31. Kembali

Part 31 Kembali

Aleta terbangun di ruangan yang serba putih tersebut dengan perasaan yang masih campur aduk. Rasa pusing kembali menusuk kepalanya karena ingatan-ingatan yang berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Manisan mangga, Bastian kecelakaan, rumah sakit, dan ruang operasi.

Pria itu menjalani operasi darurat selama berjam-jam hingga Aleta jatuh pingsan karena kelelahan. Entah siapa yang membawanya ke tempat ini, Aleta lekas menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Bertanya pada perawat di mana ruang operasi.

Perawat mengatakan bahwa Bastian baru saja keluar dari ruang operasi dan dipindahkan di ruang ICU. Tapi ia harus ke ruangan dokter untuk bicara dengan dokter yang baru saja mengoperasi Bastian.

Setelah sempat singgah di ruang ICU untuk melihat Bastian dari balik kaca, perawat membawa Aleta ke ruang dokter.

Seolah belum cukup hatinya yang sudah hancur lebur dengan semua situasi ini, kondisi Bastian yang jauh dari kata baik semakin membuat perasaannya remuk redam.

Operasi pertama hanyalah membuat Bastian tetap bertahan hidup. Dua organ pria itu mengalami kerusakan paling parah karena benturan di dada yang sangat keras. Empedu yang hancur dan tak terselamatkan harus diangkat, dan jantung pria itu yang robek harus segera ditangani.

Aleta tak bisa mendengar lebih banyak setiap detail yang dijelaskan sang dokter. Satu hal yang menjadi permasalahan saat ini, rumah sakit mereka tidak memiliki spesialias jantung. Dan dengan peralatan yang terbatas, Bastian harus dibawa ke rumah sakit yang lebih besar. Dan keduanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Yang tidak mereka miliki.

*** 

Mobil dan rumah sederhana yang mereka tempati sama sekali tak bisa menutupi biaya operasi pertama Bastian. Aleta tak punya pilihan selain menghubungi mamanya. Saat ini yang terpenting adalah nyawa Bastian. Kembali ke keluarga mereka adalah satu-satunya jalan nyawa pria itu akan selamat.

“Aleta?” Monica yang muncul di ujung lorong seketika mengenali sang putri yang duduk di kursi panjang dengan kepala tertunduk. Sejenak langkah wanita paruh baya tersebut sempat terhenti melihat perubahan pada tubuh sang putri, tetapi satu-satunya hal yang diinginkan saat ini adalah memeluk wajah pucat dan basah sang putri.

“Mama?” isak Aleta. Menghambur ke pelukan sang mama dan menangis tersedu di dada wanita paruh tersebut. Penuh keputus asaan dan kerinduan yang bercampur aduk.

Lama keduanya saling melampiaskan kerinduan, setelah isak tangis mereka mulai mereda, akhirnya Monica mengurai pelukannya. Merangkum wajah sang putri dengan lembut dan air mata yang masih saja jatuh. Kehilangan kata-kata bahkan hanya untuk menanyakan kabar sang putri.

“Aleta?” Suara Nirel mengalihkan perhatian Aleta. Pria itu mendekat dan bergantian mendekap sang putri. Sangat erat meski tidak selama sang istri.

“Maafkan Aleta, Pa.” Hanya kata itu yang sanggup keluar dari bibir Aleta dengan lirih. Merasakan elusan lembut sang papa di kepala dan punggungnya.

“Kakimu sudah sembuh?” Monica yang baru menyadari hal tersebut, tak lagi membendung tangisannya lag.i.

Aleta mengangguk. 

“Dan kau hamil.”

Kali ini Aleta tak perlu mengangguk.

“Berapa bulan.”

Aleta terdiam sesaat sebelum menjawab. Taka da yang perlu ia sembunyikan lagi. “Tujuh.”

Monica terdiam. Tak lagi perlu bertanya lebih lanjut.

*** 

“Tenanglah. Bastian akan baik-baik saja. Saat kita sampai di rumah sakit, dokter akan langsung memeriksanya dan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkannya.” Monica meremas tangan sang putri. Meredakan kecemasan yang menggurati wajah mungil tersebut. “Dan … mama sudah memberitahu tentang kalian pada Maida.”

Gigitan Aleta di bibir bagian dalamnya semakin kuat. Ya, ia harus siap menghadapi apa pun yang menunggu di depannya. Demi Bastian. Aleta merapal mantra tersebut di dadanya. Hanya nyawa Bastian yang terpenting.

Tak ada lagi perbincangan sepanjang sisa perjalanan. Selain sang mama yang beberapa kali menanyakan apakah perutnya baik-baik saja atau tidak.

Sesekali perutnya terasa kaku karena keterkejutan yang datang bertubi-tubi. Tetapi ia bisa menahannya dengan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sampai ketegangan tersebut berkurang dan benar-benar berhenti.

