Bab 8
(Bukan) Kupu-kupu Malam
Bab 8
“Ada fotonya?” tanya Mama tiba-tiba.
Aku yang memang tidak punya foto Mas Bian pun, tak bisa memberitahukan bagaimana wajah pria yang baru saja menghubungiku itu. Pesannya pun belum sempat kubuka, dan di profilnya juga tidak ada foto dia.
Aku menggeleng. “Aku nggak punya, Ma. Tapi dia bos di kantor aku.”
“Oh ya, huft. Mungkin kebetulan saja namanya sama. Nama dia Fabian?”
“Iya, Fabian Dirgantara.”
Kulihat wajah Mama berubah sendu, lalu bangkit dari duduknya. “Kamu tidur, besok kesiangan.” Mama melangkah ke pintu, dan menutup pintu dari luar.
Aku langsung membuka pesan dari Mas Bian.
[ Maura, maaf ya, kalau kedatangan saya tadi membuat kamu takut.]
[ Jujur, masih banyak yang ingin saya sampaikan ke kamu.]
[ Tapi, mungkin waktunya kurang pas.]
[ Besok kalau ada waktu, kita ngedate yuk!]
[ Nggak usah dibalas sekarang nggak apa-apa.]
[ Sekarang kamu tidur ya, jangan begadang.]
[ See you.]
Aku mengembuskan napas pelan, lalu tak membalas pesan tersebut. Handphone segera kuletakkan di atas lemari sambil dicharger. Karena memang malam sudah sangat larut.
.
Paginya aku melihat Mama sedang di dapur, sepertinya masak sesuatu.
“Mama masak, kamu sarapan di rumah ya. Itu uang halal, kamu nggak usah khawatir. Mama kemarin abis dapat komisi jualin perhiasannya si Neni buat nebus anaknya.” Mama menyiapkan makanan di meja makan.
Aku duduk, menuang air ke dalam gelas. “Kok Mama ambil duitnya, kan kesian Mpok Neni, kalau kurang duit gimana dia?”
“Ya kalo kurang dia nggak akan ngasih ke Mama lah, udah kamu makan aja.”
“Mama udah sarapan?”
“Ya belom, belom selesai ini, bentar lagi.”
“Yaudah, Maura makan bareng Mama aja.”
Aku yang baru bangun pun lebih memilih mandi terlebih dahulu, baru sarapan bareng sama Mama. “Aku mandi dulu ya, Ma.”
“Yaudah sana.”
Waktu sudah menunjuk pukul 06.10, tadi habis Subuh aku tidur lagi karena memang ngantuk banget. Beruntungnya malam ini nggak ada jadwak kuliah, jadi nanti pulang kerja bisa langsung pulang dan lanjutin tidurku yang kurang.
Aku mengambil handuk di kamar, lalu melangkah ke kamar mandi. Hati ini masih bertanya tentang hubungan antara Mama dengan Mas Bian. Sebenarnya apa yang terjadi, apa mereka pernah saling mengenal, kayanya aku harus punya foto Mas Bian deh, biar bisa nunjukkin ke Mama. Jadi, semakin yakin kalau memang Fabian yang dimaksud Mama adalah Mas Bian.
“Ra, mandinya jangan lama-lama, Mama kebelet nih, duh, mules.” Tiba-tiba saja Mama menggedor pintu kamar mandi.
“Iya, Ma, sebentar, belom sabunan.” Aku mempercepat mandi.
Tujuh menit kemudian, aku keluar kamar mandi. Biasanya aku mandi sepuluh menitan, ini dipercepat gara-gara Mama mules.
Aku yang sudah keluar kamar mandi, bergantian dengan Mama. Aku lanjut memakai pakaian kerja, memoles wajah, lalu sisiran dan ke ruang makan. Ternyata Mama udah selesai dari kamar mandi, sedang mengambil piring untuk makan.
“Cobain, Ra. Enak kaga, udah lama Mama kaga masak,” ujarnya seraya menuangkan nasi dan sayur sop ke piringku.
Aku yang tidak suka sayuran, mennyingkirkan sayurnya ke pinggir piring. Hanya bakso, makaroni dan kuahnya saja yang kumakan. “Enak,” kataku setelah menyicip kuah sayurnya.
“Enak? Ayamnya pake, Mama makan pake tempe aja sama tahu.”
“Lah, Mama kan butuh tenaga biar kuat, makan lah ayamnya juga,” kataku menggoda.
Mama hanya tersenyum kecil, “Nggak usah makan begitu juga Mama masih kuat beronde-ronde,” ujarnya sambil terbahak.
Jujur, hati ini rasanya sesak mendengar ucapan Mama barusan. Bukan senang apalagi bangga, dan aku tahu mungkin hati Mama pun sakit. Tapi, entahlah, aku pasrahkan semuanya pada Allah. Hanya Allah yang mampu membolak balikkan hati manusia, dan aku sudah berusaha mengingatkan juga mendoakan agar Mama bisa berubah.
“Kuliah kamu gimana, Ra?” tanya Mama tiba-tiba.
