3. Pak Bara Vs Mama

"Jadi menurut Bapak saya tidak cantik? Tidak menarik?"

Bara meringis. Sepertinya ia menyadari kesalahannya.

"Saya kan tadi bilang nggak cantik-cantik banget," bela Bara.

"Nah itukan sama saja dengan mengatakan saya tidak cantik."

"Nilai bahasa Indonesia kamu saat sekolah dulu berapa? Pasti dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal. Kok tidak paham dengan kalimat saya."

Mayang mencebik akhirnya ia mengunci mulutnya. Enggan berdebat dengan bos gorillanya ini. Tidak akan menang. Ia yakin akan hal itu. Lagi pula, kenapa pria ini begitu pintar berdebat? Seperti mulut ibu-ibu komplek saja.

"Ya sudah, Pak. Kita pulang kalau begitu. Sudah sore." Akhirnya Masayu melontarkan kalimat itu. Semakin cepat mereka pulang maka ia bisa terbebas dari bos penjajahnya ini.

"Ya ayo. Kamu kan yang dari tadi tidak cepat-cepat bangun." Bara bangkit dari kursi meninggalkan Masayu. Gadis itu segera meraih tas dan menjejalkan ponselnya. Dengan berlari kecil ia mengikuti langkah lebar bara yang sudah berdiri di depan bangunan kantor yang terlihat layaknya vila itu.

"Itu bawa kamu, Yu. Siapa tahu ibumu mau mengolahnya," tunjuk Bara pada keranjang anyaman berukuran besar berbahan plastik yang dimasukkan ke dalam bagasi oleh Musri.

"Apa itu, Pak?" tanya Masayu keheranan.

"Kentang dan wortel hasil lahan kita."

"Kok banyak banget, Pak."

"Biar kamu tidak kekurangan nutrisi. Jus wortel bagus untuk tubuh kamu." Bara menyeringai puas membuat Masayu mengerucutkan bibirnya.

"Ini sih ngerjain." Masayu berucap pelan. Bukannya apa. Masayu begitu membenci wortel. Ia selalu menyingkirkan sayuran itu saat melihatnya muncul di makanan yang akan dia nikmati. Kini bagaimana mungkin ia mau menelan jus sayuran mengerikan itu.

"Bapak kalau tidak niat memberi mending tidak usah."

"Saya serius, Yu. Kenapa kamu malah berpikiran yang tidak-tidak." Bara berucap seolah terluka dengan kata-kata Masayu. "Keluarga kamu kan pasti mau sama wortel."

"Iya, Pak. Mama suka wortel, semua suka wortel. Terima kasih banyak." Masayu mengakhiri obrolan unfaedahnya. Ia pun akhirnya memasuki mobil. Duduk di jok depan menemani Agil, sopir Bara. Setelah Bara memasuki mobil, merekapun meninggalkan tempat itu.

Saat hari berubah gelap mereka tiba di depan gang rumah Masayu. Pria itu memang mengantarkan Masayu terlebih dahulu.

"Gil, bawakan keranjangnya Masayu sampai rumah. Berat pasti." Bara berucap saat Masayu hendak membuka pintu untuk turun.

"Iya, Pak." Pria muda yang duduk di balik kemudi mengiyakan lalu sigap membuka pintu menuju bagasi.

"Tidak usah, Pak. Cuma dekat kok. Saya kuat." Masayu berusaha menolak.

Bara berdecak. "Kamu tidak akan kuat. Sudah biarkan saja Agil yang membawanya. Nanti tangan kecil kamu lepas kalau membawa barang yang terlalu berat." Baru saja Masayu begitu senang saat pria itu ternyata begitu perhatian ternyata---, lagi-lagi body shaming.

"Terima kasih banyak, Pak." Masayu langsung menyahut. Enggan berdebat terlalu lama. Ia akhirnya turun dari mobil lalu mengikuti Agil yang sudah berjalan terlebih dahulu memasuki gang masuk menuju rumah Masayu.

Setelah tiba di depan pagar rumah gadis itu Masayu meminta Agil meletakkan keranjang berisi kentang dan wortel itu di depan pagar. Ia akan membawanya masuk. Pria itu menurut dan setelah Masayu mengucapkan terima kasih, Agil pun berpamitan.

Saat mencoba mengangkat keranjang yang tergeletak itu Masayu mengumpat. Sial! Ternyata berat banget. Kenapa bos penjajahnya itu selalu membuatnya kerepotan seperti ini. Lagi pula untuk apa pria itu sampai membawakan kedua jenis sayuran itu? Benar-benar merepotkan. Akhirnya Masayu meninggalkan keranjang itu lalu memasuki pagar rumahnya.

"Mama... Ma..." Masayu berteriak saat memasuki rumahnya. Seorang wanita keluar tergopoh-gopoh menyambutnya.

"Sudah pulang, Yu. Datang-datang bukannya salam dulu kok langsung teriak-teriak."

