Ciuman Pertama
Ada sebuah lentera di salah satu tiang pondasi pendopo, Jo mengambil dan menyalakan lampu tersebut. Di letakkan sumber cahaya itu di tengah, kemudian dengan tangannya, ia mengintruksikan kepada Mira agar mendekat dan duduk di depan, Mira menurut.
Tas ransel yang di bawa Jo ternyata memuat banyak peralatan. Tas itu memang tidak terlalu besar, tetapi isinya lumayan banyak.
Jo menarik kaki Mira yang terluka. "Sakit?" tanyanya saat menekan salah satu bagian.
"Ya, aku merasa kulitku terluka di dalam sana."
"Kalau begitu buka celana mu."
"Ha?!"
"Jangan terkejut begitu. Aku hanya ingin mengobati lukamu."
Mira baru ingat bahwa ia memang memakai dua lapis celana. Maka tanpa ragu ia melepas celananya cepat, untungnya bagian dalam tidak terlalu basah, hanya saja lembabnya masih membuat Mira tidak nyaman.
Karena celana tidur Mira emang pendek, jadi saat celana panjang itu sudah tanggal, luka di area lutut sampai bawah terlihat jelas. Ada satu luka panjang, dan beberapa goresan yang tidak bisa dibiarkan.
Jo mengambil kotak Pe tiga K (P3K=pertolongan pertama pada kecelakaan) mengambil kapas juga alkohol. Meneteskan alkohol ke kapas lalu menyapukannya ke luka Mira.
"Astaga itu sakit sekali, pelan-pelan, Jo ..." Lirih Mira sambil meringis kesakitan.
"Maafkan aku, tetapi tinggal sedikit lagi, tahan sebentar, yaa."
"Aww ... aww," Mira memegangi lengan Jo yang sibuk dengan kakinya untuk mengurangi rasa sakit.
Setelah membersihkan luka Mira dari kemungkinan kotoran yang bisa membuat infeksi, Jo mengambil obat merah dari kotak tadi, meneteskan ke atas luka Mira, dan mengambil sedikit kapas lalu ia sapukan ke Luk tersebut agar obatnya merata.
Terakhir Jo melapisi luka tersebut dengan kasa, melilitnya memutari kaki Mira. Sampai luka itu tertutup, lalu ia ikat. Sebenarnya untuk jenis luka seperti ini, ada baiknya tidak usah ditutup agar cepat kering dan sembuh dengan lebih cepat. Hanya saja kondisinya, ia dan Mira harus melalui trak tadi dan kemungkinan lukanya bisa terkena kotoran karena beberapa kubangan lumpur pasti mewarnai jalan.
"Terima kasih, Jo," kata Mira tulus melihat begitu telaten dan sangat berhati-hati Jo menanganinya.
"Sama-sama." Jo mengambil sesuatu di dalam tasnya lagi, sebuah selimut dan sarung. "Pakai ini," katanya menyampirkan selimut membungkus tubuhnya.
Mira tersenyum, Jo sangat perhatian padanya. Sedangkan pria itu memasukkan tubuhnya ke dalan lubang sarung, lalu mengobok tas-nya kembali untuk mengambil sebuah termos kecil. "Wedang jahe, Bibi membuatkannya untuk kita."
Menuangkan isi termos ke dalam tutupnya yang emang multi fungsi sebagai alternatif cangkir. "Minumlah, agar tubuhmu hangat."
Rasa hangat pedas jahe, dan sedikit manis menjalari kerongkongan Mira, memberikan sensasi hangat di sana. Menjadi penyelamat saat tubuh Mira menggigil kedinginan.
"Maafkan aku, aku membawamu ke dalam kekacauan ini. Membuat kau terluka, seharusnya aku tidak membawamu dalam masalah alih-alih untuk merayakan kelulusanku."
"Hei, tak apa-apa. Setidaknya setelah ini aku punya pengalaman mendaki. Untuk ukuran anak rumahan sepertiku, ini sudah luar biasa." Disentuhnya tangan Jo, dan menggenggamnya erat. "It's ok. Justru aku yang minta maaf telah menyusahkanmu."
Jo menatap wajah Mira, menarik tangannya dan membawa gadis itu dalam pelukannya. "Aku menyayangimu, maafkan aku membiarkan mu terluka. Aku berjanji tidak akan ada satu luka pun yang kau dapatkan jika bersamaku."
Dalam dekapan hangat Jo Mira mengangguk, lalu membalas pelukannya tak kalah erat.
***
Satu yang Jonathan lupakan adalah ada sebuah air terjun di bawah bukit. Itu sebabnya saat langit sudah tak lagi gelap, hujan reda, matahari sudah bertah-tah di atas sana, mereka segera turun. Mengambil track memutar agar bisa melewati air terjun sebelum sampai di Villa.
