Bab 4

(Bukan) Kupu-kupu Malam

Bab 4

.

Tepat pukul 17.00 aku bersiap pulang, ada mata kuliah sehabis magrib. Karena memang aku ambil kuliah sore, dan biasa pulang sekitarjam sembilan malam sampai sepuluh malam.

Masih terngiang dengan ucapan Mas Bian tadi, tentang Mama yang katanya bandar narkoba.

Aku tidak pernah melihat Mama memakai barang haram itu, atau bertransaksi barang tersebut. Yang kulihat sehari-hari di rumah hanya Mama  yang kelelahan, tidur, makan, dan malam ada yang kencan dengannya di rumah.

Kalau memang Mama melakukan hal itu di luar rumah, mungkin sajabisa sih. Tapi, untuk memakai barang tersebut aku rasa nggak.

Mama pernah bilang kalau dia tidak akan mencoba narkoba,karena bisa merusak tubuhnya. Sementara pekerjaan Mama adalah harus maksimal dengan kinerja tubuh.

“Ra, lu kuliah?” tanya Mitha melihatku keluar dari kamar mandi berganti pakaian.

“Nanti, mau pulang dulu mandi,” kataku seraya melipat seragam dan memasukkannya ke tas.

“Oh, yaudah hati-hati.”

“Iya, lu juga, Mit. Dijemput ya sama cowok lu?”

“Iya dong, makanya punya cowok dong.”

“Hahaha, ada cowok gue om-om tapi.”

“Weeeh siapa siapa? Kenalin napa.”

“Ada noh Oppa Ji Chang Wook.”

Aku dan Mitha terbahak.

“Halu lu, dah ah gue balik duluan.” Mitha keluar dari  kamar mandi merapikan rambut.

Sementara aku masih berdiri di depan cermin wastafel untuk menyisir dan menguncir rambut. Setelah itu barulah keluar menuju ke parkiran bawah mengambil motor.

.

Aku pun pulang, dan sepanjang perjalanan memikirkan bagaimana caranya nanti bicara dengan Mama hanya untuk sekadar cari tahu saja tentang profesinya selain melayani tidur lelaki hidung belang.

Tiba di depan rumah, motor ku parkir di halaman, dan aku langsung masuk karena pintu rumah terbuka.

Sebelum masuk kamar, aku melihat Mama sedang di ruang makan,duduk sambil ngopi.

“Assalamualaikum, Ma.” Aku menghampiri dan mencium tangannya seperti biasa.

“Waalaikum salam. Nggak kuliah?”

“Nanti abis magrib, mau mandi dulu.” Aku melangkah menuju kamar.

“Maura, tunggu!” panggil Mama membuatku menghentikan langkah dan menatapnya.

“Kenapa, Ma?”

“Semalam kamu diapain sama si Danu?”

“Nggak diapa-apain kok.”

“Yakin? Dia mau coba nyakitin kamu kan?”

“Iya sih, untung ada Bang Raka.”

“Dasar aki-aki nggak tahu diri. Mama udah putusin kontrak sama dia. Nggak terima Mama kalau kamu udah digodain sama dia.”

“Emang nggak apa-apa kalau kaya gitu, Ma? Bukannya kata Mama dia pelanggan yang paling besar kalau kasih tips.”

“Iya, memang, tapi kalau anak Mama juga diincer, mending Mama kehilangan uang daripada kamu. Pelanggan Mama kan nggak Cuma dia aja.”

Aku menghela napas pelan, ada rasa haru dan juga bahagia mendengar Mama lebih memilihku dari pada laki-laki itu.

“Mama mau sampai kapan kaya gini terus? Kita bisa kok hidup lebih baik, ninggalin kerjaan Mama yang kaya gini. Usia Mama udah nggak muda lagi, Maura bisa kok biayain hidup kita, Maura janji bakalan bikin hidup Mama bahagia.” Aku mencoba untuk bicara perlahan, barangkali saja Mama bisa meninggalkan profesinya ini.

Selain berisiko, aku juga takut kalau apa yang dikatakan Mas Bian benar. Mama bisa kena pidana seumur hidup, lalu aku nanti sama siapa kalau Mama nggak ada?

“Udah kamu mandi aja, nggak usah mikirin Mama.” Mama malah menyuruhku untuk mandi.

Mama selalu menghindar setiap kali aku bicara seperti itu. Apa profesi itu sudah membuatnya lupa diri?

Aku lalu masuk kamar, meletakkan tas di paku belakang pintu,kemudian melepas sepatu dan merebahkan diri di kasur sebentar sebelum mandi.

