Habis Tak Bersisa

"Salah paham?" Mata bernetra cokelat itu melotot, buku jarinya memutih akibat terlalu kuat mengepalkan tangan.

"BAGIAN MANA YANG AKU SALAH PAHAM, JO? BAGIAN KAMU MAIN SAMA PEREMPUAN LAIN DI BELAKANG AKU? ATAU TENTANG KAMU YANG TIDUR SAMA PEREMPUAN LAIN SELAIN AKU?"

Bayi kecil dalam gendongannya langsung menangis histeris mendengar suara keras sang Ibu. Jo berniat mengambil bayi itu dari Alana tetapi dengan cepat istrinya itu menghindar.

"Jangan sentuh anakku dengan tangan kotormu, sialan!"

"Tenang, Al. Kamu jangan berlebihan begini. Kamu buat situasinya menjadi kacau." Pria mengusap wajah, melihat keadaan yang kini sulit ia kendalikan.

Alana dalam emosinya, Fatiah menangis dengan nyaring, dan gadis yang kini dulu terkulai di lantai dengan mata merah bengkak juga air mata yang tidak bisa ia hentikan mengalir.

"Tahu diri kau, Jo! Yang membuat ini semua kacau siapa?"

"Hentikan Alana! Kamu bicara kasar di depan bayi kita? Kamu ini ibu macam apa, huh?"

"Kau yang manusia macam apa, Jo?" Balas Alana tak akan pernah mau kalah, rasa benci dan marah membakar dirinya. Jika memungkinkan dia ingin menghajar pria itu detik itu juga.

"Kau selingkuh sama perempuan itu! Aku kurang apa? Apa aku pernah ada salah sama kau, Jo? kita punya Fatih, keluarga kita sempurna. Kurang apa lagi, sampi kau main sama perempuan lain? Kalian bahkan sudah sampai melakukan ...." Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya, luapan emosinya menghanguskan semuanya.

Pada titik itu, tenaganya mendadak habis. Luruh lantak perasaannya saat ini.

"Talak aku, Jo. Akhiri semua ini, aku mau kita cerai."

Jonathan tahu, jika kemungkinan terburuknya adalah Alana akan meminta cerai. Akan tetapi ia masih juga terkejut mendengarnya, ia tidak melakukan itu. Ia mencintai keluarga kecilnya itu.

"Nggak, Al. Kumohon jangan mengucapkan kata-kata itu, aku tahu kamu pasti sedang emosi. Tolong jangan ambil keputusan saat kondisi seperti ini."

Pria mendekati Alana, berusaha menggapai sang istri. Dengan sigap Alana menjauh, memandang jijik Jo, ia tidak sudah dirinya disentuh.

"Aku sudah mengakhirinya dengan Mira. Aku pilih kamu, Al. Aku pilih keluarga kita, aku sudah berhenti aku bersumpah," ujar Jo penuh permohonan agar Alana luluh. Ia berharap dapat menaklukkan wanita itu seperti biasanya.

"Aku enggak akan percaya lagi sama omong kosongmu. Sialan kalian berdua!" Setelah mengatakan Alana beranjak dari sana dengan langkah lebar-lebar.

Jonathan tahu ia seharusnya mengejar sang istri untuk terus-menerus meminta maaf agar Alana tidak jadi meminta cerai, tetapi Mira yang sedari tadi diam saja membuat ia khawatir.

Wajah pucat itu terlihat butuh pertolongan, alhasil membiarkan Alana pergi, ia memilih menghampiri Mira.

"Pergi Jo, kejar istri kamu," kata Mira mencegah Jo membantu dirinya. Dengan sisa tenaga yang tinggal lima persen ia menolak uluran tangan pria itu.

"Aku enggak bisa meninggalkan kamu dalam keadaan begini." Itu benar, meskipun rumah tangganya di ujung tanduk tetapi nuraninya tidak tega.

"Pergi Jo, pergi kumohon.... Akh..." Ia memegang perut yang tiba-tiba sakit, amat teramat sakit.

"Mir kamu kenapa? Perut kamu sakit."

"Per--gi, Jo....."

"Aku bawa kamu ke rumah sakit."

