggak?"
"Ha?" Pram benar-benar tidak biasa melihat tingkah Mira kali ini. Biasanya kalau ia memberikan minuman, Mira tidak pernah duluan menciptakan percakapan.
"Mas Pram lagi sibuk, nggak?" ulang Mira.
"Hm, kebetulan tidak ada pekerjaan yang harus buru-buru disiapkan. Kenapa, Mir?"
Berat sekali untuk mengatakannya, tapi Mira tidak punya jalan lain. Ia butuh Pram membantunya keluar dari masalah ini, sebenarnya ia tidak mau laki-laki sebaik Pram harus masuk pada masalah ini.
"Maksud Mira, nanti malam Mas Pram sibuk nggak?"
Pram menatap lekat manik mata hitam milik Mira, wanita itu menanti jawaban darinya, ia terkesima bagaimana dulu wajah itu kerap menunduk setiap kali mereka mengobrol kini tampak berani bahkan menatapnya tanpa berkedip.
"Enggak, Mir. Emangnya kenapa?"
"Mas Pram bisa bantu Mira pindahan nggak? Soalnya kontrakan lama udah enggak nyaman."
Pria itu tersenyum, untuk pertama kalinya Mira melibatkan dirinya untuk membantu hidup wanita itu. Biasanya ia harus membujuk Mira, agar bisa membantunya. Mira kini terasa berbeda seakan sudah bisa digapai.
Pram tersenyum tipis lalu tangan gatal ingin mengelus wajah Mira, lalu berkata apa yang tidak bisa aku lakukan untuk gadis yang kuncintai.
Namun, Pram masih punya kendali penuh atas perasaannya. Ia tak mengatakan kalimat rayuan tersebut.
"Bisa Mira. Nanti sekalian kita pulang bareng saja."
***
Jantung Mira berdegup kencang, salah ini semua salah. Entah ide dari mana yang membuat perempuan itu berpikiran jahat. Pram tidak bersalah dia pria baik-baik, haruskah ia jebak sedemikian rupa?
Ia manatap lama dua gelas air sirup dingin di nampan yang hendak ia bawa.
Malam ini Pram jadi membantunya untuk pindahan, tidak perlu waktu lama, barang-barang Amira juga sedikit, dan jarak kontrakan lama ke kontrakan baru tidak jauh-jauh amat.
Sudah pukul sebelas malam, semua barang sudah selesai dipindahkan. Namun, untuk berberes mungkin Mira lakukan besok saja.
Pram tengah mengipasi tubuhnya yang berkeringat habis mengangkat barang-barang Mira di ruang tamu.
Jahat kamu Mira, kata Mira pada dirinya.
Bagaimana tidak di gelas yang hendak Mira berikan pada Pram itu sudah ia campur dengan obat perangsang.
Ini mungkin gila. Tapi Mira sudah tidak punya pilihan, ia tak mau mengaborsi janin di perutnya, pun tak mungkin sendirian berjuang apalagi keluarga tahu ia punya anak tanpa ayah bisa hancur lebur orang tuanya.
Mira tahu Pram menyukainya, ia yakin Pram tidak akan keberatan bila menikah dengan Mira, tapi Mira ragu Pram mau padanya dengan kondisi hamil anak pria yang sudah beristri.
Mira ingin menjebak Pram untuk tidur dengannya malam ini, maka beberapa Minggu kedepan ia bisa mengaku-ngaku sedang mengandung anaknya.
Pram pasti akan tanggung jawab. Mira membulatkan tekat dan akhirnya berani membawa gelas itu pada Pram.
Pria itu tersenyum melihat Mira. Apalagi wanita itu duduk di samping nya, dengan jarak sangat dekat dan memberikan segelas minuman dingin untuknya yang sedang kegerahan.
"Terima kasih banyak Mira," katanya lalu meminum sirup dingin tersebut sampai habis.
"Mira yang berterima kasih banyak sama Mas Pram, maaf juga sudah mau direpotkan."
Pram menggeleng, ia tidak ingin membuat wanita itu merasa bersalah, karena sesungguhnya ia melakukannya dengan senang hati.
Kendati begitu, ada yang aneh dengan tubuh Pram, bukannya jadi sejuk karena telah minum air dingin, tubuhnya malah semakin panas.
Desiran di tubuhnya membawa ia melihat Mira yang kini hanya memakai kaos polos dan celana longgar terlihat begitu menggoda di matanya. Ini tidak benar, Pram tidak pernah mau menodai Mira. Tapi tubuhnya seperti hilang kontrol, apalagi kini Mira mengimat rambutnya di hadapan Pram karena berkeringat sama sepertinya, leher putih mulus itu ingin Pram sentuh dan kecup.
"Mas Pram kenapa?" Tanya Mira pura-pura polos melihat Pria itu kini menunjukkan efek dari obat yang ia berikan.
Mira bahkan dengan sengaja mengambil satu lembar tisu lalu mengusap keringat di kening Pram. "Kamu sangat berkeringat, Mas." Ucap Mira sensual memancing Pram bertindak padanya.
Benar saja pertahanan Bram akhirnya tumbang, tangan pria itu menarik pinggul Mira untuk mendekat, lalu sebelah tangannya meraih tengkuk Mira.
Pram mencium bibir Mira, hal itu membuat Mira tersenyum penuh kemenangan, ia pasrah saja pada apa yang akan Pram lakukan padanya.
Membalas ciuman panas Pram kala pria itu melumat bibirnya. Juga mendesah saat pria itu mulai meremas dadanya agar ia semakin terangsang. Untung saja ia sudah menutup pintu, sehingga meskipun mereka akan melakukan percintaan di ruang tamu, akan aman-aman saja.
"Maaf Mira," ucap Pram dengan gemetar saat keduanya telah sama-sama telah dalam kondisi telanjang, dan pria itu memasukkan miliknya pada Mira.
Mira pura-pura kesakitan seperti baru pertama kali melakukannya, mencakar punggung Pram.
Lalu malam itu mereka habiskan dengan kegiatan penuh keringat, Mira senang sekali saat Pram menyemburkan benihnya di rahim Mira. Rencananya berhasil.
***
Vote dan komen, 30 vote aku langsung update!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top