50. Sebagai Putra Tertua Jacob Thobias
Part 50 Sebagai Putra Tertua Jacob Thobias
Aleta berusaha setengah mati untuk menahan perasaannya. Menahan tubuhnya tetapi tak bergerak. Tetapi isakan pilu Bastian memengaruhinya lebih kuat.
Leon ataupun pernikahannya. Saat ini, tak ada lagi yang harus ia pedulikan. Tubuhnya jatuh memeluk Bastian. Menjatuhkan kepala pria itu di pundaknya. Yang langsung ditangkap oleh Bastian. Memeluknya semakin kuat dan isakan yang semakin tersedu.
“Aku sudah kehilangan semuanya. Aku melepaskan semuanya demi dirimu. Kita kembali dan aku berusaha mendapatkan kembali apa yang seharusnya kumiliki, demi dirimu. Jika kau juga meninggalkanku seperti ini. Aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan.”
Mata Aleta terpejam. Kedua matanya mulai memanas dan digenangi air mata.
“Aku hampir lmpat dari jembatan, melemparkan diriku ke depan mobil, dan satu-satunya alasan yang mencegahku melakukannya hanyalah kau, Aleta. Hanya kau. Alasanku tetap bernapas hingga saat ini hanyalah kau, Aleta.”
Aleta menggigit bibir bagian dalamnya. Merasakan sayatan di dadanya yang semakin perih. Setiap kata-kata Bastian berhasil membuat hatinya remuk redam. Dan kata maaf yang tak berhenti ia batinkan, sama sekali tak mengurangi rasa bersalahnya terhadap Bastian.
“Jangan tinggalkan aku, Aleta. Kumohon.”
***
“Kau menangis?” Mata Monica membelalak. Mendekatkan wajah pada sang putri untuk melihat lebih jelas jejak basah yang masih tersisa di kedua mata Aleta.
Aleta mengerjap, berusaha menghindari tatapan menelisik sang mama.
Monica menahan lengan Aleta. “Katakan apa yang dilakukan Leon padamu?”
Aleta menggeleng.
“Apakah dia …”
“Bukan Leon, Ma.”
Monica terdiam. Memutar tubuh Aleta menghadapnya. “Lalu?”
Aleta menghela napas rendah. “Apakah baby Lucien sudah bangun?”
Monica menggeleng dengan keras kepala akan usaha sang putri yang berusaha menghindari pembicaraan. “Sekarang yang mama cemaskan adalah kau, Aleta. Baby Lucien baik-baik saja. Belum bangun karena pagi-pagi sekali sudah bangun dan minum susunya.”
Aleta jelas tak berkutik dengan penjelasan detail sang mama. Yang kemudian menarik lengannya menuju area dapur. Mendudukkannya di kursi pantry, meletakkan segelas susu ibu menyusui untuknya sebelum duduk di sampingnya.
“Minum dulu. Agar perasaanmu lebih baik.”
Aleta meraih gelas tersebut. Hanya untuk mengulur waktu dan memikirkan cara menghindari cecaran sang mama. Tetapi ia hanya mengulur waktu dengan sia meski sengaja meneguknya dengan perlahan. Mamanya masih dengan sabar menunggu.
“Apa yang terjadi?” Tepat ketika Aleta meletakkan gelas yang sudah tandas di meja, Monica tak mengundur setengah detik pun.
“Semalam, Leon dan Bastian terlibat perdebatan tentang nama baby Lucien.”
Monica terkesiap. “Nama panjang?”
Aleta mengangguk. Hanya itu yang perlu diketahui oleh sang mama. Yang langsung tahu bagaimana semuanya berakhir.
“Sekarang, di mana Bastian?”
“Dia sudah kembali pulang.”
Monica menghela napas panjang. Meneguk gelas air putih di hadapannya hingga tandas hanya dalam satu tegukan. “Ya. cepat atau lambat dia memang perlu mengetahui semua ini. Anak yang malang.”
Aleta tak mengatakan apa pun.
“Lalu, bagaimana denganmu?”
“Denganku?”
“Apakah kau baik-baik saja?”
Aleta menggeleng. Tidak baik-baik saja. “Tapi Aleta harus baik-baik saja. Perlahan, kami akan terbiasa dengan pernikahan masing-masing.”
Monica mengangguk, memeluk dan mengusap punggung sang putri. “Kau benar.”
‘Kuharap,’ batin Aleta kemudian.
