33.

Part 33 Kewajiban Sebagai Seorang Istri

Aleta tersentak ketika Leon melangkah maju. Menyentakkan pundaknya ke samping dan langsung meraih wajahnya. Menyambar ciuman di bibir sembari menghimpit tubuhnya ke dinding kamar mandi.

Ia berusaha menolak, tetapi meski kedua kakinya sudah tidak lumpuh, perut besarnya memberinya banyak kesulitan untuk melawan kekuatan pria Leon. Dan ditambah Leon yang jelas tak memedulikan anak dalam kandungannya dengan sikap kasar tersebut, Aleta berani menolak apa yang diinginkan Leon dari tubuhnya.

“Hentikan, Leon,” engah Aleta ketika Leon akhirnya melepaskan bibirnya, tapi beralih mencumbu cekungan lehernya. Kedua tangannya menahan bisep yang membayang di balik kemeja putih yang basah dan menempel di lengan pria itu. Berusaha mendorong tubuh besar Leon yang sama sekali tak bergeming. “Leon!”

Leon menggeram rendah karena kesenangannya diganggu, tangan Leon menjambak rambut Aleta. Menengadahkan wajah gadis itu di bawah guyuran air. “Kenapa? Kau tak menyukai sentuhanku?”

“A-aku … “

“Apakah kau lebih suka jika Bastian yang melakukan ini padamu?”

Aleta menggeliatkan tubuhnya. “Lepaskan, kumohon.”

“Tidak,” tegas Leon sembari menarik tubuhnya dari Aleta. Membungkuk dan mengangkat tubuh Aleta lalu membawanya keluar kamar mandi. Dengan tubuh keduanya yang masih basah dan meneteskan air, mereka berbaring di tengah ranjang. 

Aleta tak sempat melepaskan diri ketika tubuh Leon yang setengah menindihnya. Kedua tangannya dipaku di atas kepala, wajah pria itu melayang di atas wajahnya. Beberapa tetesan air dari rambut pria itu jatuh di wajahnya.

“Katakan berapa kali dia menyentuhmu? Berapa kali kau menyerahkan tubuhmu padanya? Dan bagian tubuhmu yang mana yang paling ia sukai?”

“Bastian bukan pria seperti itu,” sangkal Aleta. Ya, sejak ciuman mereka yang membuatnya tak nyaman karena tengah mengandung anak Leon, Bastian tak lagi bertindak lebih jauh selain berpegangan tangan dan memeluknya. 

Leon mendengus. Ya, setelah menikah dengan Aleta, rasanya ia tak pernah membiarkan kulit putih dan mulus Aleta polos begitu saja. Selalu saja ada jejak gairahnya yang membekas di sana. Dan ketika mengamati seluruh tubuh Aleta di bawah shower, tak ada satu pun jejak kissmark yang tertinggal di sana. “Jadi dia tak pernah menyentuhmu?”

Wajah Aleta yang memerah bergerak ke samping.

“Apakah dia benar-benar seorang pria? Pria normal tak akan melewatkan gadis telanjang di hadapannya.” Ucapan Leon terdengar seperti omong kosong di telinganya sendiri. Nyatanya, ada banyak wanita yang berusaha menelanjangi diri sendiri di hadapannya, dan hanya hitungan jari yang berhasil ia bawa naik ke ranjang. Dan ia tak pernah meniduri wanita yang sama untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya.

“Seorang pria tak akan memaksakan kehendaknya pada wanita yang dicintainya,” bela Aleta, yang malah membuat Leon semakin menyudutkannya.

“Jadi kau tak pernah telanjang di depannya?” Salah satu alis Leon terangkat. Ada kilat kepuasan sekaligus licik yang melintasi kedua manik biru tersebut. Ekspresi Aleta memang sepolos itu, seperti buku yang terbuka untuknya. “Aku tak tahu apakah aku harus senang karena kau menjaga milikku dengan baik? Atau … merasa sangat puas dengan kepolosan cinta kalian?”

“Orang sepertimu tak akan pernah memahami ketulusan, Leon.”

“Ya. Dan nyatanya ketulusan pun tak membuat cinta kalian bisa bersatu. Kita lihat, siapa yang pada akhirnya menang. Ketulusan kalian … atau kekuasaanku.” Leon menyeringai, menjatuhkan bibirnya di bibir Aleta. Dan hanya dibutuhkan satu sentuhan untuk menyulut gairahnya yang sempat tertahan. 

Aleta tak sempat menghindar karena rahangnya yang dipaksa berada dalam posisi yang Leon inginkan. Melumat dan menyesap bibirnya. Memaksa mulutnya terbuka untuk lidah pria itu dan menari-nari di dalam sana. menuntaskan hasrat yang seolah sudah terpendam lama.

*** 

Pagi itu, Aleta bangun lebih dulu dan langsung membersihkan tubuhnya, tetapi hanya berdiam diri di dalam kamar mandi karena pakaiannya yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah. Dan ia tak memiliki ponsel untuk menghubungi mamanya atau siapa pun untuk membawakan pakaian. 