"Ahhh Sakit sekali...." Rintihnya sambil memegang perutnya, ia memandang pria itu dengan ekspresi memelas. "Pergi susul istri kamu, pertahankan rumah tangga kalian."

Jonathan tidak bergeming memandang tidak percaya Mira yang menyuruhnya untuk mengejar wanita lain. "Apakah sekarang kamu benar-benar melepasku, Mir?"

Sakit di perutnya dan sakit di hatinya berlomba-lomba menyakiti dirinya, ia mengangguk sebagai jawaban. "Kita sudah berakhir."

"Baik, tapi biarkan aku membantumu untuk terakhir kali."

Jonathan membawa tubuh lemah mira, menggendongnya menuju mobil yang ia parkiran di pinggir jalan. Sementara Mira dalam sadar dan tidak sadar tersenyum pahit.

Dalam benaknya berpikir seandainya saja dulu ia tidak sebodoh itu masuk dalam permainan api, mungkin ia tidak akan terbakar seperti ini.

Pria yang kini dengan panik membawanya pergi ke rumah sakit, khawatir akan dirinya. Seandainya saja dia adalah suami sah Mira.

Atau seandainya saja ia bisa egois dengan menerima permintaan Jo untuk bertanggung jawab atas janin yang tengah ia kandung.

Ia berandai-andai hilang gelap menyelimuti dirinya sepenuhnya dan ia tidak sadar lagi.

***

Mira benci mendapati kenyataan ia masih terbangun pagi itu, sayup pembicaraan seorang dokter dan perawat membuat ia perlahan sadar di mana dirinya.

Ia di rumah sakit. Dokter laki-laki dengan stetoskop mengalung di lehernya menyadari pasiennya telah bangun. Ia cekatan memeriksa keadaan Mira.

"Syukurlah anda telah bangun, Bu. Sudah hampir dua hari ibu tidak sadarkan diri."

Pantas saja Mira merasakan lehernya begitu kering, selama itu juga ia tidak mendapati asupan air. Ia meminta minum pada sang dokter, tetapi baru saja si suster yang hendak mengambilkan, sebuah tangan lebih dulu meraih gelas yang dibawa si suster tadi.

"Ini minumlah."

Mira mendongak melihat Pram di sana. Wajahnya begitu kusut tetapi masih sempat-sempatnya sebuah senyuman ia lemparkan padanya.

Merasa tugasnya saat itu selesai, dokter dan suster pamit keluar ruangan. Dua orang yang tertinggal kini diam seribu bahasa.

Mengingat perkataan dokter tadi, berarti sudah dua hari ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia ingin bertanya mengapa Pram mengetahui keberadaannya, mengapa juga justru pria ini yang ia temui bukannya Jo yang memng terakhir kali bersamanya.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar. Aku khawatir sekali mendengar kabarmu, dokter bilang ini karena faktor kamu kecapean dan terlalu stress."

Pram menjelaskan sebagai pembunuh sunyi, sedangkan Mira tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Mungkin sehari dua hari lagi kamu sudah bisa pulang, istirahatlah yang cukup."

Perhatian yang diberikan pria ini masih sama seperti sebelumnya, masih hngat da tulus. Semua itu justru bagaikan belati transparan bagi Mira, rasa bersalahnya membuat ia merasa tak pantas menerima kebaikan Pram.

"Kenapa Mas Pram masih baik sama Mira?" Bibirnya yang masih kering, lidahnya yang kelu, setenguk air yang ia minum tidak mampu meredakan keringnya kerongkongan. "Aku tahu Mas pasti sudah tahu yang sebenarnya, kan? Lia pasti sudah memberitahu Mas Pram."

Pria itu menghela nafas panjang, "Kamu istirahat saja dulu, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi aku." Pram meletakkan ponsel Mira di samping tempat tidurnya.

"Aku hamil anak pria lain, Mas. Bukan kamu, aku menjebak dirimu malam itu." Rentetan pernyataan itu Mira lemparkan sebelum Pram keluar ruangan, menghentikan langkah kakinya.

"Itu jawaban pertanyaan kamu hari itu. Anak yang aku kandung bukan anakmu. Kamu tidak harus bertanggung jawab untuknya."

***

Tinggalkan jejak berupa vote dan komentar yawww:>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top