34. Tak Berkutik
Part 34 Tak Berkutik
Setelah Leon berangkat ke kantor, Aleta lekas menyusul keluar dari apartemen. Menunggu sang mama menjemputnya di lobi gedung dan mereka akan bersama-sama ke rumah sakit.
Namun, saat mobil sang mama muncul. Bukan hanya Monica yang melangkah turun, tetapi juga sang mertua. Yang langsung menghambur ke pelukannya.
“Kau hamil,” isak Yoanna tak percaya. Mata wanita itu yang digenangi air mata bergerak naik turun ke wajah dan perut Aleta. “Monica mengatakan aku akan segera menjadi seorang nenek.”
Aleta melirik sang mama, yang hanya memberinya satu anggukan.
“Dan sebaiknya kau memperlakukan putriku dengan lebih baik, Yoanna,” tambah Monica, meski suaranya terdengar dingin dan datar, tetap tak menutupi ketulusan yang terselip. “Dan aku melakukannya bukan untukmu. Aku hanya tak ingin hubungan cucuku dan neneknya memburuk seperti hubunganmu dan Leon,” tambahnya lagi.
“Terima kasih, Monica.” Yoanna mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang diambilnya dari dalam tas. Berganti memeluk sang adik.
“Ck, lepaskan, Yoanna.” Monica mengurai pelukan sang kakak yang begitu erat. “Dan berhenti menangis, kau membuat kita menjadi tontonan.”
Yoanna hanya memanyunkan bibirnya kesal. Isakannya perlahan mereda dan berhenti, ketika beralih pada Aleta kembali. “Bagaimana keadaan Leon?”
“Ya, hanya putramu yang kau pedulikan.” Monica memutar kedua bola matanya. “Kau bahkan tak tanya bagaimana keadaan Aleta.”
Yoanna tak peduli dengan sindiran tersebut. Menunggu jawaban dari Aleta.
“L-leon?”
“Tentu saja dia baik-baik saja.”
“Apakah dia makan dengan baik? Akhir-akhir wajahnya terlihat lebih tirus dan tubuhnya …”
“Ck,” decak Monica lalu mendesah dengan kasar. Menarik lengan Aleta. “Dia bukan anak kecil, Yoanna. Dan dia bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Kenapa kau masih saja mencemaskan hal tak penting semacam ini.”
“Aku tak bisa tidur karena memikirkannya, Monica. Kenapa kau tidak memahami perasaanku sebagai seorang ibu. Kau juga punya anak laki-laki, kan?”
“Sebelumnya kau tak bisa tenang sebelum Leon mendapatkan haknya sebagai anak sulung Leon. Dan sekarang kau tak bisa tidur karena dia sudah menggantikan Jacob?” dengus Monica.
Mulut Yoanna membuka lebar, tapi tak membalas sindiran telak sang adik.
Monica hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Ayo, Aleta, kita pergi.”
“Aku ikut.” Yoanna lekas menyusul. Menyelipkan lengannya di lengan Monica.
“Kami akan ke rumah sakit. Dan ada Maida di sana.”
“Aku tak punya masalah dengannya.”
Monica mendengus lagi. “Kau mengandung anak suaminya dan kau pikir itu bukan masalah. Aku tak mau keributan, Yoanna. Sebaiknya …”
“Dia yang selalu mencari keributan lebih dulu.” Yoanna membuka pintu belakang. Yang langsung ditutup kembali oleh Monica.
“Kau datang ke sana hanya untuk mencemooh keadaannya?”
Yoanna menggeleng dengan cepat. “Kenapa kau selalu berpikiran buruk padaku?”
Mata Monica menyipit curiga.
“Bastian adalah keponakanku dan Jacob, meski aku membencinya, dia tetap ayah kandung Leon. Aku sudah melupakan semua masa lalu kami. Maida saja yang tak bisa menghadapi emosinya dengan baik.”
Monica tak langsung mengiyakan. “Jika kau membuat masalah dengannya, kupastikan aku yang akan menyeretmu keluar dengan tanganku sendiri, Yoanna,” ancamnya. “Meski dia memang menyebalkan, setidaknya tunjukkan keprihatinanmu sebagai seorang saudara. Kita hanya memiliki satu sama lain.”
“Ya, ya, ya.” Yoanna kembali membuka pintu mobil dan naik lebih dulu. Lalu menarik lengan Aleta untuk duduk di sampingnya. “Naiklah, Aleta.”
***
Aleta sedikit merasa tak nyaman dengan perhatian dan sikap terlalu peduli yang diberikan mama Leon untuknya, bahkan setelah ia melarikan diri bersama Bastian di tengah pernikahan mereka. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, mama Leon tak berhenti menanyakan tentang kandungannya, juga keadaan Leon yang hanya bisa Aleta jawab dengan singkat.
Sampai di rumah sakit, Maida dan Anna datang tak lama kemudian. Kedua wanita itu masih bersikap dingin kepadanya meski Monicalah yang lebih banyak bicara pada Maida.
Bastian baru saja dimasukkan ke ruang operasi saat Jacob Thobias muncul, duduk di kursi roda. Aleta cukup terkejut dengan keadaan sang paman. Kepergiannya dan Bastianlah yang membuat keadaan pria paruh baya itu memburuk.