Masayu mencebik cuek lalu berucap, "Itu di depan pagar ada keranjang. Mico suruh bawain, aku enggak kuat." Masayu berjalan menuju kamar.

"Keranjang apa, Yu? Biar papa aja yang ambil, Mico barusan mama suruh beli minyak goreng ke mini market di depan."

Masayu tak membalas ucapan mamanya. Ia segera mengambil baju ganti di lemari lalu berjalan ke kamar mandi. Gerah luar biasa ia rasakan setelah ikut turun ke lahan pertanian Bara beberapa waktu yang lalu meskipun setelahnya ia berada di mobil Bara yang cukup nyaman.

Saat keluar dari kamar mandi suara mamanya terdengar heboh di dapur.

"Yu, ini kok banyak banget wortel sama kentangnya? Kamu beli ya? Kamu tahu banget kalau mama lagi butuh kentang buat kripik. Besok pagi mama mau ke pasar beli kentang sama wortel. Sekalian mau buat kroket kentang untuk arisan RT besok sore. Kalau kamu sudah beli sebanyak ini sih mama enggak perlu berat-berat belanja untuk besok. Eh tapi kok kamu belinya banyak banget sih, Yu. Ini lagi mahal-mahalnya lo. Apalagi kentang. Dua kali lipat dari harga normal. Uang kamu jangan dihambur-hamburin. Sekarang masih tanggal muda. Nanti enggak cukup sampai akhir bulan. Kamu harus hemat-hemat. Apalagi harga barang pada naik---"

"Ma!" Masayu memotong rentetan kalimat ibunya. Berbicara dengan ibunya bukanlah hal yang mudah. Wanita itu seolah tak mempunyai pengatur kata-kata di mulutnya. Kalau sudah terbuka maka mengalirlah semuanya.

"Itu semua aku enggak beli. Tadi aku ikut Pak Bara ke lahan. Kentang sama wortel kebetulan panen. Tadi dibawain sama beliau biar bisa mencicipi hasil lahan sendiri."

"Oalah. Cuma dikasih. Alhamdulillah. Memang bos kamu itu baik banget, Yu. Ibu dari dulu bilang apa. Jangan menilai seseorang dari wajahnya saja. Meskipun wajah dan penampilannya menyeramkan tapi hatinya baik. Kamu harus rajin, Yu. Kerja yang baik biar bos kamu itu senang. Jangan sampai beliau mengeluhkan kinerjamu apalagi sampai dipecat. Duh, amit-amit. Nanti kamu kebingungan cari kerja lagi. Untung aja kamu lulus kuliah langsung dapat pekerjaan, Yu. Zaman sekarang cari kerjaan sulit. Anaknya Bu Trisno di ujung gang sana sampai sekarang masih menganggur. Padahal dia anak yang pintar. Masih pintar dia dari pada kamu, Yu. Tapi namanya rezeki. Kamu lebih beruntung dari pada dia. Dia kuliahnya padahal dapat beasiswa di kampus negeri terbaik di sini. Kamu cuma di universitas swasta yang masuk tanpa seleksi---"

"Ma! Sudah deh. Jangan ngomong terus. Aku capek. Mau ke kamar dulu." Lama-lama Masayu merasa benar-benar pusing dengan kalimat-kalimat tak penting mamanya. Di kantor telinganya sudah berdenging mendengarkan ocehan Bara, kenapa di rumah ia kembali dipaksa mendengarkan ocehan mamanya? Benar-benar melelahkan.

"Eh, jangan tidur dulu. Sebentar lagi makan malam siap. Yu, kenapa kalau besok kroket kentang buatan mama kirim ke kantor kamu, Yu. Kasih ke Pak Bara. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih. Apalagi minggu kemarin kamu pulang bawa ayam bakar gitu. Kan enggak enak kalau dikasih-kasih terus tapi kita enggak bales." Masayu bergegas meninggalkan dapur mengabaikan ibunya yang masih terus berceloteh. Membuat ayah Masayu mengulum senyum yang sejak tadi menyaksikan anak dan istrinya berbicara. Pria itu menyeruput kopi hangatnya lalu kembali membantu mengupas bawang di meja dapur.

Masayu heran dengan kesabaran papanya. Pria itu benar-benar kuat menghadapi celotehan mamanya yang tak pernah berhenti. Kesabaran papanya dalam menghadapi sang istri selalu membuat Masayu berharap, kelak ia bisa menemukan sandaran hidup selayaknya sang papa. Pria penyabar nan setia yang selalu mencintai anak-anak dan istrinya.

###
Nia Andhika
26022022

Holllaaaa..... Udah berapa bulan ya gak update. Ada yg nungguin gak? 😂😂😂

Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Biar penulisnya semangat. Oh ya. Mampir juga ke lapak the pursuit of perfection. Lapak baru. Eh, baru 2 tahun lebih mangkrak dan lsg kebut sekarang.😂😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top