Bab 5
(Bukan) Kupu-kupu Malam
Bab 5
Aku mengernyit mendengar ucapan Mama barusan.
"Gancet apaan?" tanyaku bingung karena orang makin ramai mendatangi gubuk yang ada di seberang rumah kami jarak tiga rumah ke kanan.
Rumah indekos tiga lantai, dengan kurang lebih ada puluhan pintu itu memang menjadi tempat kosan paling murah dan diminati untuk melakukan transaksi. Penghuninya ya kebanyakan perempuan penjaja cinta, yang selain menjual diri mereka juga bekerja di beberapa restoran, atau caffe malam.
"Udah lu berangkat aja sana, biarin itu mah urusan dia, lagian magrib-magrib nge sek. Kena batunya kan dia," ucap Mama.
Aku makin nggak mengerti apa yang dikatakan Mama, sampai akhrinya ada suara sirine ambulance yang datang dan berhenti di depan indekos itu.
Sebenarnya ada apaan sih?
Lalu tak lama kemudian aku melihat dua orang ditutupi selimut dengan posisi si laki-laki di bagian atas, dan wanitanya di bawah, mereka menutup wajah. Kupastikan keduanya tidak pakai sehelai benangpun, dan kenapa mereka bertumpuk?
Mereka sudah digotong di atas brankar.
"Untung wae itu kamar di bawah, gampang weh ngangkutnya."
"Kalo diatas ge, siapa yang mau gotong."
"Diputus itu nanti barangnya si laki kali."
"Eta mah si perempuannya aja, udah tahu wayah magrib masih aja ngelayanin."
"Anak baru itu ge sama pacarnya dari kemarin ke sini terus, masih anget-angetnya."
"Ya tapi tau waktu atuh, akhirnya kan gancet gitu malu-maluin."
"Biar kapok."
Suara obrolan tukang es cincau depan rumah sama tukang sate yang biasa mangkal itu pun membuatku mengernyit.
"Gancet apaan dah, Bang?" tanyaku pada tukang es cincau.
"Yaah, si Neng Maura mah nggak tau teh gancet itu, anu barangnya si laki kekunci di dalem punyanya si awewe. Nggak bisa keluar gitu."
Aku bengong, masih membayangkan bagaimana itu bisa terjadi.
"Emang siapa?"
"Si Alya, Neng mah kenal kali, cowoknya kan baru dia baru seminggu katanya jadian. Namanya Rendi, ganteng, barusan beli es sama mamang sebelum magrib," jawab si mamang es.
Aku menelan ludah, mau ketawa apa kasihan ya. Pasti nanti dia nggak masuk kuliah nih, gancet. Ups.
Aku menahan diri untuk tidak berkomentar apapun, apalagi bilang kalau si laki-laki itu adalah teman kampusku. Malu-maluin aja.
"Yaudah, Maura berangkat dulu, Ma." Aku mencium punggung tangan Mama.
"Hati-hati, lu."
"Iya, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Aku langsung naik ke atas motor, dan keluar halaman rumah melaju membelah jalan.
Di depan gang, Adit sudah menunggu sambil berdiri dan merokok.
"Lama banget lu, eh ada apaan sih di tempat lu? Tadi ada ambulance. Ada yang meninggal?" tanyanya sambil memakai helm dan naik di atas motor, lalu aku mundur duduk di boncengan.
"Biasa ada yang mabok, over dosis," jawabku bohong.
Karena kalau aku bicara jujur, pasti nanti aibnya si Rendi kesebar. Nggak Cuma aib di aja, satu kampus bisa tahu juga profesi Mama.
"Oalah, kirain ada apaan."
"Yaudah buruan jalan, lu nggak sholat lu ya, magrib sholat dulu, Boy. Masuk kan masih jam stgh 8." Aku menepuk bahu Adit yang cengengesan.
"Sholat nggak sholat juga sama aja, Ra. Hidup ya begini-begini bae, kaga ada yang berubah. Kalo sholat bikin gue kaya, dapet pacar Sholehah, lah baru gue rajin dah."
"Nyaut aja kalo dibilangin, mau kaya mah kerja, kerja, Allah juga nggak bakalan ngasih lu pacar Sholehah. Mana ada pacar Sholehah, pacaran aja dilarang sama agama."
"Iya tau gue, yaah minimal kan ada tanda tandanya gitu."
"Dih, bukan mahrom kaga boleh pacaran pake tanda segala."
"Lah kita ini bukan mahrom, lu mau bonceng gue," katanya lagi sambil ketawa aja sepanjang jalan.
"Yaudah lu turun dah, ini kan motor gue, kan elu yang mau nebeng."
"Iya, iya, Ra. Ampun dah iya, ntar sampe kampus gue sholat."
"Sholat tobat lu," celetukku.
"Gampang, Ra. Tempat lu ada cewek yang paling murah berapaan, Ra? Pengen nyobain gue sekali-kali, lima puluh ribuan ada kaga ya? Soalnya uang jajan gue sehari Cuma segitu."
