Bab 7
(Bukan) Kupu-kupu Malam
Bab 7
Aku terdiam ketika dia membalikkan tubuh dan kami saling beradu pandang, dia tersenyum sementara kakiku bergetar.
“Assalamualaikum, Maura,” sapanya.
“Wa, waalaikum salam. Mas Bian kok bisa ke sini malam-malam?” tanyaku pada akhirnya meski dengan suara terbata.
“Eum, saya boleh masuk?” tanyanya karena memang aku tidak menyuruhnya masuk, takut nanti kepergok Mama gimana?
“Eum. Silakan, Mas, silakan duduk.”
Pada akhirnya aku mempersilakan Mas Bian untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sumpah kali ini aku benar-benar nggak tenang. Sebenarnya apa maksud dan tujuannya datang ke sini? Ko dia bisa tahu alamatku dari mana?
“Kenapa? Kok kayanya kamu bingung dan takut melihat saya?” tanyanya lagi.
“Eum, iya, saya bingung aja, kok tiba-tiba Mas Bian ke sini? Memangnya apa saya ada salah ya, di kantor?”
“Oh bukan, ini bukan masalah kantor kok.”
“Lalu? Masalah foto yang waktu itu Mas kirim? Duh, maaf, Mas. Saya belum bisa bantu, karena, saya masih sibuk kuliah.”
“Oh, bukan, bukan itu juga kok. Eum, saya ke sini, mau...”
Aku mengernyit, sambil memperhatikan gelagatnya yang tiba-tiba saja mendekatiku. Aku yang merasa risih seketika menggeser duduk. “Maaf, Mas.”
“Kamu kenapa canggung begitu? Bukannya kamu sudah sering melayani laki-laki ya?” tanyanya dengan sorot mata tajam seraya menggigit bibir bawahnya.
“Maaf, Mas, tapi saya...”
“Sudahlah, Maura. Saya tahu kok, kamu bisa kuliah karena pekerjaan kamu ini kan?”
“Maksud, Mas apa?”
Aku kali ini benar-benar merasa sudah direndahkan oleh orang yang selama ini aku hormati di kantor, karena dia berwibawa dan baik. Tapi, mengapa aku baru tahu kalau ternyata kelakuannya sama saja dengan laki-laki kebanyakan.
“Ini kamu, kan? Saya bisa sampai sini karena bertemu dengan akun kamu di aplikasi ini, dan saya tahu kalau kamu punya nomor dua, yang satu untuk di kantor, dan satunya buat kamu terima laki-laki. Iya, kan?” Mas Bian tersenyum seraya menunjukkan foto dan akun di dalam sebuah aplikasi jodoh yang notabene itu digunakan untuk wanita open BO.
“Astaghfirullah, demi Allah, itu bukan punya saya. Dan saya juga baru sampai rumah, saya nggak tahu siapa yang wa Mas Bian. Mas bisa cek kok atau telpon ke nomor itu.”
Aku berusaha mengelak, karena memang aku sama sekali tidak tahu, siapa yang sudah tega memakai identitasku, bahkan berpura-pura menjadi aku, lalu dengan nomor palsu dan membawa Mas Bian sampai di sini.
“Maura, kamu nggak usah ngelak. Jelas-jelas ini foto kamu, dan nomor ini juga menulis alamat ke sini, ke rumah kamu.”
“Mas, kalau memang saya open BO, saya nggak akan kasih alamat rumah saya. Saya lebih memilih ke hotel berbintang, yang pelayanannya bagus.”
Kali ini aku sudah tidak bisa menahan emosi. “Lebih baik, Mas pulang saja.”
“Nggak bisa, saya jauh-jauh ke sini hanya ingin sama kamu, Maura. Saya suka sama kamu, dari awal kita kenal, saya, saya benar-benar sayang sama kamu,” ucapnya.
“Saya nggak percaya, kenapa Mas Bian sampai main aplikasi itu? Pasti karena Mas ingin sewa perempuan nggak bener yang bisa sesuka hati Mas bisa diajak tidur, iya kan? Maaf, Mas. Mas salah orang.”
“Maura, saya nggak seperti apa yang kamu pikirkan,” ujarnya lagi kali ini dia terus mendekatiku.
Aku berdiri, mencoba menjauh darinya. Bagaimana ini? Kalau aku teriak, pasti warga akan segera berdatangan dan membawa Mas Bian keluar, tapi nama baik aku di kantor akan menjadi taruhannya.
