Hutan Belantara

Seseorang membangunkannya dengan terburu-buru, sambil menyerukan namanya dengan cepat. 

"Mir, bangun, Mir ...." Badannya diguncang-guncang, mengeluarkannya dari alam mimpi dengan paksa. Matanya masih sangat berat saat melihat Jo di depannya dengan pakaian tebal dan sebuah ransel di punggung.

"Kau lupa kita harus berangkat? Sudah jam berapa ini?"

Mira segera bangkit dari tidurnya dan memeriksa ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Jam sudah menunjukan pukul empat lebih sepuluh menit. "Astagaaa, aku lupa bangun." Bergegas ia hampiri lemari, mengabaikan keberadaan Jo.

"Hei, apa yang kau cari?"

"Jaketlah!" Mira mengobok-obok benda persegi itu. Tapi yang ia temukan hanya beberapa kaos dan pakaian tidur. "Aduh kok di sini enggak ada?"

Jo menarik tangannya, dan memberikan sesuatu yang ia bawa saat masuk ke kamar Mira tadi. "Jaket bukan termasuk  fasilitas villa, pakai ini."

Mira mengangguk, meraih pakaian itu. Ia hanya mendabel segalanya. Celana panjangnya ia pakai menyelimuti kakinya yang masih mengenakan celana tidur. Pun jaket tebal dengan Hoodie berbulu-bulu itu menyelimuti tubuh dari dinginnya udara.

"Jangan lama lama, kita udah telat ini!"

"Iya-iya sabar, bentar lagi siap ini."

Dengan pakaian yang sudah lengkap Mira menyusul Jo ke depan. Tapi ia heran mengapa motor Jo belum di keluarkan. "Jo, motornya mana?"

"Ah, iya. Aku lupa bilang perjalanan kita harus ditempuh dengan kaki. Ayo!" 

Pantas saja Jo mengatakan harus cepat-cepat ternyata mereka harus berjalan kaki ke bukit yang di maksud Jo. 

Buru-buru Mira mengganti sendalnya dengan sepatu yang sudah disiapkan Jo. Lalu setelah selesai ia menerima uluran tangan Jo untuk membantunya berdiri.

Mereka masuk ke jalur setapak yang ada di samping villa. Memasuki perkebunan kopi yang masih gelap gulita, penerangan hanya berasal dari lampu senter di tangan Jo, udara sangat dingin saat itu, sebab sialnya pagi ini gerimis datang mendadak.

"Mira jangan jauh-jauh dariku," tanga gadis itu ia tarik mendekat ke arahnya saat Mira untuk sekian detik melepasnya. "Kebun ini luas banget, tidak ada penerangan, kau bisa tersesat." 

"Iya, iya. Aku akan selalu berada di dekatmu, kapten!"Mira meremas tangan Jo dan semakin mendekatkan diri mereka. "Gerimis, awan gelap di langit, apa kita bisa melihat matahari terbit nanti? Secara ini mendung."

Hal itu juga yang Jonathan pikirkan sejak tadi, tapi sudah terlanjur pergi. "Kita sampai sana dulu, doain aja hujannya reda." 

"Semoga aja."

Keduanya pun berjalan dengan berhati-hati, hujan-hujan seperti ini track aja menjadi licin apalagi saat jalan yang mereka pijak mulai menanjak. Pohon-pohon kopi mulai sedikit terlihat, justru lebih banyak pohon kayu dan semak-semak.

"Kita sudah ada di pinggiran kebun, dari sini sampai ke atas nanti bakalan nanjak terus. Kau sanggup, kan, kan?"

Mira tidak menjawab, sebagai gantinya ia memilih melangkah semangat ke depan sebagai jawabannya. Ia memang tidak pernah mendaki sebelumnya, pun ia tidak terlalu sering punya kegiatan di alam. Tapi Mira merupakan lomba lari tujuh belasan, staminanya kuat."

Bunyi kodok yang menggema di sepanjang jalan, beradu dengan suara jangkrik yang tetap bersemangat di kala hujan. Belum lagi serangga-serangga yang lain. Namun, kebisingan itu tidak menyurutkan langkah keduanya.

"Aww, Jo!" Mira terpeleset saat kakinya menginjak batu licin di sisi jalan. Ia jatuh terjerembab dan kakinya bergesekan dengan batu, tanah dan ranting-ranting. Untung saja tangan Jo sigap menggapainya, sebelum ia semakin turun lebih ke bawah.

"Sudah kubilang hati-hati!"

"Mana aku tahu itu licin sekali. Lagi pula kenapa kita hanya membawa satu senter, sih!"

Sembari membantu Mira berdiri, Jo berujar, "Hei, siapa suruh ketiduran. Untung saja aku sempat membawa satu!"

"Kok malah balik nyalahin aku?!"

"Kau yang duluan nyari ribut!"

