4. Gadis Cacat

Part 4 Gadis Cacat

"Apakah tidak ada cara untuk menghentikan perjodohan ini?" Aleta memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Untuk pertama kali akan keputusan yang ditentukan sang papa pada hidupnya.

Pernikahan bukanlah keputusan yang bisa diterima semudah pilihan baju yang ditentukan sang papa dan mama tiri untuk ia kenakan malam ini. Tapi pernikahan jelas akan berlaku sekali untuk seumur hidup, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk menghabiskan seumur hidup bersama seseorang yang nyaris sama sekali tak ia kenal.

"Kau bisa menentangnya, Nirel. Bagaimana mungkin kau akan mengorbankan putrimu untuk menjadi pereda perselisihan keluarga, yang bahkan tak ada hubungannya denganmu."

"Mereka kedua kakakmu, Monica." Suara Nirel lembut, meski begitu berhasil membuat dang istri merapatkan rahang. Membuang wajah ke samping dan tak bicara lagi. Pun dengan kekesalan dan ketidak setujuan yang begitu jelas di raut cantiknya.

Perselisihan kedua kakaknya sudah menjadi rahasia umum bagi keluarga besar mereka. Maida dan Yoanna selalu bersaing, untuk setiap keinginan mereka. Dan sekarang perselisihan itu bahkan harus menurun pada kedua putra sulung mereka. Yang mengincar Thobias Group.

"Dan Leon adalah keponakanmu. Yang sudah seperti putraku sendiri. Sudah banyak kebaikan anak itu untuk keluarga kita. Dia juga berjanji perjodohan ini bukan semata urusan pekerjaan."

"Lalu apa yang diinginkannya dari Aleta? Selain sebagai tameng untuk menenangkan ketakutan Maida dan Bastian terhadap dirinya?"

"Kita berdua mengenal Leon. Dia pasti akan memperlakukan Aleta dengan lebih baik."

Kalimat sang papa semakin merapatkan bantahan Aleta yang sudah ada di ujung lidah. Mengingat kata-kata Leon padanya beberapa saat lalu, tentu saja ia tahu Leon sudah memainkan 1peran calon menantu yang baik di mata papanya.

Keheningan menyelimuti ruang keluarga tersebut. Sang mama menatapnya masih dengan kasih sayang dan kecemasan yang begitu pekat meski tak lagi mengatakan apa pun. Penolakan atau pun persetujuan. Begitu pun dengan dirinya. Pada akhirnya, ia hanya bisa meyakini bahwa keputusan sang papa adalah yang terbaik untuknya. Selalu. Ia hanya percaya itu.

*** 

Hari pernikahan telah ditentukan tiga minggu setelah acara makan malam tersebut. Maida Thobias, satu-satunya yang paling bersemangat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk hari spesial tersebut. Bahkan yang bertanggung jawab untuk memastikan acara pesta pernikahan tersebut menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mulai dari gedung pernikahan, catering, dekorasi, dan gaun pengantin. Maidalah yang mengantar jemput Aleta untuk fitting gaun.

Yoanna dan Monica, yang menjadi orang tua kedua mempelai pun sama sekali tak ikut campur karena keduanya menunjukkan penolakan yang sangat jelas. Akan tetapi tak mampu berkutik dengan keputusan sang putra, Leon. Dan sang suami Nirel Ege.

Hari H sebelum pernikahan, sepulang dari butik untuk pengepasan terakhir gaun pengantin, Aleta singgah di apartemen Leon. Yang alamatnya baru didapatkan setelah mencoba mencari tahu selama dua minggu terakhir.

Unit terbaik di gedung apartemen mewah yang berada di kawasan elit, salah satu aset milik Thobias Group. Meski tak yakin akan menemukan pria itu di sana, Aleta tetap pergi.

"Tunanganku?" sapa Leon begitu menemukan Aletalah yang berdiri -duduk- di depan pintu apartemennya.

