Bab 1
"Kenapa kamu ada di sini?" Tian bertanya dengan nada tajam tepat ketika dia masuk ke dalam rumah dan mendapati Rossa berada di ruang makan keluarga. Tak hanya Rossa, Dewi juga ada di sana bersama dengan perawat pribadinya yang bernama Sandra.
"Tian, kenapa kamu bicara seperti itu? Rossa ini sudah sah menjadi istri kamu! Jadi dia berhak ada di rumah ini!" tegur Dewi, sedikit kesal pada perlakuan Tian pada menantunya.
Tian mendengus kasar. Karena malas berdebat dengan ibunya, dia pun memutuskan untuk segera naik ke lantai dua menuju ke kamar.
Setelah sampai, dengan satu sentakan tangan pintu kamar Tian terbuka. Mata pria itu memicing tajam sebab melihat dua koper asing di dekat tempat tidur. Tanpa perlu bertanya lagi Tian sudah tahu milik siapa koper-koper tersebut.
Tian memejamkan mata menahan emosi. Jika saja tadi dia ada di rumah ketika Rossa datang, Tian pasti sudah melarangnya keras untuk masuk ke dalam ruang pribadinya ini. Namun sekarang, adanya Dewi di rumah membuat Tian terpaksa menahan amarah agar tidak terjadi keributan. Tian benci jika melihat ibunya kesakitan akibat kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Jadi Tian berusaha untuk diam untuk kali ini saja.
Itu adalah keputusan Tian sedetik yang lalu, karena hal tersebut dipatahkan oleh suara lembut yang keluar dari bibir Rossa. Entah sejak kapan wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya itu menyusul Tian ke atas.
"Mas... Makan malam sama-sama yuk. Aku sudah masakin gurami asam manis kesukaan kamu. Aku juga udah masakin cah kangkung—"
"Saya nggak lapar."
Rossa terdiam. Entah kenapa hatinya merasa sedikit sakit mendengar kalimat Tian tersebut. Sesegera mungkin Rossa pun menarik senyuman tipis di wajah. Mungkin suaminya sedang lelah.
"Ya sudah, kalau begitu mau aku siapkan air hangat untuk mandi? Aku—"
"Siapa yang mengijinkan kamu untuk masuk ke dalam kamar saya?" ketus Tian. Dia menghadang langkah kaki Rossa untuk berjalan lebih jauh ke dalam.
Mulut Rossa terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun urung karena tiba-tiba Tian menarik kasar lengannya dan menutup pintu kamar.
Tian mendorong tubuh Rossa hingga punggung kecilnya menempel di pintu. Mata Tian tajam mengawasi, seolah sedang menguliti seorang penjahat.
"Dengar baik-baik ya, Rossa. Saya nggak peduli dengan pernikahan kita tadi pagi. Saya juga nggak akan peduli sama kamu hanya karena sekarang status kamu adalah istri saya. Pernikahan ini terjadi karena surat wasiat sialan yang ditinggalkan oleh orang tua kita berdua tanpa persetujuan kita. Jadi, pernikahan ini sama sekali nggak berarti apapun bagi saya. Mengerti?"
Tubuh Rossa membeku kaku. Iris matanya menatap Tian terluka tapi Rossa sama sekali tidak mengatakan sepatah katapun.
"Sekarang keluar dari kamar saya!" lanjut Tian memerintah.
Rossa menunduk sembari mengangguk kecil. Berusaha keras menyembunyikan setetes air mata yang jatuh ke pipi.
Setelah keluar dari kamar Tian, Rossa tidak langsung turun ke bawah. Dia menarik napas dalam-dalam sembari menyeka air mata. Tidak, dia tidak boleh terlihat sedih di depan Dewi. Rossa menyayangi Dewi sama seperti dia menyayangi almarhumah ibu kandungnya.
Rossa tercenung.
Sebenarnya memang baik keluarga Tian maupun keluarga Rossa sudah saling mengenal satu sama lain. Orang tua mereka bersahabat, bahkan dulu Rossa dan Tian juga sempat bersahabat bahkan memiliki hubungan lebih. Mereka pernah berpacaran waktu SMA. Namun entah kenapa sikap Tian tiba-tiba berubah drastis ketika mereka lulus. Tian jadi sering memarahi Rossa tanpa alasan yang jelas dan jarang memberi kabar. Sampai suatu saat Rossa mengetahui dibalik perubahan sikap Tian padanya, yaitu Tian berselingkuh.
Jika mengingat masa lalu, saat di mana Rossa menjumpai Tian tidur dengan wanita lain dengan mata kepalanya sendiri, hati Rossa sangat sakit. Bahkan sampai sekarang rasa sakit itu masih terasa. Akan tetapi hidup harus terus berjalan bukan? Rossa pun berusaha keras untuk mulai melupakan dan melepaskan Tian.
Genap lima tahun sudah, Rossa sama sekali tidak pernah berhubungan lagi dengan Tian. Rossa pikir hatinya sudah baik-baik saja, dan akan terus baik-baik saja apabila musibah mendadak ini tidak terjadi.
Kedua orang tuanya dan ayah Tian pergi ke luar pulau untuk mengurus kerjasama perusahaan mereka. Perusahaan yang digadang-gadang akan mampu masuk ke dunia internasional karena tingginya permintaan. Nahas, perjalanan bisnis tersebut berakhir dengan kecelakaan mengerikan di udara. Pesawat tidak dalam kondisi baik yang menyebabkan jatuh ke laut lepas. Pihak berkaitan menjelaskan jika seratus persen tidak ada satu penumpang pun yang selamat.
