23. Ancaman Bastian

Yang nungguin ebooknya, sekarang sudah bisa diakses di Playstore, ya. Dengan harga lebih murmer dan bisa akses di semua part. Ending di part 80 dan 4 bonus Extra. Yuk langsung di check out

***

Part 23 Ancaman Bastian

Aleta sering kali mendapatkan penghinaan dan cecaran secara langsung dari siapa pun. Secara langsung maupun hanya sindiran-sindiran yang membuat kulit wajahnya serasa dikelupas. Namun, tak sekalipun ia pernah membantah semua kejelekan yang dilemparkan padanya. Memilih bungkam dan menerima semua itu meski hatinya tersakiti.

Dan keberanian yang mendadak muncul oleh kata-kata Leon, mendorongnya untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Kedua tangannya yang terpaku dalam cengkeraman Leon di atas kepala, tubuh yang dihimpit oleh tubuh besar dan setengah telanjang Leon, juga rahangnya yang diremas kuat mempertahankan posisi wajahnya yang dipagut oleh pria itu. Satu-satunya celah bagi Aleta untuk melawan adalah ketika lidah Leon memaksa masuk ke dalam mulutnya, gadis itu menggigitnya.

Leon melepaskan pagutannya sambil menyumpah. Menatap Aleta yang menatapnya marah. Cih, gadis itu tak berhak memiliki amarah kepadanya. “Kau berani melawanku?” geramnya tepat di atas wajah Aleta. Bau anyir memenuhi mulutnya, aroma khas darah dari luka di ujung bibirny yang terasa perih.

“Kau merasa bangga bisa mengalahkan seorang gadis yang lumpuh sepertiku?”

Mata Leon melotot sempurna. “Dan kau merasa bangga dengan perlawananmu ini? Berpikir bisa melawanku?”

“Lepaskan, Leon! Atau aku akan berteriak.”

“Berteriaklah. Kau pikir siapa yang akan menolongmu kalaupun teriakan didengar oleh seseorang?”

Aleta menelan ancamannya sendiri. Emosinya yang berhasil terluapkan, kembali mengkerut. Keberaniannya menguap seketika dan lagi-lagi ia tertampar kenyataan. “Kumohon,” lirihnya kemudian. Tekanan Leon di kedua pergelangan tangannya semakin kuat. “Lepaskan.”

Leon mendengus. “Berganti taktik?”

“Aku ingin bercerai.”

“Apa?”

“Papaku bilang, jika kau tidak memperlakukanku dengan baik, aku bisa mengajukan perceraian.”

“Apa?”

“Aku mengikuti perjodohan ini hanya untuk membuktikan, kalau apa yang papaku pikir terbaik untukku, terkadang bukan yang terbaik.”

Geraman di dada Leon semakin keras. “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu. Atau aku akan memberitahu semua orang hubunganmu dan Bastian? Mengatakan pada mereka tentang kenyataan di balik kecelakaan itu. Kau pikir papamu akan tinggal diam dengan semua itu?”

Mata Aleta mengerjap gugup. “Kau tak punya bukti,” ucapnya dengan suara yang bergetar hebat.

“Kau pikir aku mengetahui semua ini tanpa sebuah bukti? Bahkan tidak hanya satu bukti,” seringai Leon naik lebih tinggi. Yang membuat Aleta semakin tak berkutik. 

Rahang Aleta terkatup rapat. Rontaanya berhenti, dan merasakan tubuhnya yang tak lagi melawan, Leon pun kembali semakin diselimuti kepuasan.

“Sekarang kau tahu siapa yang terpenting di atas dirimu sendiri, kan?”

Aleta tak perlu menjawab. Keduanya sudah tahu jawabannya.

“Bagus.” Leon memungkasi pembicaraan tersebut dengan ciuman di bibir Aleta yang lembut. Melanjutkan hasratnya yang sempat terhenti oleh pemberontakan sia-sia sang istri.

*** 

Acara keluarga yang menjadi ajang pamer bagi Yoanna tersebut berhasil membuat Maida terlihat murung dan uring-uringan sepanjang makan malam di meja besar. Dan tak hanya wanita itu, Bastian pun tampak menjadi yang paling tak bersemangat. Kemenangan Leon tak hanya dalam urusan pekerjaan, tetapi sang sepupu semakin menunjukkan taringnya dengan Aleta yang juga berada dalam genggaman pria itu. Kemenangan telak berada dalam genggaman Leon. Dengan Aleta sebagai tropi kemenangan atas dirinya.

“Kau minum terlalu banyak, Bastian,” peringat Berlian dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Meraih gelas anggur yang sudah kosong di tangan Bastian.