Wajah Aleta merah padam. Bukan karena panggilan Leon, melainkan penampilan pria itu yang membuat kepalanya lekas berpaling. Bagaimana tidak, Leon hanya mengenakan celana karet panjang dengan bertelanjang dada. Pertama kalinya bagi Aleta melihat seorang pria setengah telanjang.

"Kau datang ke sini hanya untuk berdiam diri di sana?" Pertanyaan Leon memecah perhatian Aleta, yang kepalanya terangkat dengan gugup dan menyadari pria itu sudah memiringkan tubuh untuk memberinya jalan. 

Aleta pun lekas mendorong kursi rodanya, memasuki ruangan luas yang dipenuhi perabot mewah tersebut. Ada dua set sofa, di sisi lain ruangan ada area dapur bersih dengan pantry dan meja makan dengan empat kursi. Dinding kaca di sisi lain ruangan menampilkan kemegahan gedung-gedung pencakar langit di sekeliling gedung ini yang juga tak kalah tingginya. Ada satu tangga spiral di antara set sofa, dan di sampingnya terdapat pintu ganda yang salah satunya terbuka.

"Apa aku mengganggu tidurmu?" tanyanya melihat setengah tempat tidur yang masih berantakan.

"Biasanya aku akan bilang ya jika bukan kau yang datang." 

Aleta  hanya menatap Leon yang sudah duduk di sofa tunggal dengan kedua kaki bersilang. Menatap lurus ke arahnya dengan manik yang menajam. Mata Aleta berkedip dua kali. Sebelum memaksa berbicara. "Bisakah kau bicara dengan papaku untuk menghentikan perjodohan ini?"

Ujung bibir Leon tersenyum. Tanpa melepaskan kedua mata dari Aleta, tangannya meraih benda pipih di meja dan menunjukkan layarnya pada Aleta.

Mata Aleta melebar melihat gambar dirinya yang tengah mengenakan gaun pengantin. Dan foto itu diambil beberapa saat yang lalu sebelum ia datang ke tempat ini.

"Kau terlihat cantik. Sepertinya akan lebih sempurna jika kau bisa berjalan dengan kedua kakimu sendiri. Besok." Pandangan Leon turun ke bawah. Ke kedua kaki Aleta.

Jawaban ringan Leon sudah cukup menegaskan bahwa pria itu tak akan menghentikan perjodohan ini. "Kalau begitu, bisakah pernikahan ini hanya menjadi sandiwara di hadapan keluargamu dan mamaku?"

Leon terdiam, menurunkan ponselnya ke meja dan kembali menatap kedua mata Aleta. Ujung bibirnya tersenyum geli dengan kegugupan yang masih tersirat di raut mungil dan polos Aleta. "Hanya sandiwara? Apakah itu artinya kau tak ingin aku meminta hakmu sebagai seorang istri?"

Aleta mengangguk. Terlalu malu menjelaskan apa yang diinginkannya. Sekaligus lega Leon bisa memahaminya dengan cepat.

"Kau tak ingin kutiduri?"

Wajah Aleta yang memerah mengangguk pelan. Napasnya tertahan dengan tatapan Leon yang semakin intens. Menunggu jawaban Leon yang sengaja mengulur waktu. Bermain-main dengan kegugupannya. Pria itu mengamati wajahnya. Lalu turun untuk menilai kedua kakinya.

"Kau pikir aku akan tertarik dengan gadis cacat sepertimu?" dengus Leon akhirnya dengan tatapan mencemooh saat kembali menatap raut Aleta.

Wajah Aleta yang pucat pasi membeku untui sesaat. Ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan cemoohan semacam itu. Tetapi tetap saja kata-kata itu berhasil menusuk tepat di dadanya. Mata Aleta berkedip, tersinggung, malu, sekaligus lega dengan jawaban tersebut.

"Baiklah. Hanya itu yang ingin kupastikan padamu." Kepala Aleta mengangguk singkat. Memutar kursi rodanya dan mendorongnya ke arah pintu. Setetes air mata jatuh ketika berkedip. Ya, tak ada siapa pun yang akan menginginkan dirinya dengan tubuh cacat seperti ini. 










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top