***
“Bastian?” Maida melompat berdiri dari sofa begitu suara mesin mobil terdengar di depan teras rumah. Setengah berlari menghampiri mobil sang putra. Begitu Bastian turun dari dalam mobil, wanita itu langsung memegang kedua lengan sang putra. Mengamati dari atas ke bawah dan memastikan tidak ada luka lecet sekecil apa pun pada tubuh sang putra sebelum kemudian membawa tubuh besar tersebut ke dalam pelukannya dan terisak. “Maafkan mama, Bastian. Mama sama sekali tak berniat membodohimu ataupun mempermainkanmu. Maafkan mama sudah berbohong padamu. Satu-satunya yang mama cemaskan adalah kau. Hanya kau yang mama pikirkan. Mama tak ingin sesuatu terjadi denganmu untuk kedua kalinya. Sudah cukup mama nyaris kehilanganmu karena kecelakaan itu.”
Bastian tak mengatakan apa pun. Mendengar isakan mamanya yang tersedu dan penuh dengan kepiluan, perlahan mulai membuatnya memahami kecemasan sang mama akan dirinya.
Kepalanya tertunduk, menatap rambut sang mama tampak kusut dan pakaian yang tadi malam dikenakan sang mama masih belum diganti. Menunjukkan kalau semalaman mamanya tidak tidur. Karena mencemaskannya.
Gerakan dari arah pintu utama mengalihkan perhatiannya. Melihat sang papa yang duduk di kursi roda dan pandangan keduanya saling bersirobok.
Ya, sekarang ia sudah siap untuk membicarakan semua ini. Dengan pikiran yang lebih jernih dan waras.
***
Perjodohan yang diwasiatkan oleh sang kakek, membuat sang tante harus menyembunyikan Leon. Bahkan mamanya pun baru mengetahui kalau Leon yang adalah keponakannya, ternyata anak dari suami yang sudah dinikahi selama puluhan tahu.
Kepala Bastian tertunduk. Membiarkan air dingin mengguyur kepalanya. Entah berapa lama ia berdiri di bawah shower. Ketika tubuhnya mulai menggigil, barulah ia melangkah keluar. Meraih handuk di gantungan dan melilitkannya di pinggang. Melangkah keluar dari kamar mandi dan langsung berhadapan dengan Berlian yang mengulurkan setelan kerja ke arahnya.
“Apa yang kau lakukan?” desisnya dingin.
“Menjadi istri yang baik untuk suamiku?” Senyum Berlian dilengkungkan selebar mungkin. Sekali lagi mengulurkan setelan di tangannya pada Bastian.
Bastian tak menggubris. Sama sekali tak berminat dengan candaan Berlian. Ia melewati Berlian begitu saja. Berjalan ke ruang ganti yang bagian tengah ruangannya sudah dipenuhi oleh koper-koper milik Berlian. Ya, ini hari pertama Berlian akan mulai tinggal di rumah ini. Meski hari-harinya akan lebih sulit dilalui dengan keberadaan wanita itu, tetap saja ia harus melewatinya. Pernikahannya sudah terlanjur terjadi.
Ia mulai berpakaian, mengabaikan celotehan wanita itu yang akan merombak seluruh ruang gantinya karena barang-barangnya cukup banyak. Dan …
“Sepulang kerja, aku akan menjemputmu di kantor. Kita harus ke rumah sakit.”
Bastian menoleh.
“Kau bilang kita akan melakukan program bayi tabung, kan?” Berlian mengingatkan dengan nada yang riang. “Ada banyak tes dan pemeriksaan yang harus kita lakukan. Dan aku juga sudah mengatur janji temu dengan dokter. Menyesuaikan dengan jadwalmu.”
Bastian kembali merapatkan mulutnya. “Ya, lakukan saja apa pun yang kau suka,” ucapnya. Meraih jasnya dan berjalan keluar dari ruang ganti. Turun ke lantai satu, melewati ruang tengah dan berhenti di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu.
Papanya yang duduk di kursi roda, mamanya di ujung sofa panjang. sementara pria yang baru ia sadari merupakan replika sang papa setelah tadi malam tersebut, duduk di sofa tunggal.
Pandangannya dan Leon seketika bersirobok. Wajah Bastian mengeras, melangkah mendekat dan berhenti tepat di samping sang papa. “Apa yang kau lakukan di sini?” desisnya tajam.
Leon hanya tersenyum tipis. “Kau masih perlu bertanya?”
Bastian menggeram.
“Aku juga anak papamu, Bastian. Anak sulung. Jadi aku pun berhak datang ke sini kapan pun aku suka.” Leon mengangkat pandangannya, kedua mata birunya yang gelap mengunci mata biru terang Bastian sebelum melanjutkan. “Juga tinggal di rumah ini sebagai putra tertua Jacob Thobias.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top