Bastian menepis tangan Berlian dengan kasar. Menatap sang tunangan yang tak bisa disingkirkannya tersebut. “Bukan urusanmu,” sergahnya.

Berlian terdiam, wajahnya kemudian berputar ke arah Leon dan Aleta yang duduk di dalam ruang keluarga bersama anggota keluar yang lain. Tangan pria itu menggenggam tangan Aleta, yang tak pernah lepas sejak mereka datang ke kediaman Ezardy dua jam yang lalu.

“Kau masih memikirkan gadis cacat itu?”

Tatapan Bastian menajam, mencondongkan tubuhnya ke arah Berlian dengan pegangan pada gelasnya yang semakin menguat. Hingga gelas tersebut pecah dan beberapa pecahan mengenai kaki Berlian.

Berlian memekik, tetapi dengan cepat pekikan wanita itu dibungkam oleh bibir Bastian. Tubuhnya didorong ke belakang, hingga bagian belakang kepalanya membentur punggung sofa.

Ciuman Bastian sangat kasar, begitu pun tekanan tubuh pria itu di tubuhnya yang menghimpitnya di sofa.

Berlian sama sekali tak menikmati ciuman tersebut, dan memang itulah tujuan Bastian menciumnya. Dua bulan menjadi tunangan Bastian, pria itu sangat sulit diajak bercumbu, bahkan setelah rayuan mautnya yang sudah dikerahkan sepenuhnya. Terkadang, jika ia beruntung, pria itu hanya tidak menolak ciumannya dan membalasnya sekenanya saja.

Berdalih bahwa banyak hal yang dipikirkan dan urusan pekerjaan yang membuat pria itu sibuk. Yang ia tahu dalih itu hanya membungkus kebohongan pria itu. Membungkus perasaan pria itu yang masih dipenuhi oleh Aleta.

Tentu saja semua itu berhasil menanamkan kebencian yang mendarah daging di hatinya terhadap Aleta. Kesempurnaannya sebagai seorang wanita harus dicoreng dengan gadis cacat itu. Menggores-gores harga dirinya sebagai seorang Berlian Mamora.

Bastian benar-benar melepaskan ciumannya ketika wajah Berlian memucat, nyaris kebiruan karena kehabisan napas.

Napas Berlian terengah dengan keras, tersedak oleh udara yang berusaha ia raup dengan rakus saat Bastian menarik wajah pria itu. Salah satu lengan Bastian masih menekan pundaknya untuk tetap bersandar pada punggung sofa.

“Sekali lagi kau memanggilnya dengan gadis cacat, aku sendiri yang akan membuatmu berakhir seperti Aleta, Berlian. Mata dibayar mata, kaki dibayar kaki.”

Wajah Berlian tak bisa lebih pucat lagi.

“Hanya karena aku melepaskanmu, kau pikir bisa mengatakan atau melakukan apa pun yang kau inginkan terhadapku atau Aleta?” desis Bastian tajam. “Jaga sikapmu, Berlian. Jika aku mau, aku bisa melakukan apa pun yang mengejutkamu. Jangan bermain-main dengan kesabaranku.”

Berlian masih tetap bersandar di sofa ketika Bastian beranjak berdiri. Masih berusaha menormalkan napasnya. Pandangannya bergerak turun, terkejut melihat telapak tangan pria itu yang dipenuhi darah, hingga menetes di lantai sepanjang langkah pria itu ke samping rumah.

Wanita itu menegakkan punggungnya. Menunduk dan merasa lega setelah memeriksa lutut dan kakinya tidak terluka meski pecahan gelas berserakan di lantai sekitar kakinya. Darah itu bukan dari darahnya.

*** 

Semburat kecemburuan merebak di wajah Aleta saat tanpa sengaja pandangannya terarah ke area teras belakang. Bastian yang mendorong wajah Berlian ke belakang. Menyambar ciuman di bibir Berlian sebelum kemudian tenggelam dalam lumatan yang dalam.

Aleta yang tak tahan dengan pemandangan tersebut segera menundukkan wajahnya kembali. Berlian adalah tunangan Bastian. Tentu keduanya bisa melakukan apa pun yang diinginkan.

Aleta berusaha melebur kecemburuan di dadanya dengan kata-kata tersebut ketika tiba-tiba Leon berbisik di telinga. “Kau ingin melakukannya di tempat lain?”

Wajah Aleta berubah merah. Rasa panas menjalar di seluruh permukaan wajahnya. Bisikan Leon sangat lirih dan bisa dipastikan hanya dirinya yang mendengarkan. Tetapi keduanya berada di tengan obrolan keluarga. Dan tak hanya itu, saat wajahnya tanpa sengaja terangkat karena terkejut, ia langsung berhadapan dengan tatapan menusuk Anna yang duduk di seberang meja.

