Bab 6

(Bukan) Kupu-kupu Malam

Bab 6

“Eh apaan tuh, coba liat.” Sesil mendekati dan mencoba melihat ke ponsel laki-laki di sebelahku.

“Lah ini bukan foto lu, Ra?” tanya Sesil lagi.

“Iya, tapi bukan gue yang ada di aplikasi itu.

“Kok bisa, kalau bukan lu, trus siapa? Jelas-jelas itu foto lu, dan lu ngakuin itu,” ucap Bunga menimpali.

“Iya, tapi gue nggak pernah main aplikasi itu. Demi Allah, itu bukan saya, Mas. Coba aja hubungin nomornya.” Aku terus mengelak, karena orang-orang mulai memperhatikan.

Gila aja siapa sih yang pakai foto gue buat di sana, bisa-bisanya jual diri pake foto orang. Huft.

“Udah, udah, gitu aja diributin. Zaman sekarang itu kita kudu hati-hati kalau mau upload foto di sosmed. Ya takutnya gitu, ada yang gunain buat hal-hal yang begitu itu. Foto gue aja pernah dicomot buat nipu, abis itu gue udah kaga main medsos lagi.” Vito membelaku.

Laki-laki tadi pun beralih, dan pesanan bakso kami juga udah siap di meja semua. sementara Adit yang tadinya duduk di depanku, kini pindah ke sebelah kanan. Kami duduk bersisian, dan dia mendekatkan kepalanya seraya berbisik.

“Beneran bukan lu kan, Ra? Lu nggak main aplikasi ijo itu kan?” tanyanya pelan.

Aku menginjak kakinya, dia pun menjerit.

“Aduh!” Adit meringis, tanpa menjawab, aku mulai memakan makanan di depanku.

Temanku yang lain juga sudah fokus sama makanannya masing-masing, mereka tidak lagi membahas masalah fotoku tadi.

Sedang asyik menikmati bakso, tiba-tiba ponselku yang di atas meja bergetar, memperlihatkan sebuah pesan whatsapp masuk dari Mas Bian.

[ Maura, kamu kuliah? ]

Aku langsung membalas pesan dari Mas Bian.

[ Iya, Mas. Saya kuliah, ini masih di kampus.]

[ Ada apa, ya?]

Mas Bian membalas, [ Oh, saya pikir kamu di rumah, saya mau main aja ke rumah kamu.]

Aku mengernyit sejenak, main ke rumah. Memangnya Mas Bian tahu rumahku? Eum, lagian juga malam-malam begini mau ngapain main ke rumah coba.

[ Maaf, Mas. Saya belum pulang.]

Mas Bian, [ Ya udah, nggak apa-apa.]

[ Mau saya jemput nggak?]

[ Eum, makasih, Mas. Tapi saya bawa motor sendiri kok.]

Mas Bian, [ Oke, kamu hati-hati ya.]

[ Iya, Mas.]

Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja. Kenapa Mas Bian tiba-tiba ingin bertemu denganku? Apa ini masih ada hubungannya sama Mama? Aku semakin takut kalau memang masih berhubungan dengan foto Mama yang kemarin dia beri.

“Siapa, Ra. Muka lu tegang gitu?” tanya Adit tiba-tiba.

“Bukan siapa-siapa.”

“Kalau ada masalah, cerita aja sama gue,” ujarnya lagi.

Aku hanya terdiam, bagaimana mungkin aku bilang dan cerita sama Adit. Sementara aku saja tidak tahu dan masih belum paham maksud tujuan Mas Bian sebenarnya. Aku masih harus mencari tahu apakah benar Mama itu seperti yang dikatakan oleh Mas Bian.

Setelah menghabiskan makanan, aku membayar makanku dan mengajak Adit untuk pulang.

Dalam perjalanan aku meminta Adit untuk menepikan motor di pinggir jalan. Karena aku melihat tukang susu jahe merah. Udara yang dingin, rasanya mungkin enak kalau beli dua bungkus, satunya buat Mama.

“Lu mau, Dit?” 

“Kaga, ga doyan gue.”

“Yaudah, Bang dua dibungkus ya.” Aku memesan susu jahe merah pada di bapak penjual.

“Dit, lu pernah nyabu?” tanyaku dengan perasaan yang tak menentu, penasaran sama ciri-ciri orang yang pakai narkoba.

“Nyabu, nyadap bubur?” 

“Bukan dodol. Nyabu, sabu-sabu, narkoboy.”

“Kaga lah, njir. Bisa diusir dari rumah sama bokap gue. Kenapa? Lu nyabu ya?” godanya.

“Kagalah, gue pengen tahu aja ciri-ciri orang yang pake sabu tuh gimana? Soalnya eum, temen gue di kantor ada yang aneh dah pokoknya. Katanya dia pake narkoba gitu, kan gaboleh suudzon juga kita.” Aku pun berbohong pada Adit demi mendapatkan informasi tentang ciri orang memakai Shabu.

“Ooh, ciri-ciri nya sih kalau kek gitu nggak keliatan, Ra. Palingan kalau sakau aja tuh, atau kalau pas OD, apa nggak sekarat mati, sama ketangkep tangan polisi.”

“Iya juga sih, ya.” Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

“Maaf, Mbak. Ini susunya udah jadi,” panggil si bapak.

