Berpaling
Mira menyesali perbuatannya, seharusnya ia tidak mencium Pram semata-mata untuk membuat Jo cemburu. Ia merasa bersalah menciptakan atmosfer akward di antara mereka.
Sejak turun dari bianglala, mereka sama-sama diam. Pram yang biasanya selalu mencari topik pembicaraan di kala sepi, sampai sekarang tidak mau mulai bersuara. Mira sendiri juga masih bingung harus berkata seperti apa.
Apakah ia harus minta maaf karena mencium Pram tadi? Tapi pria itu membalas ciuman Mira, seakan ia juga menyukainya. Jadi, Mira tidak salah-salah amat.
Namun, kalau Pram membalas ciuman itu, lantas mengapa ia mendiamkan Mira?
Mira menatap Pram yang terus saja berjalan, sudah dua kali mereka memutari beberapa stan permain dan stan jualan ini. Mira jenuh, pun lelah, kakinya sudah pegal.
Akhirnya, sebab ia yang memulai masalah ini, maka ia inisiatif berbicara lebih dulu.
"Mas Pram...."
Pria itu berhenti, lalu menatap Mira menuntutnya agar melanjutkan apa yang ingin dibicarakan wanita tersebut. Sorot Pram masih seteduh itu, masih selembut itu, ia tidak marah pada Mira, perempuan itu bernapas lega.
Menguatkan keberanian, ia mencoba meluruskan masalah ini.
"Maafkan Mira soal tadi," katanya pelan, tapi Pram masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Semakin malam, orang-orang semakin ramai, keluarga, sepasang kekasih, sekelompok pelajar ataupun seseorang yang mau bersenang-senang memenuhi tempat ini. Pada keramaian itu Pram bersyukur detak jantungnya yang berdetak kencang sedari tadi bisa disamarkan, ia takut Mira mendengarnya.
Udara semakin dingin terasa, ia melihat baju yang dikenakan Mira sedikit terbuka, ia membuka jaket denim nya lalu menyampirkan di bahu Mira.
"Dingin, kamu bisa masuk angin nanti," ujar Pram.
Mira tertegun, Pram mengabaikan permintaan maafnya, seakan pria itu tidak butuh. Mira jadi bingung harus senang atau khawatir, senang karena itu artinya Pram tidak marah padanya, atau khawatir jangan-jangan Pram menyukainya.
Bagi Mira, Pram terlalu baik untuk disandingkan dengan dirinya yang serba kekurangan. Mana mungkin juga Mira bisa menerima perasaan Pram, saat tahu ia bahkan tidak pantas untuk lelaki manapun sekarang.
Ia seorang selingkuhan.
Ia bukan lagi perawan.
Ia sudah tidur dengan suami orang.
Betapa rendahnya ia sekarang, apakah pantas dirinya untuk Pram, tentunya tidak tahu diri Mira bila menginginkan hal tersebut.
Namun, sikap baik Pram selama ini menyadarkan Mira, bahwa terkadang, untuk status hanya sekedar teman kantor, sikap Pram sudah berlebihan. Ini bahaya, Mira harus segera mengambil langkah mundur.
Saat ia hendak memberi jarak, tiba-tiba saja tangannya digenggam.
"Kamu mau makan apa? Sudah malam nih," ujar Pram membawa Mira menuju stan-stan penjual makanan. Mulai dari jajanan ringan nan manis sampai makanan berat yang gurih disajikan di sana.
Sebenarnya Mira lebih ingin pulang sekarang, semakin lama waktu yang dihabiskan bersama Pram, Mira takut hubungan mereka akan semakin rumit.
"Bagaimana kalau ayam rica-rica, kamu butuh asupan protein, daging ayam akan membuat kamu berenergi." Pram menarik Mira menuju sebuah stan kecil dengan nuansa alami, tanpa menunggu Mira menjawab, karena sepertinya Mira juga kebingungan mau makan apa.
Meja yang terbuat dari bambu berjejer rapi, beberapa telah ditempati oleh pengunjung. Melihat meja di dekat pintu masuk masih kosong, keduanya pun memilih untuk duduk di sana saja.
Dua menu sama telah dipesankan kepada pelayanan, hanya tinggal menunggu beberapa menit agar pesanan mereka datang. Mereka duduk bersebelahan, karena Mira masih cukup canggung untuk berhadapan, dalam artian bertatapan dengan Pram.
"Boleh gabung, nggak, meja yang lain sudah penuh," suara wanita yang tadi siang sempat bertemu dengan Mira, menginterupsi kebisuan keduanya.
Perasaan Mira mulai tidak enak, lalu makin panik saat Pram menjawab, "Boleh, Mbak, kebetulan kita cuma berdua aja, masih ada kursi tersisa."
"Wah, makasih banyak, Mas." Alana lalu keluar sebentar memanggil suaminya yang tengah mengemong anaknya. "Jo, ada tempat kosong nih, ayo masuk."
"Untungnya Mas, baik, kami dari tadi pusing cari tempat makan yang masih kosong," Kata Alana menarik kursi di hadapan Pram.
Mira tidak bisa bernapas saat kursi di hadapannya diisi oleh Jo. Jantungnya serasa mau berhenti saja. Ia ingin kabur, tapi tidak mungkin itu akan membuat semuanya curiga.