Karena tidak biasanya Mama menanyakan bagaimana kuliahku, palingg tanya kerjaan aja. Kalau aku mulai capek kerja, dia minta aku buat berhenti, dan fokus kuliah saja.
Mama berpikir kalau kuliahku itu masih tanggung jawabnya, dan aku tidak seharusnya cari uang sambil kuliah.
Tapi, mana mungkin aku diam saja, melihat bagaimana Mama bekerja seperti itu. Aku juga ingin membuktikan, kalau aku mampu dan bisa mengangkat derajatnya suatu saat nanti.
Sudah lelah rasanya mendengar ucapan orang sekitar, menganggapku hanya anak seorang wanita malam. Mana mungkin bisa sukses, palingan ujungnya juga nanti ngikutin jejak orang tua.
“baik, kok, Ma. Masih semester awal ya masih aman, tapi tugas ya banyak juga sih,” jawabku.
“Syukurlah, jangan sampai kerjaan kamu bikin capek, dan malah bikin kamu malas kuliah. Kuliah masa depan kamu, Mama Cuma bisa doain yang terbaik buat kamu.”
Aku tersenyum kecil, “Makasih, Ma.”
Mendengar dukungan seperti itu saja aku sudah bahagia. Walaupun mungkin Mama nggak ingin melihatku setiap hari kelelahan pulang sampai larut.
“Si Rima gimana kabarnya? Tumben amat dia nggak main-main ke sini?”
“Kemarin dia juga nggak kuliah, Ma. Katanya lagi nggak enak badan.”
“Emaknya kapan itu datang ke warung depan, kata Mak Jum nyariin lakinya.”
“Bapaknya Rima?’
“Lah iya, dua hari nggak pulang, tapi Mama nggak pernah ketemu dia main ke sini, kan tempat kaya gini nggak Cuma di sini.”
Aku tersenyum kecil, berarti bapaknya Rima mungkin punya simpenan juga? Huft, nggak mau suudzon lah.
“Iya sih, Ma. Aku juga nggak tahu sih masalah itu. Ya mungkin Rima juga nggak tahu, atau ya nggak mau tahu juga. urusan rumah tangga orang.”
“Iya, pokoknya, kamu kalau punya temen yang tahu daerah kita ini, kudu hati-hati. Soalnya ya mereka bisa berpikir buruk sama kamu. Dari awal Mama nggak mau kamu kuliah apa kerja itu bukan nggak suka, tapi takutnya kamu dicap jelek sama teman kamu itu.”
“Makanya, Ma. Kita pindah yuk!”
Akhirnya aku ada kesempatan lagi buat ngajak Mama pindah dari rumah ini.
“Nggak bisa, Ra. Mama ada utang budi sama Mami. Pokoknya, kamu boleh keluar dari rumah ini ya kalau udah nikah, punya suami. Kamu boleh deh tinggal sama suami. Biarin Mama di sini sendirian juga nggak apa-apa.”
Gimana mau ada suami, kalau tinggal di lingkungan kaya gini? Akuhanya mendunduk saja, susah sekali mmebujuk Mama buat menjadi lebih baik.
Aku juga kan khawatir kalau nanti ada laki-laki beristri yang jadi pelanggan Mama, dan tiba-tiba dilabrak istri sahnya, sampai Mama diapa-apain.
Nggak bisa deh gimana ngebayanginnya.
“Kamu punya pacar, Ra?”
“Ah, pacar? Nggak ko, Ma.”
“Adit?”
“Yah elah, Ma. Masa Adit sih, dia mah temen main temen nongkrong. Bocah tengil begitu, kalo Maura pacaran sama dia, bisa dibaawain sapu sama emaknya."
"Hahah, iya, kemusuhan banget Mama juga sama emaknya dia. Sok banget lakinya ganteng, takut kali Mama rebut. Kaga dah, ganteng kalo duitnya kaga ada Mama juga ogah.”
Aku tertawa kecil, “Mama bisa aja.”
“Assalamualikum,” sapa seseorang dari luar.
“Waalaikum salam. Bentar ya, Ma. Maura liat dulu siapa.”
“Udah, kamu abisin makan aja, biar Mama yang liat.”
“Maura udah kok, Mama di sini aja.” Aku beranjak dari duduk, karena hapal banget sama suara itu.
Perlahan aku memberanikan diri ke depan, tapi sebelum membuka pintu, aku mengintip terlebih dahulu dari balik jendela, siapa yang datang pagi-pagi.
“Mas Bian? Gawat, ngapain dia ke sini coba.”
“Siapa, Ra? Kok nggak dibukain pintu?” tanya Mama yang melihatku dari arah ruang makan.
Ponsel di saku kemejaku bergetar, kulihat telepon dari pria yang berdiri di depan rumah. Untungnya disilent.
“Maura, kamu di mana? Saya udah di depan rumah kamu nih, kita berangkat bareng ya.”
Suara Mas Bian benar-benar membuat lututku lemas. Allah, kalau Mama tahu gimana ini, Mas Bian kan masih cari Mama.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top