Tak mungkin ia tetap berada di tempat ini hingga Leon bangun, Aleta pun terpaksa berjalan keluar hanya dengan mengenakan jubah mandi. Leon masih terlelap di ranjang dan jam di nakas masih menunjukkan jam setengah tujuh.

Kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, ada pintu ganda lain yang ia yakini adalah ruang ganti. Langkahnya bergerak ke sana. mungkin setidaknya ia bisa mendapatkan pakaian Leon yang bisa ia kenakan untuk sementara.

Namun, rupanya yang ada di dalam sana bukan hanya pakaian Leon. Ada pakaian wanita yang memenuhi dua lemari di sebelah kanan ruangan. Juga lemari khusus sepatu dan tas, yang tampak begitu familiar dalam ingatannya.

Semua barang-barangnya ada di sini, batin Aleta tak tahu harus merasa lega atau prihatin dengan semua ini. Ia menarik salah satu dres bunga-bunganya dan langsung mengenakannya saat tanpa sengaja melihat salah satu tas pestanya yang tergeletak begitu saja tepat di hadapannya. Aleta memeriksa isinya, yang masih sama ketika ia meninggalkan benda itu di mobil Leon sebelum kabur enam bulan yang lalu. Begitu pun dengan ponselnya, yang sudah mati. Setidaknya masih ada keberuntungan yang tersisa di tengah situasi peliknya.

Selesai berpakaian, Aleta mengambil salah satu tas berwarna putihnya, memasukkan ponsel dan mengenakan flatshoes yang senada lalu berjalan keluar.

“Mau ke mana kau?” Pertanyaan dingin Leon membekukan langkah Aleta yang sudah setengah menyeberangi ruang tidur.

Aleta menoleh, menatap ke tempat tidur. Leon menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai dengan kedua mata yang menyorot langsung ke arahnya. “M-mama akan menjemputku,” jawabnya setengah berbohong. Ia berniat menghubungi sang mama untuk menjemputnya di lobi gedung. Satu-satunya hal ia butuhkan dan tidak ia miliki hanyalah uang untuk membayar taksi yang bisa membawanya ke rumah sakit.

“Ke rumah sakit?” Salah satu alis Leon terngkat. Tentu saja tak mempercayai dalih yang membungkus jawaban Aleta.

Aleta tak membalas. Wajahnya berpaling karena kebohongannya terbongkar dengan mudah sekaligus tubuh telanjang Leon yang bangkit berdiri di hadapannya. Dan napasnya tertahan dengan keras karena pria itu berjalan mendekat. Berhenti tepat di hadapannya, membawa wajahnya terdongak menatap pria itu.

“Kau lupa kalau urusan Bastian sudah tidak lagi menjadi urusanmu?” senyum Leon. “Dan bahkan sejak awal urusan Bastian tidak pernah menjadi urusanmu.”

“Hari ini dia akan dioperasi. Setidaknya biarkan aku mengetahui keadaannya.”

“Dia belum mati. Hanya itu yang perlu kau ketahui.” Leon menurunkan wajah, menyapukan satu lumatan di bibir Aleta dan berkata, “Karena kakimu sudah tidak menghalangi kewajibanmu untuk melayani suamimu. Siapkan pakaian dan makanan untukku.”

Aleta kembali bernapas setelah Leon melepaskannya dan berbalik ke kamar mandi. Gadis itu hanya terpejam, tak ingin membuat masalah yang mungkin akan semakin membuat sikap Leon semakin mempersulitnya, Aleta pun bergerak ke ruang ganti. Menyiapkan setelan kerja Leon lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan meja makan.

Ia tak tahu apa yang biasa dan diinginkan Leon sebagai sarapan, jadi Aleta hanya menyajikan apa yang ada di dalam lemari pendingin. Sandwich dan secangkir kopi. Tepat ketika ia meletakkan sarapan pria itu di meja, Leon muncul dan mengambil tempat di kepala meja.

“Aku tak mengatakan kau boleh pergi, Aleta,” tegas pria itu sekali lagi ketika Aleta hendak beranjak pergi. “Temani aku makan.”

Aleta terpaksa duduk di kursi samping pria itu. 

“Kau tidak makan?”

Aleta menggeleng. Ia sudah minum segelas susu dan dua potong sembari menyiapkan sarapan untuk Leon. Berniat meringkas waktu dan lekas pergi.

“Semalam aku tak melihatmu makan apa pun. Kau ingin membuat anakku kelaparan?”

“Aku sudah makan.”

Leon mengikuti arah pandangan Aleta pada meja pantry. Gelas susu yang sudah kosong di samping roti dan selai coklat. “Hanya itu?”

“Aku tak biasa makan nasi sebagai sarapan atau hanya akan memuntahkannya.”

“Kenapa?”

“Karena kehamilanku.”

Kedua alis Leon saling bertaut. Tak benar-benar mengerti dengan jawaban Aleta yang memang kejujuran atau hanya sebuah dalih. Tetapi karena memang gadis itu sedang hamil anaknya, jadi ia hanya membiarkan saja. Mulai menyesap kopi panas dan sandwichnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top