Seandainya saja dalam surat wasiat terakhir orang tua mereka tidak disebutkan sebuah syarat khusus untuk dapat mewarisi seluruh asset dan harta perusahaan, mungkin Tian tidak akan sudi menikahi Rossa. Berbeda dengan Rossa yang dari awal sudah menolak perjodohan wasiat ini. Rossa pikir tidak ada baiknya jika menikah dengan terpaksa. Apalagi mengingat hubungan masa lalu mereka yang tidak baik.
Namun apa daya? Dewi terus memohon dan mendesak, Tian pun terus memaksa Rossa untuk menikah dengannya karena alasan perusahaan. Akhirnya, Rossa mengalah. Terlebih terakhir kali kunjungan Dewi ke rumah Rossa adalah meminta Rossa sambil bersimpuh dan menangis. Rossa jadi tidak tega untuk terus menolak.
"Lho, mana Tian?" tanya Dewi saat Rossa sudah muncul kembali di ruang makan.
"Katanya sudah makan, Ma. Jadi mau langsung mandi terus tidur," jawab Rossa sembari mengulas senyum tipis.
"Huuuft, anak itu. Masih saja seenaknya. Padahal kan sekarang dia sudah menikah dan punya istri. Tenang saja Ros, biar Mama yang bicara sama Tian."
"Nggak usah, Ma. Mas Tian tadi kelihatan benar-benar lelah. Kasihan. Biar istirahat saja," cegah Rossa. Tidak ingin jika Dewi tau kejadian sebenarnya.
Mengalah, Dewi mengangguk saja. "Ya sudah, makan bertiga saja kalau begitu."
Rossa tersenyum.
***
"Yakin nggak apa-apa Mama tinggal?" Dewi bertanya untuk ketiga kalinya pada Rossa sebelum wanita itu masuk ke dalam mobil.
Sandra dan Pak Umang, sopir pribadi Dewi—membopong tubuh Dewi masuk ke kursi penumpang belakang. Tak lupa, Sandra juga memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati.
Rossa tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Ma. Mama kayak mau ninggalin bocah lima tahun di rumah sendirian aja."
"Mama cuma khawatir, Ros. Ingat ya, kalau Tian berlaku nggak baik sama kamu, kamu bisa langsung laporan ke Mama. Biar Mama bisa langsung nasehatin Tian. Nomor whatsapp Mama selalu aktif kok. Dewi rajin nge-chargenya."
"Iya, Ma."
"Ya sudah, Mama pulang dulu."
Rossa mengangguk. Dia menyalimi tangan mertuanya sebelum mobil BMW berwarna hitam itu melesat meninggalkan halaman rumah Tian.
Berbalik, Rossa masuk ke dalam rumah. Ripah, pembantu rumah tangga Tian tergopoh menghampiri Rossa.
"Sudah biar saya saja yang ngunci pintunya, Nyonya. Nyonya istirahat saja. Pasti capek."
"Terima kasih ya, Bik."
Ripah mengangguk. Senang sekali sebab bertambah satu orang lagi anggota di rumah Tian. Jujur saja, rumah berlantai dua yang luas ini sering terasa amat sepi karena hanya ada dia, Karyo—supir Tian yang sering beralih profesi menjadi tukang kebun, dan juga Tian. Ripah harap istrinya Tian ini bisa diajak bergosip ria setiap hari. Jadi, dia tidak akan mati bosan kalau harus berhadapan dengan muka Karyo terus.
Melangkah ke lantai dua, langkah kaki Rossa mulai melambat. Dahinya mengerut melihat Tian sibuk menyeret koper-kopernya keluar dari kamar.
Sementara itu, Tian yang menyadari kedatangan Rossa menoleh. Lantas Tian pun berkata, "Kebetulan kamu di sini. Bawa koper-koper kamu."
"M-maksud Mas?"
Tian menghela napas singkat. Malas sekali jika harus menjelaskannya pada Rossa. Dia ingin cepat-cepat video call dengan Keysha, rutinitas yang sering sekali dia lakukan sebelum tidur.
"BIK RIPAH!" teriak Tian memekakkan telinga.
"BIBIIIIK!" Sekali lagi Tian berteriak, membuat perempuan yang ditaksir Rossa berumur sekitar empat puluh tahunan itu berlari kecil menaiki tangga.
"Iya, Tuan?" jawab Ripah dengan napas sedikit tersengal. Buset, nggak bisa biasa aja gitu manggilnya? Untung majikan.
"Bersihkan kamar tamu sebelah. Rossa akan tidur di sana."
"Hah? Tapi kan—"
Blam!
Kalimat Ripah terhenti seiring dengan dentuman pintu kamar yang ditutup tiba-tiba oleh Tian. Meninggalkan sebuah pertanyaan besar di kepala pembantu rumah tangga tersebut.
Lho, kok pisah kamar? Bukannya pengantin baru harus ena-ena, ya? Bikin bayi gembul gitu buat penerus keluarga.
Dalam kebingungannya, Ripah menoleh ke arah Rossa. Wajah cantik istri sah Tian nampak menahan rasa kecewa. Namun dia berusaha menutupi.
"Kalau sudah selesai bersihin kamarnya, panggil saya di bawah ya, Bik," kata Rossa.
"I-iya, Nyonya."
Ripah menghela napas, menatap kasihan pada punggung Rossa yang bergerak menjauh.
Ternyata, sinetron catatan hati seorang istri memang nyata adanya. Aduuuh, semoga Tuan Tian nggak kena karmanya deh! Do'a Ripah dalam hati sebelum menyeret koper-koper Rossa ke dalam kamar sebelah.
B e r s a m b u n g
***
Karena lama banget aku nggak nulis dan membangun mood mulai dari awal itu susah banget maka cerita ini kemungkinan akan update sekali saja setiap minggunya.
Terimakasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top