Setengah jam kemudian, ambulance yang membawa Bastian berhenti di pintu IGD. Dokter-dokter dan perawat langsung menangani pria itu begitu diturunkan dari dalam mobil.

"Perlahan, Aleta." Monica menahan langkah Aleta yang terburu. Mengikuti ranjang pasien Bastian yang didorong cepat oleh dokter dan perawat. Menuju ruang ICU, sebelum kemudian akan di bawah ke ruang operasi sementara para dokter memutuskan tindakan untuk pria itu. "Kau sedang hamil. Langkahmu bisa terpeleset."

Aleta memelankan langkahnya. Meski perasaan di dadanya begitu menggebu dan tak sabaran.

"Lagipula tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu tindakan dokter. Juga …" Monica berhenti sejenak. "Maida dan Jacob yang akan menangani semua urusan Bastian mulai sekarang."

Air mata kembali merebak di kedua mata Aleta. Ya, saat mereka kembali ke keluarga masing-masing. Tak ada hubungan apa pun yang mengikatnya dengan Bastian.

Monica memegang lengan Aleta. Menghentikan langkah sang putri. "Itu mereka."

Aleta mengerjap, menjernihkan pandangan dari genangan air mata yang masih memenuhi pelupuk matanya. Melihat Maida dan Anna yang berjalan menghampiri mereka berdua.

Plaakkk …

Aleta tak sempat mencerna keterkejutannya ketika Maida berhenti tepat di depannya dan mendaratkan satu tamparan keras di wajahnya.

"Apa yang kau lakukan, Maida?" Monica menghadang di depan Aleta.

"Lihatlah kesialan yang sudah diberikannya pada putraku. Dia membawa kabur putraku dan sekarang membawanya pulang dengan keadaan sekarat seperti itu?"

"Bastian yang membawa Aleta pergi. Buktinya sudah jelas. Dia sudah muak dengan ambisimu. Dan dia tak berani berterus terang akan hubungannya dan Aleta karena ingin melindungi Aleta darimu."

Maida tak berkutik.

"Putriku koma berhari-hari, kakinya lumpuh selama berbulan-bulan karena melindungi Bastian. Betapa tidak tahu malunya kau mengatakan dia sebagai pembawa sial untuk Bastian?!"

"Kau pikir keadaan Bastian lebih baik darinya?"

"Hentikan kalian berdua," lerai Nirel yang berhenti di samping Monica. Menyentuh lengan Monica untuk meredakan amarah sang istri. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertengkar. Tidak bisakah kita fokus untuk kesembuan Bastian lebih dulu."

Maida dan Monica terdiam. Keduanya masih saling pandang dengan ketegangan sebelum Monica menarik Aleta melewati sang kakak dan Anna. Kemudian Nirel menyusul.

"Emosinya benar-benar semakin memburuk saja," gerutu Monica setelah ketiganya berbelok di ujung lorong. Sanpai di depan ruang ICU.

Pandangan Aleta langsung berhenti pada dinding kaca dan langsung menemukan Bastian yang berbaring di ranjang pasien. Perban masih menempel di kening, di atas mata pria itu yang terpejam. Berbagai macam alat disambungkan ke tubuh Bastian. Sebagai bukti bahwa pria itu masih bernapas.

"Kau harus memahaminya, Monica. Kita pernah berada di situasi yang sama." Nirel mengusap lengan atas sang istri.

"Tapi kita berdua mengendalikan emosi dengan baik. Bukannya sibuk menyalahkan orang lain," balas Monica. "Apa yang sudah kubilang padanya. Keserakahan hanya akan membuatnya kesulitan menghadapi kekecewaan. Dan yang menggantikan Jacob bukan Bastian. Tapi Leon. Meski hubungan Leon dan Yoanna sekarang pun semakin memburuk."

Aleta menoleh ketika nama Leon disebutkan. Gerakan tersebut tertangkap oleh Nirel. Yang langsung melemparkan satu isyarat mata pada sang istri.

Monica ikut menoleh ke arah sang putri. "Ehm, kau dan Bastian pasti belum tahu apa yang terjadi setelah kalian kabur."

"Jacob jatuh pingsan malam harinya setelah acara pernikahan itu akhirnya dibatalkan. Selama dua hari tidak bangun karena serangan jantung. Dan keadaannya semakin memburuk setelahnya. Tak lagi bisa memegang perusahaan yang akhirnya diturunkan pada Leon. Tak ada yang protes tentu saja, Leon adalah putra tertua Jacob. Selain resmi sebagai pengganti Jacob, namanya juga sudah menjadi Leon Thobias."

Penjelasan panjang lebar Monica baru saja selesai ketika langkah yang datang dari samping kiri mengalihkan perhatian mereka. Ketiganya menoleh bersamaan. Menatap sosok yang muncul.

"Umur panjang," gumam Monica pelan. Mengenali sang keponakanlah yang datang.

Leon Thobias.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top