"Eh, ketemu Mbak, lagi. Ya ampun ketemu lagi," Alana yang pertama menyadari keberadaannya, diikuti oleh Jo yang menatapnya tak percaya.
"Lho, kalian saling kenal, Mir?" Tanya Pram bergantian antara Mira dan Alana.
Mira meneguk ludah susah payah, "i--iya, tadi ketemu waktu beli minuman."
"Iya, Mas. Omong-omong kalian sedang kencan, ya?" Jo refleks menatap tidak suka pada Alana.
Sedangkan Mira mati kutu di tempat, Pram sendiri tidak tahu harus menjawab apa, hubungan keduanya masih abu-abu walaupun mereka sudah berciuman.
Karena suasana mendadak canggung, Alana jadi menyesal, "maaf lancang mencampuri urusan kalian," sesal Alana.
Jo mendengus, kesal terhadap istrinya yang terlalu banyak bicara, lebih kesal karena kenapa Alana memilih tempat yang dengan Mira. Mana semeja pula. Fatiah telah tidur di pangkuannya, ia tidak bisa bergerak kalau mau anaknya itu tetap anteng.
"Jo, dia yang kemarin datang ke rumah. Teman kerja kamu, kan? Tapi kelihatannya kalian seperti tidak saling kenal, kamu kok gak nyapa dia?"
Mira mengigit bibir bawahnya, kenapa Jo mengatakan hal tersebut pada Alana, mengapa alasan berbohong nya sangat tidak cerdas? Mira melirik takut-takut Pram yang kini terlihat curiga.
"Ha? Ah, iya, hai," sapa Jo pada akhirnya agar tidak semakin membuat Alana curiga.
Mira membalasnya dengan senyum super-super kikuk.
"Teman kerja? Kok aku gak kenal sama dia?" Pram buka suara, tidak mau diam terus melihat situasi yang sedari tadi membuat ia kebingungan, mulai dari sikap Mira yang semakin diam dan pucat, juga pria yang ia ketahui bernama Jo ini juga sama. Wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu.
"Karena .... karena ia cuma sempet jadi calon klien aku aja, Pram." Mira yang berusaha tidak terlihat panik, malah semakin menarik perhatian Pram.
"Calon klien? Kita satu devisi di kantor kenapa aku gak pernah tahu?"
Skakmat, Mira mau lari saja dari situasi ini. Mukanya amat pucat dan ketakutan sekali saat ini, juga Alana yang kini menatap dirinya penuh tanya.
Ia kesulitan bernapas, perutnya terasa melilit.
"Dia sudah bilang saya calon klien dia, mungkin kamu gak kenal karena saya gagal berkerja sama dengan perusahaan kalian."
Jawaban Jo terlihat meyakinkan, tapi Pram masih belum bisa menghilangkan kecurigaannya. Saat hendak bertanya lagi mendadak Mira berdiri, menatap Pram lekat-lekat.
"Pram perut aku sakit banget, aku permisi pulang duluan, ya, karena rasanya nyeri banget," kata Mira beralasan, perutnya benar-benar sakit, rasanya ia mau muntah.
Tidak menunggu jawaban Pram, ia pergi meninggalkan mereka. Lalu dengan setengah berlari mencari kamar mandi. Setelah dapat ia menumpahkan isi perutnya ke closet.
Selalu seperti ini jika sudah dalam situasi sulit, perutnya melilit, keringat nya bercucuran. Kepalanya mendadak pusing, jika dilanjutkan lebih lama di sana, Mira yakin akan kebohongan malah akan terbongkar.
Setelah selesai, ia mencuci tangan dan muka, seharian ini seharusnya mereka bersenang-senang bukan malah terjebak dalam situasi seperti ini.
Mira merasa sangat bersalah pada Pram, apalagi ia meninggalkan pria itu begitu saja tadi. Tidak sadar ia menangis mengingat kejadian tadi.
Tubuhnya benar-benar lelah, ia memilih memesan ojek online untuk pulang. Ia benar-benar butuh istirahat saat ini. Mira berterima kasih pada supir ojek yang pengertian membawa nya pulang dengan laju yang cepat.
Saat turun dari Ojek, Mira terbelalak melihat Pram sudah menunggu di depan kontrakannya. Dari wajahnya, pria itu amat cemas.
Begitu melihat Mira, pria itu langsung menghampiri nya, satu tangannya meraba kening Mira, dan beralih ke wajah dan leher. Terasa hangat di kening dan dingin di wajah. Tapi pucat masih terlihat jelas.
"Kamu enggak apa-apa? Maaf tidak menyadari kamu menahan sakit dari tadi."
Melihat Pram yang masih saja mengkhawatirkan dirinya, Mira mendadak menangis membuat Pram gelagapan.
"Mir, maaf, kamu pasti sangat kesakitan ya? Ayo masuk, aku tadi beli obat."
Mira menggeleng, ia malah memeluk Pram, meskipun sulit untuk berbicara sambil menahan tangis, ia berkata, "Terima kasih Mas, Maaf selalu membuat kamu kerepotan."
****
Meskipun target 50 votes tidak tercapai, aku tetap update karena kebetulan ada ide.
Untuk next chapter, sama yaa, kalau mau cepat up 50 votes di chapter ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top