51. Kedatangan Sang Mertua

Part 51 Kedatangan Sang Mertua

“Lihatlah betapa tak tahu malunya kau, Leon. Kau mempermalukan dirimu sendiri.”

“Ada alasan aku membiarkan kalian tetap tinggal di rumah mewah ini. Setidaknya karena papamu dan mamamu adalah paman dan tanteku. Aku tak mungkin membiarkan kalian semua tidur di jalanan.”

Wajah Bastian yang merah padam kini semakin menggelap. “Apa maksudmu?”

“Proyek yang terbengkalai karena kau membawa lari istriku, mamamu menggunakan rumah ini untuk membayar semua kerugian tersebut.”

“Kami tak mungkin menggunakan saham kami, Bastian. Hanya rumah ini yang kami miliki. Jika kita kehilangan saham keluarga, kau tak mungkin mendapatkan posisimu saat ini.” Maida menjelaskan. “Leon yang menyelesaikan semuanya dan meredakan kegelisahan para investor.”

Bibir Bastian mengeras tajam. Tak menyangka mamanya akan begitu kesulitan dengan acara pelariannya tersebut untuk mempertahankan posisinya. “Dan apa yang kau inginkan sekarang?”

Senyum licik Leon menyeringai. Kedua matanya masih menatap lurus sang sepupu sekaligus adiknya tersebut. “Karena kami memiliki bayi mungil yang kucemaskan suara tangisannya akan membuat kalian tak nyaman, kami akan tinggal di paviliun.” Jawaban Leon dipenuhi ketenangan yang terlalu memuaskan. Sebelum kemudian beralih pada Maida. “Tante bisa mengurus perpindahan kami, kan?”

“Tujuanmu pindah ke rumah ini pasti tak sesederhana itu, Leon.” Maida mengabaikan sentuhan Jacob di lengannya. “Tak hanya perusahaan nama Thobias, sekarang kau menginginkan rumah kami? Ingin menjadi bagian dari keluarga kami?”

“Aku tak seserakah itu, Tante. Dan ya, tujuanku datang ke rumah ini memang tak sesederhana itu. Hanya saja bukan rumah ini ataupun menjadi bagian dari keluarga kalian yang bahagia ini. Aku sudah memiliki keluarga kecilku dan semuanya sudah lebih dari cukup.”

“Lalu apa yang kau inginkan?”

“Mempertahankan pernikahanku?” Salah satu alis Leon terangkat, tersenyum penuh arti pada Maida dan Bastian. Lebih lama pada Bastian. 

Maida dan Bastian terdiam. Ibu dan anak itu saling pandang, Bastian berpaling lebih dulu. 

“Jika Bastian berhasil merebut posisiku, kupikir hanya istri dan anakku yang masih akan kumiliki.”

“Aleta terpaksa terjebak dengan pernikahan kalian, Leon. Kau tak pernah benar-benar memilikinya. Dia tidak pernah mencintaimu. Tidak pernah menginginkan pernikahan kalian ataupun dirimu.”

Alih-alih tersinggung, Leon menanggapi kalimat tersebut dengan senyum yang lebih lebar. “Benarkah?”

Bastian mendengus mengejek dengan tampilan wajah Leon yang tampak baik-baik saja. “Tak ada apa pun dalam pernikahan kalian.”

Leon beranjak dari duduknya. Memperbaiki kancing jasnya dan menjawab, “Ya. Tapi … mungkin hanya belum.”

Kepuasan di wajah Bastian seketika membeku. Seringai yang tersirat di ujung bibir Leon ketika melewatinya syarat akan kemenangan yang sudah berada dalam genggaman pria itu. Tetapi Bastian gegas menepis pemikiran tersebut. Aleta masih mencintainya. Aleta tak akan memberikan hati gadis itu pada pria selain dirinya. Ia yakin itu.

Dan, bukankah bagus jika Leon dan Aleta berpindah ke rumah ini. Ia bisa lebih sering melihat Aleta dan meluapkan kerinduannya pada sang kekasih.

“Apa kau masih menemui Aleta?” Pertanyaan Maida menghentikan lamunan Bastian yang tak melepaskan pandangan dari punggung Leon yang menghilang,

Bastian tak menjawab.

“Sebaiknya kau tentukan prioritasmu, Bastian. Kau sudah menikah dengan Berlian. Kau tak perlu masalah lainnya yang akan membahayakan posisimu.”

“Bukankah semua ini untuk kepentingan mama?”

“Jangan bilang kau juga tak menginginkannya, Bastian. Kau sendiri yang meminta perjodohan ini untuk melawan Leon.”

Seketika Bastian terdiam. Menatap sang mama selama tiga detik penuh, beralih pada sang papa dan membalikkan tubuh. Berjalan menuju pintu utama.

*** 

Aleta meletakkan baby Lucien kembali di boks bayinya dengan hati-hati setelah mendaratkan dua ciuman lembut di kedua pipi gembul tersebut secara bergantian. Memastikan sang putra tidak terbangun. Memperbaiki selimut dan senyum mengembang lebar melihat wajah yang begitu menggemaskan tersebut.