Aku membayar dua bungkus susu jahe merah sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan.

.

Aku tiba di rumah sudah pukul 23.06, jalanan di gang rumahku tampak ramai. Beberapa orang dan kendaraan lalu lalang, ada yang menyapaku juga sebagian.

Aku langsung memasukkan motor ke halaman rumah, sebelum masuk rumah, aku menutup pintu pagar terlebih dahulu.

Biasanya ada yang ngegosip di depan warteg, malam ini hanya terlihat Abang ojol saja yang sedang ngopi sambil merokok.

“Udah pulang, Ra?” tanya Mama yang sudah berdiri di belakangku.

“Iya, Ma. Maaf kemaleman, tadi mampir ngebakso dulu,” kataku seraya mencium punggung tangan Mama. “Mama mau pergi?” tanyaku melihat penampilan Mama yang sudah rapi, tapi wajahnya belum dipoles.

“Enggak, di rumah aja, capek.”

“Ni aku beliin susu jahe merah, mumpung masih anget,” kataku menunjuk plastik yang kuambil dari gantungan motor.

“Taruh aja di meja, Mama mau ke tempat Neni dulu.”

“Oh iya dari pagi dicariin sama Mpok Neni, Ma.”

“Iya, tadi pagi Mama udah ketemu dia. Tapi nggak langsung ngomong, Mama tidur dulu, ngantuk. Tau sendiri Mama kan kalo siang tidur, malem baru melek.”

“Emang ada urusan apaan, Ma?”

“Dia lagi dikejar sama polisi, bukan dia sih sebenarnya. Tapi adeknya noh si Jaki, kegerebek lagi pada pesta Shabu di rumahnya siapa itu orang kaya di perumahan seberang.” 

“Oh iya iya, rumahnya Tuan Danjou. Lah Ma tumbenan ada polisi.”

“Biasa begitu ada yang laporin, yang nggak suka daerahnya buat tempat maksiat.”

“Pasti duitnya banyak ya, Ma. Kalo berani laporin.”

“Ya iya, nggak tau deh. Itu cewek-ceweknya kan pada pindah kos ke mari.”

“Mama make narkoba juga nggak?” tanyaku pada akhirnya karena penasaran.

Mama yang berdiri di depan pagar hendak keluar, seketika menoleh. “Ngaco, nggak lah. Kalo Mama pake gituan nggak kuat badan Mama,” jawabnya.

“Kali aja, bukannya kaya gitu buat nenangin apa biar nggak capek ya, Ma?”

“Kata siapa? Mama juga nggak ngerti, nggak berani, takut kecanduan, malah mati nanti Mama. Udah ah, Mama mau ke Neni dulu, kasian dia.”

Aku pun bergegas masuk ke rumah, karena pintu tidak ditutup aku langsung ke dapur meletakkan susu yang kubeli di atas meja.

Setelah itu, aku ke kamar, melepas jaket, meletakkan tas di atas kasur, dan mengambil pakaian ganti untuk membersihkan diri ke kamar mandi.

Keluar kamar mandi, baru saja hendak duduk di ruang makan. Tiba-tiba aku mendengar suara ponsel berdering.

Sedikit berlari ke dalam kamar, dan mengambil ponsel yang terus berdering itu. 

Rima.

“Kenapa, cuy?” tanyaku menerima panggilan telepon darinya.

“Rendi meninggal?”

“Ha? Rendi, Rendi temen sekelas kita? Kaga ah, tadi magrib masih ada kok.”

“Heh, itu tadi. Barusan ini beritanya, dia di rumah sakit. Cuma penyebab kematiannya kayanya ditutupin gitu deh.”

Aku menghela napas pelan. 

“Gue nggak tahu, baru sampe rumah nih.”

“Ngayap melulu lu, udah kaya kupu-kupu malam aja.”

“Enak aja, eh tapi emang kupu-kupu sih gue, kuliah pulang kuliah pulang.” Aku dan Rima terbahak, meskipun dalam hati masih belum percaya kalau Rendi beneran meninggal.

Di luar juga nggak terdengar kabar apa-apa tentang kejadian tadi. Secepat itu ya dipanggil Allah, mana meninggalnya pas maksiat pula. Naudzubillah.

“Yaudah, gue cuma mau ngabarin itu doang. Besok kalo pada ngelayat ajak-ajak ya.”

“Iya gue juga insyaallah sih, kerja soalnya.”

“Yah izin bentaran doang, Ra. Masa iya nggak boleh.”

“Iya besok gue usahain.”

“Bareng gue, awas lu kalo sama Adit.”

“Dih, cemburu ya.”

“Kaga, dah ah.”

Panggilan pun terputus. Aku hanya menatap ponsel yang sudah padam, aku tahu kalau diam-diam Rima menyukai Adit, tapi Adit lebih suka dekat denganku dari pada Rima.

“Assalamualaikum. Permisi, Assalamualaikum.”

Aku mendengar suara orang salam di depan, kayanya pintu belum ditutup ya tadi.

Aku bergegas melihat siapa yang datang malam-malam, atau mungkin pelanggannya Mama lagi.

Namun, kakiku gemetar dan menghentikan langkah melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

Mas Bian?

.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top