Operasi berjalan dengan lancar meski memakan waktu berjam-jam, Bastian kembali dipindahkan di ruang ICU. Setelah keadaannya membaik, akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Semua keluarga besar masih menunggu di rumah sakit, hingga hari menjelang sore dan ponsel Aleta berdering.
Aleta menatap nama Leon yang muncul di layar. Terheran pria itu tahu ponselnya telah aktif.
“Aku akan pulang dalam satu jam dan ingin meja makan sudah siap untukku,” perintah Leon terlontar bahkan sebelum Aleta sempat mengeluarkan satu patah kata pun sebagai sapaan.
“Aku ada di rumah sakit, Leon.”
“Itulah sebabnya aku menghubungimu,” balas Leon, ada tawa yang terselip dalam suaranya. “Apakah aku harus selalu mengingatkan kewajibanmu sebagai seorang istri?”
Aleta menelan ludahnya.
“Sampai jumpa, istriku,” pungkas Leon mengakhiri panggilan.
Aleta mendesah pelan.
“Kenapa? Kau lelah?” Monica menyentuh pundak Aleta. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat, Aleta. Kau sedang hamil.”
Aleta mengangguk, memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berpamit pulang.
***
Leon sampai di apartemen tak lama setelah Aleta pulang. Menemukan gadis itu yang masih berdiri di meja dapur. Sibuk memotong-motong wortel dan entah bahan-bahan apa yang ada di sana.
Kantong belanjaan masih tergeletak di meja pantry, juga ada beberapa kaleng susu ibu hamil. Sepertinya Aleta singgah di supermarket dalam perjalanan pulang. Mulai sekarang, sepertinya ia memang perlu mengisi dapurnya dengan bahan-bahan masakan rumah mengingat Aleta sedang hamil dan jelas buruh makanan yang berbobot.
Ya, ia jarang makan di apartemen. Jadi yang tersedia di lemari pendinginnya hanya bahan-bahan cepat saji yang biasa ia makan jika tiba-tiba lapar. Dan pelayan datang untuk membersihkan apartemennya hanya di waktu siang saja.
Ia meletakkan jas dan tasnya di samping belanjaan tersebut, menghampiri dan menyelipkan kedua lengannya di pinggang Aleta.
Aleta tersentak kaget, nyaris mengiris jarinya sendiri. “L-leon?”
Leon menjatuhkan wajahnya di cekungan lehernya. Mengendus dan sedikit memberikan gigitan di sana yang membuat Aleta menggeliat.
“Leon, aku masih …”
Leon memutar tubuh Aleta, mendudukkan tubuh gadis itu di meja lalu menangkap bibir sang istri dan melumatnya. Membungkam penolakan Aleta.
Setelah puas menyesap sari manis dari mulut Aleta, barulah ia melepaskan gadis itu. “Saat menginginkan istriku. Di mana pun dan kapan pun. Aku tak suka ditolak, Aleta. Kupikir itu aturan utama yang seharusnya tak pernah kau lupakan.”
“A-aku …” Aleta menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. “Kau bilang aku harus menyiapkan meja makan saat kau pulang.”
“Dan meja makan belum siap.” Ujung mata Leon melirik meja makan yang masih kosong. “Jadi kau sebagai gantinya,” lanjutnya setelah memastikan tak ada kompor yang menyala. Mengangkat dan membawa tubuh Aleta ke dalam kamar.
***
Beberapa saat kemudian, keduanya duduk di meja makan. Tengah menyantap makan malam yang baru selesai disiapkan Aleta. Leon selesai lebih dulu, bangkit dari duduknya dan mengambil jasnya yang masih tergeletak di meja pantry. Mengeluarkan dompet dan ponselnya lalu kembali ke kursinya.
“Mulai sekarang, gunakan ini untuk berbelanja kebutuhanmu.” Leon mengulurkan kartu berwarna hitam metaliknya pada Aleta.
Aleta menatap benda tipis tersebut sesaat lalu menggeleng. “Aku tak …”
Leon menarik tangan Aleta dan meletakkan kartu tersebut di telapak tangan sang istri dengan paksa. “Kau istriku. Tentu saja kau akan menjadi tanggung jawabku.”
Aleta meletakkan gelas susu ibu hamilnya yang baru saja tandas.
“Jadi kembalikan semua fasilitas yang diberikan oleh kedua orang tuamu.”
Entah dari mana Leon tahu kalau ia berbelanja menggunakan kartu mamanya.
Tahu tak akan menang jika membantah, Aleta pun mengambil kartu tersebut.
“Dan mulai besok, aku tak ingin kau pergi ke rumah sakit.”
“A-apa?” Aleta membeliak terkejut.
Leon mencondongkan tubuhnya ke arah Aleta. Tangannya terjulur, ibu jari mengusap sisa susu yang ada di ujung bibir Aleta dan berkata, “Kau tahu sekarang semua kendali berada di tanganku, kan? Termasuk biaya rumah sakit Bastian.”
Mulut Aleta seketika merapat.
“Jika kau masih menginginkan sedikit kebaikanku untuk kalian berdua, kau harus bersikap baik, Aleta. Karena kebaikanku padanya, tergantung kebaikanmu sebagai seorang istri.”
****
Cerita ini sudah tamat di Karyakarsa dan tersedia dalam bentuk ebook di google playstore, ya. Dengan judul yang sama.
Yang ga sabar pengen baca next part bisa langsung ke Karyakarsa. Atau kalau mau yang lebih murmer bisa ke google Playstore.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top