"Kakiku sakit, nih. Kalau kau marah-marah mending kita pulang!"

"Astagaaa kau yang memulai," Jo kesal dan meninggalkan Mira, tidak peduli perempuan itu tengah kesakitan di sana. "Kalau mau pulang silahkan, sana, pergi saja sendiri!"

Laki-laki benar-benar pergi, bahkan saat Mira meneriaki namanya dan meminta bantuan. Dari rasa sakit, nyeri dan berdenyut. Mira sadar kakinya di bawah sana terluka, tetapi begitupun Jo masih dengan tega pergi.

Bangkit berdiri dengan sisa tenaganya, Mira mendengus marah. "Aku pulang! Kau pikir aku tidak bisa sendiri! Dasar laki-laki jahat!"

Mira memaki-maki Jo di setiap langkahnya menyusuri hutan nan gelap, pencahayaan yang sangat-sangat minim, dari langit yang sedikit terang. Walaupun mendung masih ada sedikit cahaya yang membantu Mira.

Sebenarnya Mira bahkan tidak bisa menemukan jalan yang ia lalui sebelumnya, dengan suasana gelap, basah, kakinya yang kesulitan jalan. 

Mira terisak menyadari ia malah tersesat di sana. "Ibu ..., Mira takut ...." Tidak mau cepat menyerah walau sambil terisak dan terseok-seok, ia berusaha berjalan sedikit demi sedikit.

Tapi sebuah suara dari belakang membuatnya berhenti. Hutan itu sunyi nan gelap, kecuali serangga dan kodok Mira. Bagaimana kalau itu harimau? Jantung perempuan itu berdebar kencang. Mau bagaimana pun hutan tetaplah hutan, tempat hewan-hewan liar hidup.

Ia memaksa kakinya berjalan cepat tanpa sekali pun menoleh ke belakang, sekadar memastikan apakah benar itu hewan buas atau tidak. Mira terlalu takut untuk melakukannya, yang ada ia terus berlari patah-patah.

Namun sialnya, ia tidak punya peruntungan baik, kakinya kembali melangkah ke jalan yang salah. Meski tidak separah tadi, tapi kali ia jatuh ke tempat kubangan air. Celananya basah, pun sebagian besar baju di perutnya.

"Sial!!!" teriaknya frustrasi.

"Dasar payah. Sudah kubilang kalau jalan hati-hati."

Mira mendongak mendapati Jo ada di hadapannya sekarang, tersenyum mengejek tapi satu tangannya terulur hendak membantunya. "Kau tidak mau tersesat dalam hutan, kan? Sini tanganmu, jangan gengsi."

Mau tidak mau Mira, pun menerimanya. Ia mengusap wajahnya yang basah setelah berhasil berdiri. "Seandainya kau langsung bilang kalau yang datang itu dirimu, aku tidak perlu lari, dasar!"

"Lagi-lagi menyalahkan orang atas salahmu sendiri. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, ayo pegang tanganku."

Menyingkirkan kesalnya, Mira lebih mementingkan keselamatan dirinya ketimbang kembali berdebat sampai Jo kalah. 

Mereka tidak pulang ke villa, melainkan melanjutkan perjalanan ke bukit. Namanya bukit, yang tidak lebih tinggi dari gunung. Mereka akhirnya sampai setelah melewati beberapa track terjal. 

Mungkin karena gerimis, matahari tidak muncul-muncul juga. Padahal jam sudah menunjukkan pukul enam.

"Sial, kita tidak bernasib baik. Mendung kayaknya bakalan gelap sampai hujannya selesai."

Mira mengembuskan napas panjang, duduk di sebuah batu panjang besar yang menyerupai tempat duduk. Di tempat mereka saat ini tidak ada lagi rumput atau kubangan air, sebab memang telah dikhususkan untuk bersantai melihat pemandangan matahari dari atas sana.

"Jadi kita pulang dengan sia-sia?"

"Hmm, mau bagaimana lagi. Tidak mungkin tunggu sampai sore, kan? Kita harus pulang."

"Ah, tubuhku sakit tapi tidak mendapatkan apa-apa." Mira memejamkan mata, kakinya yang luka emang sakitnya luar biasa, apalagi setelah basah karena jatuh tadi. Celananya lembab, ia sungguh tidak nyaman, pun bajunya yang basah tidak lagi berfungsi menghangatkan tubuh.

"Di sebelah sana ada pendopo." 

"Lalu?"

"Kau mau beristirahat sambil hujan-hujanan begini emangnya?"

Ah .... Sebenarnya Mira inginnya langsung pulang. Keadaannya sungguh sangat tidak nyaman saat ini.

***

Nulis ini jadi pengen daki lagi, tapi masih korona. Ah, pengen liburan, kan, jadinya.

See you next chapter

Cangtip1

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top