Sedangkan kalau aku membiarkan dia tetap di sini, aku nggak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Mama, kalau aku hubungi Mama, Mas Bian akan bertemu dan bertatap muka dengan Mama. Mama kan sedang dicari dia juga, katanya Mama bandar narkoba.
Ya Allah, aku benar-benar takut.
Jantungku berdegup dengan sangat kencang, dan lutut ini semakin lemas. Hingga terdengar sebuah dering ponsel, dan seketika kulihat Mas Bian melihat handphonenya yang berbunyi itu. Lalu ia menerima panggilan tersebut.
“Ya, Hallo, ya, oh iya, iya, iya saya segera ke situ. Sebentar ya, saya ada urusan sebentar, tunggu di sana.”
Tak lama dia memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, lalu berdiri.
“Maura, urusan kita belum selesai, nanti saya wa kamu lagi ya, Sayang. Saya ada urusan, tutup pintunyam lalu tidurm besok kerja kan?” Mas Bian kemudian berjalan ke luar dan meninggalkanku yang masih mematung menatapnya pergi.
Aku duduk di kursi menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. “Huft.” Akhirnya dia pergi juga.
.
Tengah malam aku masih sibuk di depan ponsel, mencoba memasuki aplikasi yang tadi ditunjukkan oleh Mas Bian, juga laki-laki yang ada di kampus. Siapa yang sudah tega memakai foto, nama bahkan alamatku. Tujuannya untuk apa? Menjatuhkanku? Tapi aku merasa kalau selama ini aku nggak perna punya masalah dengan siapa pun.
Kalau kaya gini, aku mau cerita sama siapa? Rima? Nggak mungkin, dia nggak kenal Mas Bian. Kalau aku cerita sama teman kantor, malah ketahuan identitas Mama dan juga rumahku di mana.
Aku menyerah, aku bahkan nggak tahu gimana cara menemukan akun itu. Kalau dibiarkan, nama baikku bisa hancur, siapa saja bisa menemukanku di aplikasi tersebut. Kalau sampai Mama tahu, pasti nanti dikira aku mulai mengikuti jejaknya.
“Maura, kamu belum tidur?”
Aku menoleh melihat Mama sudah berdiri di depan pintu kamar yang memang tidak kututup. Mama melangkah mendekatiku, lalu duduk di tepi ranjang. Kudengar embusan napasnya begitu berat, aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Mama.
“Mama kenapa?”
“Ra, kamu ada simpanan uang nggak?” tanyanya dengan menunduk.
Ha? Nggak salah Mama nanyain uang ke aku? Harusnya uang Mama lebih banyak kan dari aku, apalagi hampir tiap hari Mama dapat pelanggan.
“Mama nggak salah nanya aku?” tanyaku penasaran.
“Mama Cuma nanya aja.”
“Mama butuh uang kah?”
“Nggak kok, Mama hanya tanya kamu, kalau kamu butuh uang jangan segan minta Mama ya.”
“Mah, Mama kan tahu asal usul uang Mama itu dari mana, Maura nggak mau, Ma. Udah dong, Ma. Kita hidup seadanya aja, sewajarnya, memangnya Mama nggak mau berubah?”
“Maura, maafin Mama. Kalau suatu saat Mama meninggal, kamu masih mau kan kirim doa ke Mama?” Kini wajah Mama menatapku erat, kedua matanya berkaca-kaca.
Apa yang tengah terjadi pada Mama? Tadi keluar rumah masih baik-baik saja, atau ada sesuatu dengan Mpok Neni?
“Mama ngomong apa sih? Aneh, udah mendingan Mama istirahat, aku juga mau tidur.”
“Ra, jangan pernah ninggalin rumah ini ya.”
Aku sempat tertegun sesaat. “Kenapa? Bukannya ini kita ngontrak ya, Ma?"
Padahal aku ingin sekali pindah, dan menjauh dari lingkungan di sini. Gimana aku bisa capat jodoh yang sholeh kalau lingkungan seperti ini nantinya. Pasti keluarga calonku pun akan berpikir berakli-kali saat mengetahui di mana tempat tinggalku.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar, aku melihat sebuah pesan whatsapp masuk dari Mas Bian. Aku sudah malas ingin membukanya, karena kejadian tadi.
"Bian? Fabian? Kamu kenal dia?” tanya Mama setelah melirik ponselku yang ada di atas kasur.
“Mama kenal?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top