Bab 1
( Bukan ) Kupu-kupu Malam
Bab 1
“Ini bayaranmu malam ini, lumayan juga buat wanita seusia kamu masih kuat untuk melayani saya semalaman.” Seorang pria meletakkan sejumlah uang lumayan banyak di atas kasur seraya memakai kembali pakaiannya.
Sementara wanita yang berbalut selimut itu hanya tersenyum kecil sambil menutup sebagian tubuhnya, dan tangannya bergerak meraih uang berwarna merah itu.
“Bye, Cantik.” Pria itu lalu melangkah menuju pintu kamar.
Aku buru-buru beralih dari depan pintu kamar, dan bersembunyi di balik dinding. Lalu aku melangkah ke kamar tempat wanita itu bersorak menyebar uang ke atas tempat tidur.
“Ma, cukup!” bentakku.
Wanita paruh baya itu menoleh, menatapku dengan tersenyum miring. Bahkan pakaiannya saja belum terpasang, dia masih bugil, dan meraih pakaiannya yang berserak di lantai.
“Maura, Sayang. Kamu sudah pulang, Nak? Lapar? Mau Mama buatkan makanan apa? Atau kita pesan online saja, ya?”
“Nggak perlu, aku nggak mau makan uang haram.”
Wanita di depanku berdecak, lalu menggeleng menatapku sedemikian rupa. Entah sudah berapa kali aku mengingatkan agar Mama tidak lagi melakukan hal yang dilarang oleh agama.
“Sudah, ya. Mama nggak mau debat sama kamu. Kamu nikmatin saja hasilnya, toh selama ini Mama membesarkan kamu, nyekolahin kamu, ngasih makan kamu, karena pekerjaan Mama ini. Jadi, ya sudah, kalau kamu sekarang mau marah, ya silakan, Mama nggak peduli.”
Wanita itu melangkah menuju kamar mandi, aku yang melihat rasanya ingin sekali berontak, ingin marah, ingin memaki. Sakit sekali rasanya melihat pekerjaan Mama yang seperti itu.
Setiap hari Mama melayani dua sampai tiga pria yang datang ke rumah kami ini. Aku ingin lepas, ingin sekali melarikan diri dari tempat ini. Tapi, anak buah Tante Martha selalu berjaga di gapura depan, mengecek siapa saja warga yang keluar masuk. Kalau ada yang mencurigakan, pasti langsung ditangkap.
Aku masuk kamar melepas sepatu dan berbaring di atas tempat tidur, menatap ke langit-langit kamar. Berharap ada keajaiban yang bisa melepaskanku dari jerat kampung tempat kami tinggal.
Kami tinggal di sebuah perkampungan pelac*r, hampir semua wanita di sini profesinya sama. Melayani laki-laki hidung belang, kecuali aku, karena Mama adalah orang lama di sini dan entah mengapa aku sangat dijaga sekali dari pria yang ingin mengajakku kencan.
Namun, tetap saja, bagi mereka yangg tidak tahu, aku sama saja dengan mereka mereka yang bekerja di sini.
Anehnya lagi, tempat ini tidak pernah kena razia polisi. Meskipun jelas sekali kalau memang pemukiman ini berisi perempuan dan laki-laki yang haus akan kasih sayang. Tak sedikit pria beristri yang datang, berbagai alasan mereka katakan mengapa harus menyewa jasa wanita malam hanya untuk sekali tidur saja.
“Maura, Mama mau tidur, pintu jangan lupa dikunci. Kalau mau makan di meja ada nasi padang dari Asep, halal,” ujar Mama yang berdiri di depan pintu kamarku.
Aku menghela napas pelan, nasi padang dari kapan? Asep ngapain sih pake beliin nasi padang segala, modus terus sama emak gue.
Aku beringsut dari ranjang dan menuju ke dapur, benar saja ada nasi padang, dengan lauk terpisah. Aku melihat ayam bakar di dalam plastik putih, sambal cabe hijau, sayur nangka.
“Maaa, ini dia ngasihnya jam berapa? Masih enak nggak?” tanyaku.
“Tadi, abis Magrib, panasin aja sayurnya kalo bau,” jawab Mama dari dalam kamarnya.
Bau dipanasin, ada juga dibuang ketika kulihat jam di dinding pukul dua dini hari.
Inimah basi.
“Mama udah makan?” tanyaku lagi.
“Udaaah, Mama nggak makan makanan kaya gitu.”
Huft, aku memang lapar, tapi kalau makanan dari Asep si tukang gorengan yang biasa mangkal di ujung jalan sih aku mau. Dia jualan halal, dan juga nggak tinggal di pemukiman sini. Tapi, dia pernah jujur sama aku, kalau dia menyukai Mama. Bahkan pernah ingin melamar Mama, dan membebaskan Mama dari pekerjaannya ini. Sayangnya, Mama nggak mau, dia lebih memilih pekerjaannya yang bagi dia uangnya lebih banyak dari sekadar jadi istri tukang gorengan.