Menunggu waktu sepuluh menitan, aku merogoh saku celana mengambil ponsel. Ternyata ada beberapa pesan whatsapp yang masuk.

Rima [ Ra, lu kuliah nggak? Nitip absen ya, perut gue sakit nih hari pertama dapet. ]

Aku langsung membalas pesan dari Rima sahabatku di kampus yang kita berteman sejak dari bangku SMP.

[ Siap. ]

Adit [ Maura, nanti gue bareng lu dong, motor gue mogok lagi nih masuk bengkel.]

[ Ah lu nyusahin mulu, masa gue harus jemput lu dulu sih.]

Adit [ Yaelah, Ra. Muter dikit doang ke gang belakang. ]

[ Yaudah, tapi lu harus udah siap kalo gue sampe. ]

[ Siap bosku.]

Adit juga teman kuliahku yang tinggal tak jauh dari sini,hanya dia dan Rima yang tahu kehidupanku dan juga profesi Mama.

Tapi mereka berdua nggak rese, bahkan biasa saja. Karena hal yang ada di sekitar mereka sudah dianggap hal yang lumrah lagi. Di tengah susahnya mencari pekerjaan, dan nggak sedikit juga dari tetangga mereka demi uang dan terpaksa terjun ke lembah hitam ini.

Hanya saja, orang tua Adit selalu mewanti-wanti putranya agar tidak terlalu dekat denganku. Mereka takut kalau putra mereka akan terjerumus ke dalam perbuatan hina itu.

Aku juga tidak pernah memaksa mereka untuk mau berteman denganku, atau cukup tahu diri dengan keadaan keluargaku di sini.

Mereka mau memandangku sebelah mata pun, aku sudah biasa dan tak akan sakit hati. Mereka bilang aku sama dengan perempuan penjaja cinta, aku juga tak mau ambil pusing.

Karena mereka melihat apa yang mereka lihat saja, mau aku membela diri pun, mereka juga nggak akan percaya. Semua aku nggak peduli, hidupku untuk masa depanku memperbaiki keluargaku, agar aku bisa membuktikan pada Mama kalau aku bisa lebih baik.

.

Selepas mandi, suara adzan magrib berkumandang. Aku sekalian berwudhu untuk melaksanakan sholat tiga rokaat. Walaupun aku anak seorang pelac*r,aku tetap tidak akan pernah lupa siapa Tuhanku, dan aku tetap menunaikan kewajibanku.

Sebenarnya, Mama juga sholat, yah walaupun hanya dua kali dalam setahun. Kalau waktu Iedul Fitri dan Iedul Adha saja, Mama selalu beranggapan bahwa sholatnya tidak akan pernah diterima dengan dirinya masih bekerja seperti sekarang ini.

Dalam doa, selalu aku selipkan permohonan agar Mama terbuka pintu hatinya, dan sadar lalu kembali ke jalan yang benar. Aku hanya bisa mendoakannya, semoga nanti Allah akan mengabulkan semua doa baikku.

Ponselku menjerit-jerit di atas kasur, aku yang baru selesai sholat pun melirik sekilas melihat siapa yang menelpon. Ternyata si Adit, nggak sabaran banget dah ni orang.

Aku melepas mukena dan melipatnya sebelum kusimpan di dalam lemari, setelah itu baru menerima panggilan.

“Halo, sabar ngapa.” Aku menjepit ponsel di telinga sambil memakai kemeja. Karena aku belum pakai baju, hanya tengtopan saja.

"Gue tunggu di gang rumah lu aja ya, adek gue ngikutin ini nangis dikira gue mau main kali.”

“Yaudah, serah lu aja. Gue ganti baju dulu.”

“Liat dong.”

“Liat apaan bangsul!”

“Liat elu ganti baju, hahaha.”

“Anjrit.” Aku lalu mematikan ponsel dan bergegas memakai celana jins.

Setelah rapi dan sisiran, aku memakai sepatu, tapi aku mendengar suara ribut dari arah luar. Aku beranjak dari duduk sambil berjalan pincang, karena baru satu sepatu yang kupakai. Aku mengintip di jendela kamar yang langsung terlihat depan rumah.

“Apaan sih ribut-ribut.” Aku segera menyelesaikan memakai sepatu dan berlari keluar dengan tas dan handphone yang sudah kubawa.

“Ada apaan, Ma?” tanyaku pada Mama yang asyik ngerokok depan pagar.

“Gancet,” jawab Mama singkat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top