Suara bel apartemen menyela kesenangannya yang tengah menikmati malaikat kecilnya tersebut. Teringat kalau mamanya sedang pergi ke supermarket untuk membelikan susu ibu menyusui dan susu untuk baby Lucien yang sudah akan habis.

Aleta pun lekas keluar kamar dan membukakan pintu. Terkejut begitu pintu dibuka, sang mertua langsung berlutut di kedua kakinya. Menangis tersedu. “M-ma?” Tubuh Aleta seketika jatuh terduduk. Mencegah kedua lengan Yoanna yang hendak memeluk kedua kakinya. “Apa yang mama lakukan?”

Isakan Yoanna semakin tersedu. “Ijinkan mama melihat cucu mama, Aleta. Satu kali, hanya satu kali. Mama benar-benar ingin melihat cucu mama.”

Yoanna menggenggam kedua tangan Aleta. Wajah yang bersimbah air mata itu dipenuhi permohonan yang begitu kental. Membuat Aleta semakin kehilangan kata-kata. Tak bisa menahan rasa ibanya, Aleta pun memberikan satu anggukan, yang segera meredakan isak tangis sang mertua. Dan isak tangis itu berubah menjadi tangis harus ketika Aleta membawa Yoanna ke kamar mereka. memperlihatkan baby Lucien.

“Dia sangat mirip dengan Leon,” gumam Yoanna. Menyentuhkan ujung jemarinya di pipi gembul baby Lucien dengan hati-hati.

Aleta selalu kehilangan kata-kata setiap kali mendengar komentar yang sama tentang kemiripan Leon dan baby Lucien.

“Mama dengar, kalian memberinya nama Lucien Nolan Thobias.”

Aleta hanya memberikan satu anggukan tipis.

“Nama yang bagus,” gumam Yoanna. Sekali lagi menyeka ujung mata yang menitikkan air mata.

Yoanna merasa tak pernah puas mengamati wajah replika Leon di hadapannya. Enggan berjalan pergi meski kakinya sudah terasa pegal berdiri di samping boks bayi tersebut. Akan tetapi, semua kesenangannya harus berakhir ketika bel apartemen kembali berbunyi dan Monica melangkah masuk bersama sopir yang membawa kantong-kantong penuh belanjaan.

“Apa yang kau lakukan di sini, Yoanna?” Monica yang hendak langsung ke area dapur untuk menata semua barang belanjaannya dikejutkan dengan keberadaan sang kakak. Tatapan kesalnya beralih pada sang putri. “Jika Leon tahu kau mengijinkannya masuk ke apartemen ini, Leon akan marah, Aleta. Dan kau, Yoanna. Apa kau puas sudah membuat Aleta berada dalam masalah seperti ini? Aku sudah memperingatkanmu, kan? Jangan melibatkan putriku dengan pertengkaranmu dan Leon!” Suaranya semakin dipenuhi kekesalan.

Monica maju, menangkap lengan Yoanna dan menyeret sang kakak menuju pintu. Mendorong keluar Yoanna sekaligus melempar hadiah yang dibawa sang kakak. “Jika sekali lagi kau muncul di sini, aku akan memastikan Leon tahu tentang hal ini, Yoanna.”

“Kau merasa besar kepala karena Leon mengijinkanmu tinggal di sini untuk menjaga putranya? Kau bisa sepuasnya melihat baby Lucien. Sementara aku? Aku juga neneknya, Monica. Kenapa sedikit pun kau tak memahami perasaanku? Bagaimana jika Leon melakukan hal yang sama padamu? Melarangmu melihat cucumu sendiri?

Monica mendesah kasar. Bukannya ia tak merasa iba dengan perasaan sang kakak, tapi jelas lebih peduli jika Aleta terkena masalah karena membantu Yoanna. Semua itu jelas akan lebih mempersulit hidup sang putri. Sudah cukup dengan Bastian, putrinya jelas tak butuh masalah lainnya. “Memangnya kesalahan apa yang sudah kulakukan hingga harus mengalami semua itu?”

Rahang Yoanna mengetat.

“Kali ini aku akan membiarkanmu, Yoanna. Jika kau membuat Aleta tertimpa masalah karena hal ini, aku akan …”

“Dia sudah tertimpa masalah. Yang lebih besar,” penggal Yoanna kemudian. “Dan sekarang, Leon akan membuatnya semakin kesulitan.”

Monica terdiam, kedua alisnya bertaut. “Apa?”

“Maida baru saja menghubungiku.”

Wajah Monica seketika memucat. Kabar yang datang dari Maida memang tak pernah baik.

“Leon akan pindah ke rumah mereka. Dua hari lagi.”

Kesiap keras terdengar dari arah belakang Monica. Wanita itu seketika menoleh dan melihat kepucatan di wajah Aleta.

“Menurutmu, seberapa kesulitannya dia memghadapi pertengkaranku dan Leon dibandingkan dengan terjebak dengan Bastian di rumah itu?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top