Aku menabok kepala Adit yang tertutup helm dengan kesal. "Eh, bocah tolil, lu mau yang murah, abis itu kena sipilis, raja singa, anu lu bernanah, mau lu begitu? Dih. Mending dijaga lu punya barang, jangan main celup bae sembarangan. Katanya mau dapet yang Sholehah."
"Hehehe, becanda, Ra. Elah, kalau ada juga nggak apa-apa sih, yang penting enak aja dulu."
"Ish, najis lu."
Aku merasa kesal, tapi ya aku maklumi namanya juga laki-laki yang normal. Dia punya hawa nafsu yang mungkin seusia kami ini memang banyak yang penasaran.
Oleh karena itu di luar sana yang tidak bisa menjaga diri, biasanya kebablasan sampai hamil di luar nikah.
Belum cukup umur, sudah dipaksa berumah tangga. Ujungnya kasus perceraian membludak, amit-amit deh kalau sampai begitu.
.
Pukul 21.00, satu mara kuliah sudah selesai, dan aku tidak langsung pulang karena mau makan dulu di warung bakso seberang kampus.
Aku nggak sendiri, ada beberapa teman yang juga mengajakku ke sana. Dari pada nanti di rumah masih harus cari makan, mending makan di sini sekalian.
"Maura, lu pesen apaan?" tanya Sesil, gadis berambut panjang keemasan dengan tubuh kurus itu bertanya padaku.
"Mie ayam bakso, minumnya es teh manis aja," jawabku.
"Oke, Bunga, Keisha, Adit, Vito, kelan pesen sendiri ya." Sesil tertawa sambil memesan makanan, karena nama-nama yang disebut tadi malah asyik ngegosip.
"Iya, gampang," sahut Keisha.
"Eh, Ra, Lu tau nggak si Alya mutusin Rendi," ucap Bunga dengan suara sedikit berbisik.
"Kaga, nggak penting juga gue tahu," jawabku.
"Dih, bukannya dulu lu pernah naksir sama Rendi?" tanya Vito.
"Yeee, enak aja, kaga dih amit-amit deh, ya emang dia ganteng sih, tapi jalannya gemulai gitu." Aku bergidik, apalagi mengingat kejadian magrib tadi.
"Lu tau nggak kenapa Alya mutusin Rendi?" Sesil yang baru duduk habis pesan makanan pun ikut menyambar. "Rendi doyannya sama lonte, hahaha."
Aku hanya terdiam, entah mengapa saat Sesil bilang seperti itu hati ini rasanya nyess, ada sakit yang tiba-tiba saja menjalar di badan. Bukan karena aku sebagai pelaku, tapi seandainya mereka tahu siapa mamaku. Apa mereka masih mau berteman denganku?
Aku menunduk, Adit yang duduk di depanku menyenggol kaki dari bawah meja. Dia tersenyum kecil, seolah tahu apa yang ada di pikiranku saat ini.
"Ya mau gimana ya, cowok itu kan kalo pacaran butuh begituan. Kalo si Alya nggak mau ngasih, ya cowoknya nyari yang lain lah pasti." Vito mencoba untuk mengalihkan.
"Makanya, gue mendingan jomblo deh, dari pada nggak bisa nahan diri," sambung Adit lagi.
"Jomblo lebih terhormat, Bro. Kita kaga perlu nyakitin perempuan buat sekedar nafsu sesaat," sambung Vito lagi.
"Ya itu sih elu emang laga laku aja pada, ntar juga kalo udah ada cewek yang mau. Beda lagi tuh omongan lu," ujar Keisha dan dibarengi anggukan oleh Bunga.
"Yee, muka muka lu pada sih emang doyan begituan, ngaku lu. Rumah Deket aja pada ngekos, buat apaan kalo bukan buat ngen*. Ya kan? Inget akhir zaman, ladies, gempa udah di mana-mana, pada tobat lu pada." Vito pun bicara berapi-api.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan laki-laki tinggi putih di sebelahku. Dia memang anti pacaran sih, dari semester awal, dia juga rajin sholat jamaah di masjid.
Seketika perempuan yang di dekatku diam, aku juga tahu gimana gaya pacaran zaman sekarang. Mungkin masih ada harganya lon te yang mereka bilang itu. Sekali main, satu jam paling murah 300ribu.
Sementara kalau sama pacar sendiri, modal 50 ribu jajan, bisa dipakai garansinya seumur hidup, selama mereka masih pacaran. Intinya, laki-laki itu Cuma mau gratisan aja.
"Haloo, kamu Maura, ya?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba saja mendekatiku.
Aku mengangguk.
"Yang ada di aplikasi ini kan? Waaah nggak nyangka ternyata aslinya kamu lebih cantik dari di foto," ucapnya lagi sambil menunjuk ke ponselnya.
Aku melotot, melihat fotoku dijadikan foto akun salah satu aplikasi hijau yang biasa digunakan untuk dating app.
"Maura? Lu?"
Semua mata memandang ke arahku, sumpah, aku nggak pernah main aplikasi itu apalagi buat cari cowok.
Aaarggghh. Kacau!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top