Sampai sekarang Asep masih terus mencoba mencari perhatian Mama, dengan mengirimkan makanan, kalau buatku sih lumayan. Tapi kalau tiap hari makan nasi padang, yang ada namanya pembunuhan berencana, biar gue sekeluarga kena kolesterol, darah tinggi, trus modar.
Sebelum mencoba membuka bungkusan berisi ayam bakar, aku melangkah ke depan untuk menutup pintu terlebih dahulu, dan menguncinya. Karena di luar sana semakin menjelang pagi, maka semakin ramai. Karena para penjaja cinta baru masuk membawa pelanggannya, tapi tak sedikit juga yang sudah selesai dan pulang.
Namun, kedua mataku menangkap sosok yang kukenal. Rendi? Dia gandeng si Alya, njir padahal ceweknya cakep di kampus. Aku buru-buru merapatkan hordeng, masih tak menyangka kalau ada teman sekampusku yang buang air kecil di tempat kami.
Seandainya ceweknya Rendi tahu, pasti perang dunia ke sepuluh kali. Ceweknya Rendi cantik, berjilbab pula, malah aku sering lihat dia kajian di masjid kampus. Tapi, cowoknya malah salah pergaulan kaya itu.
Aku meskipun anak seorang pelac*r, tapi Mama selalu melarangku berpacaran. Dia tidak ingin aku seperti dia dulu, yang hamil di luar nikah, lalu dibuang oleh keluarga karena pacarnya nggak mau tanggung jawab. Lalu bertemu dengan Tante Martha pemilik puluhan pintu kos di sini, dan menawarkan pekerjaan haramnya.
Katanya Mama dulu sih primadona, tapi Mama selalu menyembunyikanku dari para laki-laki yang ingin tidur dengannya. Agar aku tidak menjadi incaran mereka.
Aku duduk di kursi, membuka bungkusan nasi dan ayam bakar yang masih enak sih, tapi sayurnya kubuang ke tempat sampah karena sudah bau.
Aku menikmati suap demi suap makanan di depanku, sampai suara ketukan pintu di depan membuatku harus beranjak dari duduk.
“Siape?” tanyaku kesal karena jam segini masih aja ada yang bertamu.
"Ra, nyokap lu mana?” tanya cowok bertubuh tinggi di depanku.
“Tidur.”
“Bangunin.”
“Nggak mau ah, takut.”
“Nggak bisa, kudu dibangunin.”
“Kenapa sih, Bang? Mama punya utang?”
“Iya.”
“Berapa duit, pake duit gue dulu deh, dari pada bangunin Mama.”
“Bukan utang duit, tapi utang lainnya. Noh, ditungguin Om Danu, kan udah janji jam tiga.”
“Baru ge setengah tiga, Bang. Ntar lah balik lagi, kasihan emak gue baru juga merem.” Aku berusaha untuk membela Mama, kasihan juga kalau baru tidur dibangunin, trus harus melayani lagi laki-laki tua macam si Danu itu.
“Dia siapa, Ka?” tanya pria tambun dengan perut buncit menghampiri kami.
Aku tahu kalau pria itu adalah Om Danu yang dimaksud Bang Raka, tapi aku nggak pernah menunjukkan wajah di depan dia, dan Mama juga nggak pernah ngenalin aku ke dia. Karena dia biasanya booking Mama setiap akhir pekan di jam tiga malam seperti sekarang.
Aku lupa, kalau hari ini ada jatah dia, karena tadi aku ada tugas kelompok, jadi harus pulang malam. Eh, malah ketemu sama nih aki-aki.
“Eum, dia...”
“Saya assisten rumah tangganya Bu Liana, Pak. Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku berpura-pura.
“Ra, lu, apa-apaan sih?” ucap Bang Raka yang sepertinya nggak terima kalau aku mengaku sebagai asssisten rumah tangga.
“Oh ya? Kok saya nggak pernah lihat ya.”
“Saya baru kerja hari ini, Pak.”
“Oh begitu, majikan kamu mana?”
“Nyonya baru tidur, Pak.”
“Oh, usia kamu berapa?”
“Saya, dua puluh dua tahun.”
“Oh, gimana kalau kamu saja yang temani saya malam ini?” Pria tua itu mengerlingkan sebelah matanya.
Najis, mending gue usir dia deh daripada gue harus melayani dia.
“Ma, maaf, Saya mau istirahat, Pak.” Aku mencoba menutup pintu, tapi tangannya yang besar itu berhasil mendobrak pintu, dan meringsek masuk ke ruang tamu. Mana Bang raka diam aja lagi pas pintu rumah ditutup dari dalam sama nih aki-aki.
“Bapak mau apa? Saya teriak nih,” kataku sambil bejalan mundur.
“Kamu nggak usah pura-pura, Sayang. Di tempat ini semua orang tahu maksudnya dan tujuannya untuk apa, kita bersenang-senang."
Sialan! Dia malah bugil depan gue.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top