"Woah, ini indah sekali."
Begitu melihat aliran air jatuh dari pucuk tebing yang menjulang tinggi, air yang mengalir membentuk kubangan air yang jernih dan indah di bawah, lalu sisanya berjalan menyusuri sungai.
Keindahan itu tak sampai di sana, karena sehabis hujan, sebuah pelangi indah melengkung membentuk setengah lingkaran berwarna-warni.
"Sehabis hujan pasti ada pelangi. Bener, ya, kata pepatah dulu."
Jo hendak membantah, faktanya pelangi memang senantiasa ada di sana. Karena pembiasan air terjun dengan matahari, jadi enggak perlu menunggu hujan segala. Tapi ia lebih memilih diam, ia tak ingin merusak kebahagiaan sang kekasih, terlebih lagi setelah apa yang mereka hadapi beberapa waktu lalu.
"Kok malah lihatin aku aja, sih, Jo?" Mira melambaikan tangan di depan wajah laki-laki itu. "Hei!"
"Soalnya aku sedang melihat sesuatu yang lebih indah dari pelangi."
Perempuan itu terdiam, lalu semburat merah yang menimbulkan hangat menjalar di wajahnya. Ia menutup wajah malu karena tersipu akan perkataan Jo. "Apaan, sih ...."
Jo mendekat dan menurunkan tangan yang menutup wajah Mira. "Kok malah ditutupi, cantik begini seharusnya dipamerkan pada dunia."
"Hiperbola tauk!"
"Ye, dibilangin juga." Jari telunjuk Jo menyusuri garis wajah Mira. "Kayaknya wajahnya ini terlalu sempurna untuk seorang manusia," katanya kemudian mengambil sekumpulan helai rambut panjang Mira yang menjuntai bebas lepas dari ikatannya, lalu menciumnya. "Rambutnya juga bagaikan benang sutra, lembut banget."
Setelahnya pria itu kembali menyusuri wajah Mira, dengan jarinya menelusuri setiap lekuk di sana, hidung, kening, mata, dan terakhir di bibir. Entah kenapa Mira terpaku pada saat itu, mata Jo seakan membiusnya, apalagi saat jempol Jo menarik bibir bawah Mira ke bawah.
Jo sendiri sebagai pria normal juga sangat terpesona dengan wajah cantik juga bibir menggoda itu. Maka terbawa suasana ia mendekatkan wajah mereka, mengecup bibir berwarna merah muda itu. Merasakan sensasi aneh menyengatnya kala berhasil merasai daging kenyal itu. Manis dan lembut.
Mira memejamkan mata, antara malu dan terlena. Apalagi Jo tidak sekedar mengecup, pun juga menautkan, membelit, dan memaksa masuk. apalagi saat tangan pria itu menahan pinggangnya, membawanya masuk lebih dalam pada dekapannya.
Pengetahuan dari mana, karena Mira baru kali ini berciuman, ia dengan naluriah mengalungkan tangan ke leher Jo. Pun dengan berani membalas ciuman itu, lagi saat lidah Jo menyentuh lidahnya. Ah, runtuh sudah dirinya terbuai, tidak peduli perbuatan itu menyebabkan bibirnya membengkak dan memerah.
Jo melepaskan ranselnya dengan cepat melepaskan pangutannya, karena benda berat menyulitkan dirinya dalam beraktivitas.
Tangan pria itu juga bermain, seperti dituntun intuisi untuk membelai tubuh lawan.
Saat pasokan udara yang menipis, barulah keduanya melepaskan diri setelah bermenit-menit yang panjang. Terengah-engah, mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya untuk memenuhi paru-paru yang kosong.
Dilihatnya gadis itu, sama seperti dirinya, sepertinya ia juga tak sadar dan terbawa suasana tadi.
"Maafkan aku Mira ... aku .... aku ...."
"Enggak apa-apa, Jo. Aku juga menyukainya dan menginginkannya."
Jo menatap Mira dengan tatapan tak percaya, pasalnya ia tahu Mira merupakan gadis baik-baik, reaksi yang Jo duga adalah perempuan itu akan menamparnya.
Tapi melihat sebuah senyuman di bibir basah itu, Jo lega. Perempuan itu menerimanya, maka ia maju lagi dan mengecupnya untuk terakhir kalinya hari ini.
Iya, hari ini. Saja.
***
Duh. Aku jomblo sedang menulis adegan ciuman manis. Ahahah. Baper sendiri woy! Gak ada yang mau sama aku apa?
Cangtip1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top