Tubuh Aleta menggeliat tak nyaman dengan lengan Leon yang melingkari pinggangnya semakin merapat. “Aku ingin ke kamar mandi,” ucapnya. Berniat menghindari kecanggungan di tengah keluarga, yang malah disalah artikan oleh Leon.

Leon menyambut keinginan tersebut dengan suka cinta. Langsung beranjak berdiri dengan kedua lengan membopong tubuh Aleta. Berpamit pada para orang tua untuk mengantar sang istri ke kamar mandi.

“Aku bisa pergi sendiri, Leon,” tolak Aleta. Tangannya sudah terulur kea rah kursi roda yang diletakkan tepat di samping sofa, tapi tak sempat menyentuh benda itu karena Leon terus membawanya ke ruangan sebelah. Berjalan ke kamar mandi di samping tangga.

Menendang pintu dengan kaki untuk menutupnya sebelum kemudian mendudukkan Aleta di meja wastafel. Dan tak menyia-nyiakan waktu sedetik pun untuk langsung menyambar mulut Aleta.

Kesiap Aleta terbungkam oleh pagutan Leon. Kedua tangannya yang berusaha mendorong dada pria itu, malah membuat Leon semakin merapatkan tubuh mereka.

“Cukup, Leon,” cegah Aleta ketika Leon sudah puas dengan bibirnya dan beralih ke rahang dan turun ke leher. Sementara tangan pria itu mulai sibuk menyelinap ke balik pakaiannya. Menyentuh kulit telanjangnya.

Leon menggeram tak suka kesenangannya diganggu, tanpa melepaskan gigitan lembutnya dari daging kenyal di cekungan leher Aleta.

“Tidak bisakah kau menunggu di kamar?” Aleta mendorong kedua pundak Leon dengan lebih kuat ketika salah satu tangan pria itu berhasil melepaskan pengait branya. Tak lebih dari satu menit, ia yakin pria itu akan berhasil melucuti pakaiannya.

Beruntung kali ini Leon mendengarkan kata-katanya. Leon melepaskan lehernya. Dengan napas yang masih memberat dan kabut gairah yang masih menyelimuti kedua bola mata birunya. “Oke,” ucap dengan wajah yang nyaris bersentuhan. Mendaratkan satu kecupan ringan di bibir Aleta sebelum kemudian memberi jarak aman di antara mereka.

Sial, bahkan hanya dengan mencium aroma tubuh Aleta saja, gairahnya berhasil tersulut dengan baik. Dan membayangkan apa yang akan mereka lakukan ketika di dalam kamar, tentu saja akan membakarnya hidup-hidup.

Entah tubuh Aleta yang mungil, lekuk tubuh gadis itu yang terasa pas dalam remasan tangannya, kulit yang putih, mulus, dan berkilau saat berkeringat, atau kepasrahan ketika berada di bawah tindihannya. Leon tak tahu apa yang membuat seorang Aleta berhasil menjadi candu untuknya.

Sejak menikah, rasanya ia tak pernah melewatkan satu malam pun tanpa meniduri gadis itu. Bahkan hanya dengan melihat gadis itu, bibirnya terasa gatal jika tidak menyesap rasa manis mulut Aleta.

“Kau tak akan menolakku lagi?”

Aleta memberikan satu anggukan. Meski ia menggeleng, tetap saja Leon akan membuatnya mengangguk.

Leon tersenyum. Satu tangannya terangkat, menyelipkan helaian rambut Aleta di belakang telinga. “Aku tak akan melarangmu mencemburui mantanmu. Mereka pasangan dewasa, seperti kita. Mereka bebas melakukan apa pun, sama seperti yang kita lakukan. Kebutuhan orang dewasa yang tak terhindarkan.”

Aleta tak mengatakan apa pun. Pandangannya bergerak turun, menghindari tatapan Leon yang begitu intens. “B-bisakah kau meninggalkanku? Aku ingin buang air.”

Leon mengangguk. Membuka penutup toilet sebelum kemudian memindahkan Aleta ke sana. “Aku akan mengambil kursi rodamu,” ucapnya sebelum melangkah keluar dan menutup pintu kamar mandi.

Aleta mengembuskan napas panjang begitu Leon menghilang dari pandangannya. Setela kandung kemihnya kosong, Leon tak juga kembali. Cukup lama ia menunggu, hingga seorang pelayan membawakan benda itu padanya. Membantunya duduk di kursi rodanya sebelum meninggalkannya yang sedang mencuci tangan.

Ia baru saja mengeringkan tangannya ketika pintu kamar mandi didorong terbuka. Aleta menoleh dan terkejut melihat pria yang melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

“Bastian?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top